Informasi Terpercaya Masa Kini

Kenapa Seseorang Sering Bertahan pada Hubungan yang Menyakitkan?

0 11

Ada jenis ikatan yang sering kali membuat seseorang bertahan dalam hubungan yang menyakitkan bukan karena ia tidak sadar sedang terluka, tetapi karena ia percaya bahwa cinta dan luka bisa berjalan beriringan. Hubungan seperti ini tidak selalu tampak jelas dari luar. Bahkan bagi yang mengalaminya pun, sering kali dibutuhkan waktu panjang untuk menyadari bahwa mereka sedang terjebak dalam keterikatan yang tidak sehat. Inilah yang dikenal dalam psikologi hubungan sebagai trauma bonding, sebuah ikatan emosional yang terbentuk melalui siklus berulang antara perlakuan menyakitkan dan pemberian harapan palsu. Pola hubungan ini biasanya dimulai dari fase idealisasi. Pasangan memperlakukan pasanganya dengan penuh perhatian dan kasih sayang, menciptakan rasa aman yang semu. Namun seiring waktu, muncul perilaku manipulatif, pengabaian emosional, atau ledakan amarah yang membuat korban merasa disalahkan, tidak cukup, bahkan merasa bersalah atas luka yang ia terima.

Yang membuat ikatan ini semakin kuat justru adalah momen-momen manis yang datang setelah kekerasan terjadi. Ketika pasangannya meminta maaf, menunjukkan penyesalan, atau tiba-tiba kembali bersikap lembut, maka pasangannya kembali merasakan harapan. Harapan bahwa semuanya akan berubah. Harapan bahwa cinta masih ada. Harapan bahwa luka ini akan sembuh jika ia cukup sabar.

Namun pada kenyataannya, pola ini terus berulang. Luka—maaf—harapan. Luka—maaf—harapan. Dan semakin lama orang tersebut bertahan, semakin kabur pula batas antara cinta dan penderitaan. Dalam proses ini, kepercayaan diri perlahan melemah. Pikiran seperti, “Mungkin aku terlalu sensitif,” atau “Mungkin ini semua salahku,” mulai menghantui. Sampai akhirnya, korban tidak lagi bisa membedakan antara cinta yang membangun dan hubungan yang mengikis dirinya sedikit demi sedikit. Yang paling tidak menyenangkan adalah rasa sakit justru terasa biasa. Ketika seseorang datang dengan tulus dan memperlakukan mereka dengan penuh empati, korban justru merasa tidak nyaman, curiga, atau bahkan merasa tidak layak. Mereka telah terlalu lama hidup dalam ketidakpastian, hingga luka pun terasa seperti rumah.

Apakah memang Cinta Butuh Perjuangan?

Budaya populer sering kali menanamkan ide bahwa cinta sejati adalah cinta yang penuh perjuangan. Bahwa pasangan yang bertahan meskipun saling melukai adalah simbol loyalitas dan pengorbanan. Apa yang membuat trauma bonding semakin sulit dikenali adalah pengaruh kuat dari budaya populer. Dalam berbagai cerita cinta yang dikonsumsi masyarakat, konflik dan luka sering kali menjadi bumbu wajib dalam hubungan. Karakter yang saling menyakiti namun akhirnya tetap bersama dianggap sebagai pasangan yang “paling kuat.” Padahal, yang terjadi bukan kekuatan cinta, melainkan toleransi terhadap luka yang berulang.

Narasi ini berbahaya karena menciptakan standar cinta yang tidak sehat. Ia menormalisasi penderitaan sebagai bagian dari proses, dan menutupi fakta bahwa tidak semua hubungan layak untuk diperjuangkan. Akibatnya, banyak orang bertahan dalam hubungan yang merusak mental dan emosional, hanya karena takut dianggap gagal dalam mencintai.

Namun, psikologi hubungan sehat justru mengatakan sebaliknya yaitu hubungan yang sehat memang butuh usaha, tapi tidak menyakiti. Hubungan yang matang tidak membuatmu merasa tidak cukup, tidak menuntutmu menjadi orang lain, dan tidak membungkam perasaanmu sendiri demi menjaga keutuhan.

Normalisasi luka sebagai kondisi ketika seseorang mulai menerima perlakuan yang menyakitkan sebagai bagian yang “wajar” dari hubungan. Bahkan, banyak orang mulai meromantisasi luka: “Dia kasar karena dia sayang.”, “Dia posesif karena dia takut kehilangan.” , “Dia berubah karena lagi banyak tekanan, nanti juga balik lagi seperti dulu.”

Padahal, dalam banyak kasus, hubungan seperti ini bukan lagi tentang cinta, tapi tentang ketergantungan emosional, rendahnya harga diri, dan ketakutan akan kehilangan yang dibalut dalam kata “perjuangan.”

Hubungan Sehat Tetap Butuh Usaha, Tapi Bukan Luka

Psikologi hubungan tidak pernah menyatakan bahwa hubungan yang sehat akan selalu mulus. Tentu saja akan ada tantangan. Akan ada konflik, perbedaan pendapat, bahkan momen ketika kita merasa lelah dan ingin menyerah. Tapi, yang membedakan hubungan yang sehat dan tidak sehat adalah cara kita menangani semua itu. Dalam hubungan yang sehat, dapat dilihat pada kondisi beberapa kondisi, yaitu konflik dibicarakan, bukan dipendam atau diteriakkan, perbedaan diterima, bukan dipaksa untuk diseragamkan, kompromi terjadi dua arah, bukan hanya satu pihak yang terus mengalah dan Dan yang paling penting, cinta tidak membuatmu merasa kecil, tidak cukup, atau harus berubah jadi orang lain.

Dalam penelitiannya, Dr. John Gottman menemukan bahwa pasangan yang bahagia dan bertahan lama bukanlah mereka yang tidak pernah bertengkar, tetapi mereka yang tetap menunjukkan rasa hormat dan empati bahkan di tengah konflik. Hubungan yang dewasa tidak membuatmu merasa takut menyuarakan isi hati. Justru sebaliknya, kamu merasa didengar dan dihargai, bahkan ketika sedang tidak setuju. Salah satu jebakan paling menyakitkan dari mitos cinta adalah anggapan bahwa semakin besar luka yang ditahan, semakin besar cinta yang diberikan. Padahal, kesetiaan tidak diukur dari seberapa banyak luka yang kamu simpan diam-diam. Kesetiaan justru dilihat dari seberapa sehat kamu dan pasangan berusaha menjaga satu sama lain dari luka yang tidak perlu. Cinta seharusnya menguatkan, bukan melemahkan. Cinta yang baik adalah yang membangun, bukan menghancurkan. Dan hubungan yang layak kamu perjuangkan adalah hubungan yang juga memperjuangkan dirimu, bukan hanya diam menikmati pengorbananmu.

Kapan Saatnya Melepaskan?

Salah satu pertanda paling jelas bahwa sebuah hubungan sudah tidak sehat lagi adalah ketika kamu merasa harus terus membenarkan luka yang kamu rasakan. Ketika kamu lebih sering menangis daripada tertawa. Ketika kehadiran pasangan membuatmu merasa cemas, bukan tenang. Ketika kamu mulai kehilangan arah dalam hidupmu karena terlalu sibuk mempertahankan sesuatu yang perlahan mengikis jati dirimu. Melepaskan bukan berarti gagal mencintai. Justru, kadang itu adalah bentuk cinta paling dalam, pada diri sendiri.  Hubungan yang matang justru menghadirkan ruang aman untuk saling menjadi diri sendiri. Ia tidak menuntut kesempurnaan, tapi menawarkan penerimaan. Ia tidak memaksakan keseragaman, tapi memberi ruang pada perbedaan. Ia tidak membungkam emosi, tapi menyediakan wadah untuk berdialog dengan jujur. Di dalam hubungan yang sehat, cinta hadir tanpa perlu dibuktikan dengan penderitaan. Ia tidak perlu dibungkus dengan luka untuk menjadi dalam. Ia cukup menjadi ruang untuk bertumbuh bersama, dalam kesetaraan, keterbukaan, dan kebaikan yang tidak memaksa.

Namun, selama kita masih menempatkan “bertahan dalam luka” sebagai lambang kesetiaan, selama penderitaan masih dianggap bagian tak terpisahkan dari cinta, akan selalu ada yang keliru dalam cara kita memahami relasi. Dan akan selalu ada hati-hati yang terluka karena tidak tahu bahwa mereka seharusnya tidak harus bertahan sejauh itu.

Melepaskan bukan berarti gagal mencintai. Justru, dalam banyak kasus, meninggalkan hubungan yang menyakitkan adalah bentuk cinta paling besar bukan kepada orang lain, tapi kepada diri sendiri. Ada beberapa tanda yang menunjukkan bahwa hubunganmu mungkin tidak lagi sehat:

Kamu lebih sering merasa cemas daripada tenang saat bersamanya.Kamu mulai mempertanyakan harga dirimu sendiri.Kamu harus membenarkan perlakuan buruknya agar bisa tetap bertahan.Kamu merasa lelah secara emosional, tapi takut pergi karena merasa tidak akan dicintai lagi.Kamu kehilangan arah, kehilangan semangat, dan merasa semakin jauh dari dirimu yang dulu.

Jika kamu merasakan satu atau beberapa dari hal tersebut, mungkin saatnya kamu menanyakan kembali, apakah kamu bertahan karena cinta? Atau karena kamu takut kehilangan versi cinta yang sebenarnya sudah lama berubah menjadi luka?.

Cinta yang sejati tidak akan membungkam suara hatimu. Ia tidak membuatmu ragu akan keberhargaan dirimu. Ia tidak mengharuskanmu untuk memohon-mohon agar diperhatikan, apalagi menahan luka demi membuktikan kesetiaan. Cinta yang sehat tidak datang dengan tekanan. Ia datang dengan rasa aman. Ia memberi ruang untuk tumbuh bersama, untuk belajar, untuk saling menyembuhkan. Dan yang paling penting, cinta yang sehat tidak menempatkanmu sebagai korban dalam cerita cintamu sendiri.

Jika kamu sedang berada dalam hubungan yang menyakitkan, ingatlah: kamu tidak salah karena mencintai. Tapi kamu juga tidak salah jika memilih untuk pergi demi menyelamatkan dirimu.

Karena pada akhirnya, tidak semua cinta harus dipertahankan.  Tapi kamu selalu layak untuk diselamatkan dan memantaskan diri kamu untuk bisa membentuk kebahagiaan kamu. Yuk mulai yukk.

Leave a comment