Gelombang Protes Meluas, Hampir 200 Ribu Orang Teken Petisi Tolak PPN 12%
Hampir 200 ribu orang telah menandatangani petisi yang menolak rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Rencana ini akan diberlakukan oleh pemerintahan Prabowo Subianto mulai 1 Januari 2025.
Penolakan itu dipelopori oleh akun ‘Bareng Warga’ sejak 19 November 2024 melalui platform Change.org. https://chng.it/2Wqbmmj624. Hingga Senin (30/12), petisi ini telah ditandatangani oleh 199.831 orang. Pada hari ini saja, sebanyak 789 orang menandatangani petisi tersebut.
Dalam petisi tersebut, masyarakat meminta kepada Prabowo untuk membatalkan kenaikan PPN. Mereka khawatir kebijakan ini akan semakin memperberat beban masyarakat.
“Harga berbagai kebutuhan pokok, seperti sabun mandi hingga bahan bakar minyak (BBM), akan naik. Padahal, kondisi ekonomi masyarakat belum sepenuhnya membaik,” demikian isi petisi itu.
Baca juga:
- Pemerintah Bentuk 40 SMA Unggulan yang Lulusannya Bisa Masuk Harvard dan Oxford
- Penjualan Gas Naik, Rukun Raharja (RAJA) Raup Pendapatan Rp 3,06 Triliun
- Apple Buka 4 Lowongan Kerja di Indonesia di Tengah Kabar Mau Bangun Pabrik
Kenaikan PPN ini juga dikhawatirkan akan memicu lonjakan harga barang, yang pada akhirnya berdampak pada daya beli masyarakat. Terlebih, sejak Mei 2024, daya beli masyarakat terus menurun, dan kenaikan PPN berpotensi memperparah kondisi tersebut.
Oleh karena itu, pemerintah perlu membatalkan kenaikan PPN yang tercantum dalam Undang-undang No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
“Sebelum luka masyarakat kian menganga. Sebelum tunggakan pinjaman online membesar dan menyebar ke mana-mana,” tulis petisi tersebut.
Pemerintah Bisa Membatalkan PPN 12% Melalui Perppu
Kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Dalam undang-undang tersebut, ditetapkan bahwa kenaikan PPN menjadi 12% harus dilakukan paling lambat pada 1 Januari 2025.
Namun, Direktur Hukum Center of Economic Celios, Mhd Zakiul Fikri, menyatakan bahwa pemerintah memiliki opsi untuk membatalkan kenaikan ini. Menurut Zakiul, pemerintah dapat menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) jika situasi dinilai mendesak dan norma hukum yang ada tidak memadai.
“Langkah ini diperlukan untuk mencegah dampak buruk terhadap perekonomian dan masyarakat,” kata Zakiul.
Berdasarkan analisis Celios, kenaikan PPN akan menyebabkan peningkatan pengeluaran rumah tangga, terutama bagi kelas menengah. Diperkirakan, kelas menengah akan mengalami tambahan pengeluaran hingga Rp 354.293 per bulan atau Rp 4,2 juta per tahun.
Sementara itu, keluarga miskin diprediksi akan menghadapi tambahan pengeluaran sebesar Rp 101.880 per bulan atau Rp 1,2 juta per tahun. Namun peningkatan ini tidak sebanding dengan kenaikan pendapatan.
Rata-rata gaji bulanan hanya tumbuh sekitar 3,5% per tahun. Sebagai gambaran, pada tahun 2023, rata-rata kenaikan gaji di Indonesia hanya sebesar 2,8%, atau setara dengan Rp 89.391 per bulan.
Kondisi ini diperburuk oleh tingginya angka pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja (PHK), yang pada tahun 2023 mencapai 11,7%.
“Dengan kondisi ini, pemerintah perlu mempertimbangkan ulang kebijakan kenaikan PPN untuk menghindari dampak negatif yang lebih besar bagi ekonomi dan masyarakat,” kata Zakiul.