Ganti Nama Yudea Jadi Palestina, Cara Romawi Redam Bangsa Yahudi

Penggantian nama Yudea menjadi Palestina merupakan bagian dari upaya Romawi untuk menghampus identitas Yahudi dari wilayah itu.

Ganti Nama Yudea Jadi Palestina, Cara Romawi Redam Bangsa Yahudi

KONFLIK antara warga Palestina dengan Israel sudah berlarut-larut dan entah kapan berakhir. Terkait konflik itu, ada yang berpandangan bahwa hal tersebut merupakan benturan nasionalisme. Ada yang melihatnya sebagai antagonisme agama, yang lain lagi menyebutnya sebagai perebutan kekuasaan antara Timur-Barat.

Namun disepakati bahwa elemen kunci dari konflik tersebut adalah masalah tanah. Tanah itu, selama bertahun-tahun oleh banyak orang, disebut Palestina.

Nama Palestina berasal dari kata Filistia (Philistia), yang diberikan para penulis Yunani untuk negeri orang-orang Filistin. Orang Filistin pada abad ke-12 sebelum masehi (SM) menempati sebidang kecil tanah di pantai selatan di wilayah itu, antara Tel Aviv–Yafo dan Gaza saat ini.

Dalam catatan-catatan kuno, wilayah ini juga sering disebut sebagai "Tanah Kanaan". Berbagai suku mendiami tempat itu sebelum era bangsa Israel.

Baca juga: Puluhan Pengacara Afrika Selatan Bersiap Gugat AS dan Inggris atas Kejahatan Perang di Palestina

Bangsa Filistin tercatat dalam Kitab Taurat dan Perjanjian Lama sebagai musuh Israel. Dalam kitab-kitab itu, Filistin dikenang sebagai bangsa yang tidak disunat, berteknologi canggih, berkekuatan militer tangguh. Mereka sering kali merambah wilayah Israel sehingga menyebabkan terjadinya beberapa pertempuran, termasuk bentrokan terkenal antara Daud, orang Israel, dan Goliat, orang Filistin.

Para ahli percaya, orang Filistin datang dari pulau-pulau di Laut Aegea, mungkin dari Pulau Kreta di Yunani, yang kemudian menetap dan bercampur dengan penduduk Kanaan.

Bangsa Filistin kehilangan otonomi atas wilayah di tepi pantai Laut Tengah bagin timur itu menjelang akhir Zaman Besi. Nebukadnezar II dari Babilonia menginvasi Filistia tahun 604 SM dan memasukkan wilayah itu ke dalam Kekaisaran Neo-Babilonia. Filistia dan penduduk asli Filistin menghilang dari catatan sejarah setelah tahun tersebut.

Romawi Singkirkan Yahudi

Namun pada abad kedua masehi atau sekitar delapan abad kemudian, saat wilayah itu sudah dikuasi Romawi, penggunaan nama Palestina dihidupkan kembali. Nama wilayah itu, yang setelah dikuasi bangsa Israel menjadi Yudea, dikembalikan menjadi Palestina. Bangsa Israel sebetulnya mendiami tiga wilayah berdampingan yaitu Yudea, Samaria, dan Galiliea. Yudea merupakan wilayah paling selatan.

Penggantian nama wilayah tersebut merupakan bagian dari upaya Romawi untuk menghampus identitas Yahudi dari wilayah itu (E. Mary Smallwood, "The Jews Under Roman Rule", 1976).

Kaisar Romawi kesal dengan sejumlah pemberontakan orang-orang Yahudi. Pemberontakan-pemberontakan itu ditumpas dengan kejam, tetapi selalu muncul lagi. Bahkan setelah Kota Yerusalem dihancurkan dan Bait Allah mereka dirobohkan tahun 70 SM, bangsa Yahudi tidak jera. Mereka masih melakukan sejumlah pemberontakan lagi setelahnya.

Penggantian nama Yudea dengan Palestina merupakan bentuk pelecehan terhadap bangsa Yahudi. Nama Palestina merujuk ke suku bangsa yang secara historis merupakan musuh bebuyutan Israel. Target Romawi adalah memori tentang bangsa Yahudi dari daerah itu lenyap.

Selain mengganti nama wilayah, Romawi melakukan berbagai cara untuk menyingkirkan pengaruh Yahudi. Setelah penghancuran Yerusalem tahun 70 Masehi, sebuah legiun tentara Romawi (X Fretensis) ditempatkan di lokasi tersebut. Satu legiun Romawi biasanya terdiri dari sekitar 4.000 hingga 6.000 tentara, tergantung pada periode dan keadaan tertentu.

Baca juga: Sejarah Penggunaan Nama Palestina: Digunakan Romawi untuk Hina Bangsa Yahudi

Pangkat gubernur provinsi ditingkatkan dari prokurator menjadi legatus augusti. Prokurator merupakan pejabat urusan keuangan di provinsi atau wilayah tertentu. Mereka bertanggung jawab atas pemungutan pajak dan pengelolaan keuangan negara.

Sementara legatus augusti (biasa disebut juga sebagai legatus augusti pro praetore) adalah gubernur provinsi yang biasanya memiliki pasukan militer. Mereka ditugaskan untuk mengatur provinsi-provinsi penting di Kekaisaran Romawi, terutama yang memiliki kebutuhan militer atau keamanan yang signifikan

Caesarea Maritima, tempat tinggal gubernur, lalu menjadi koloni Romawi, dan, sebagai penghargaan atas kesetiaan orang Yunani dalam mengatasi pemberontakan orang Yahudi, sebuah kota baru untuk orang-orang pagan (kafir), yaitu Neapolis (kini Nbulus di Tepi Barat), didirikan di Shechem, yang awalnya merupakan pusat keagamaan orang Samaria.

Orang Yahudi, yang kehilangan Bait Suci, lalu mendirikan pusat keagamaan baru di sekolah untuk para rabi Jamnia (Jabneh).

Ketika pemberontakan Yahudi pecah pada 115 M, Kaisar Romawi saat itu, Trajan, menunjuk Lucius Quietus, legate konsuler pertama Yudea, untuk menumpasnya. Pangkat legate itu mengonfirmasi bahwa dua legiun ditempatkan di Yudea, satu di Yerusalem, yang lainnya di Caparcotna di Galilea, dan sejak itu provinsi tersebut harus memiliki status konsuler.

Tahun 132, kaisar Hadrian memutuskan untuk membangun sebuah koloni Romawi, Aelia Capitolina, di Yerusalem. Pengumuman rencana itu, serta larangan Hadrian terhadap sunat (yang kemudian dicabut, tetapi hanya untuk orang Yahudi), memicu pemberontakan yang lebih serius, yang dikenal sebagai Pemberontakan Yahudi Kedua. Pemberontakan itu dipimpin Bar Kokhba.

Pemberontakan tersebut ditumpas secara kejam oleh Julius Severus. Menurut beberapa laporan, hampir 1.000 desa dihancurkan dan lebih dari setengah juta orang terbunuh.

Orang Yahudi diusir dari Yudea. Namun mereka bertahan di Galilea, yang seperti Samaria, tampaknya tidak ikut-ikutan dalam pemberontakan tersebut. Tiberias di Galilea menjadi tempat kedudukan patriark Yahudi.

Ketika itulah Provinsi Yudea berganti nama menjadi Syria Palaestina (kemudian hanya disebut Palaestina), dan, menurut Eusebius dari Caesarea (Ecclesiastical History, Book IV, chapter 6), sejak itu tidak ada seorang Yahudi pun diperbolehkan menginjakkan kaki di Yerusalem atau distrik sekitarnya.

Larangan itu belakangan dilonggarkan. Romawi membolehkan orang Yahudi masuk ke Yerusalem sehari dalam setahun, yaitu pada hari berkabung yang disebut Tisha be-Ava. Meskipun larangan bagi orang Yahudi masuk ke Yerusalem masih berlaku secara resmi hingga abad ke-4 M, ada beberapa bukti bahwa sejak periode Severan (setelah 193), orang Yahudi sudah bisa lebih sering mengunjungi kota tersebut, terutama pada waktu-waktu festival tertentu, dan bahkan mungkin ada beberapa orang Yahudi yang tinggal di sana.

Pada waktu sekitar pemberontakan Bar Kokhba ditumpas (135), Hadrian terus mengubah Yerusalem menjadi kota Greco-Romawi. Ia membangun arena sirkus, amfiteater, pemandian, dan teater serta jalan-jalan yang mengikuti pola jaringan Romawi. Ia juga mendirikan kuil-kuil yang didedikasikan untuk Jupiter dan dirinya sendiri di lokasi Bait Suci Yerusalem dihancurkan.

Untuk mempopulerkan kembali kota tersebut, Hadrian membawa orang-orang Greco-Syria dari daerah sekitarnya dan bahkan mungkin beberapa veteran legiun. Urbanisasi dan Helenisasi Palestina itu dilanjutkan selama masa pemerintahan kaisar Septimius Severus (193–211 M), kecuali di Galilea, di mana keberadaan Yahudi tetap kuat.

Kota-kota pagan baru didirikan di Yudea yaitu di Eleutheropolis dan Diospolis (sebelumnya Lydda) dan di Nikopolis (sebelumnya Emmaus) di bawah salah satu penerus Severus, Elagabalus (218–222). Selain itu, Severus mengeluarkan larangan spesifik terhadap penyebaran agama Yahudi.

Baru setelah Konstantinus I menjadi Kristen pada awal abad ke-4, era kemakmuran dimulai lagi di Palestina. Kaisar itu sendiri membangun gereja yang megah di lokasi Makam Suci, tempat suci Kristen. Ibunya, Santa Helena, membangun dua gereja lainnya di tempat Kelahiran Yesus di Betlehem dan Gereja Kenaikan di Yerusalem. Ibu mertuanya, Eutropia, membangun gereja di Mamre.

Palestina mulai menarik para peziarah dari seluruh bagian kekaisaran. Kota itu juga menjadi pusat besar kehidupan pertapaan (monastisisme idioritmis). Para pria berbondong-bondong dari segala penjuru untuk menjadi pertapa di padang gurun Yudea, yang segera dipenuhi dengan biara-biara.

Pada akhir abad ke-4, Palestina yang diperluas dibagi menjadi tiga provinsi: Prima, dengan ibu kotanya di Caesarea; Secunda, dengan ibu kotanya di Scythopolis (Bet She'an); dan Salutaris, dengan ibu kotanya di Petra atau mungkin untuk sementara waktu di Elusa.

Apa Reaksi Anda ?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow