Hiswana Migas: Tarif Baru Pajak BBM Beratkan Konsumen

Hiswana Migas memperkirakan penerapan tarif baru pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) akan membuat konsumen beralih dari bahan bakar minyak (BBM) non-subisidi ke subsidi.

Hiswana Migas: Tarif Baru Pajak BBM Beratkan Konsumen

Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) memperkirakan penerapan tarif baru pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) akan memberatkan konsumen. Dampaknya, terjadi peralihan pemakaian bahan bakar minyak (BBM) non-subisidi ke subsidi. 

"Ini akan menambah beban konsumsi BBM subsidi. Padahal, volumenya sudah sangat terbatas," kata Sekretaris Jenderal Hiswana Migas Syarif Hidayat kepada Katadata.co.id, Jumat (23/2). 

Saat ini belum ada pelaku industri hilir migas yang menerapkan tarif terbaru. "Belum dijalankan tapi pasti akan berdampak langsung kepada kenaikan harga jual BBM non-subsidi," ucapnya. 

Tarif baru pajak BBM merupakan tindak lanjut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 yang mengatur hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Khusus tarif PBBKB bagi kendaraan umum ditetapkan sebesar 50% lebih rendah dari kendaraan pribadi.

Baca juga:

  • Minim Sosialisasi, Pengusaha SPBU Keberatan Tarif Baru Pajak BBM
  • Utak-Atik Subsidi BBM demi Makan Siang Gratis, Inflasi Mengintai
  • Kenaikan Pajak BBM Dinilai Tak Bisa Kerek Pendapatan Daerah

Khusus Jakarta, menurut laman resmi Badan Pendapatan Daerah DKI Jakarta, tarif ini berlaku sebesar 10%, dari sebelumnya 5%. Penetapannya berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024 terkait pajak dan retribusi. 

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelum mengatakan banyak pengusaha stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang keberatan atas kenaikan pajak tersebut. "Karena tiba-tiba ada kenaikan tanpa ada sosialisasi yang bagus," kata Direktur Jenderal Migas Tutuka Ariadji pada Selasa lalu. 

Pihaknya meminta kepada pihak terkait untuk melakukan sosialisasi yang benar. “Karena angka 10% itu kan maksimal, kenapa harus 10%? Dan itu masih dibicarakan dengan badan usaha niaga,” ujarnya.

Terlebih, menurut Tutuka penetapan besaran PBBKB ini merupakan kewenangan pemerintah daerah masing-masing sehingga tidak seluruh daerah di Indonesia memiliki kesamaan persentase PBBKB.  “Harus ada pembicaraan bisnis yang baik, karena kalau memberatkan terus, (SPBU) bisa tutup kalau tidak untung,” ucapnya. 

Apa Reaksi Anda ?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow