Mengapa Dwifungsi ABRI Dihapuskan pada Masa Reformasi?
Pertanyaan mengapa dwifungsi ABRI dihapuskan kerap muncul seiring dengan pembahasan Rancangan Undang-undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang dilakukan pemerintah. Lalu, apa yang dimaksud dengan dwifungsi ABRI dan mengapa dihapus?
Belum lama ini, pemerintah mulai membahas RUU tentang Perubahan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau RUU TNI. Revisi UU TNI ini pun sontak menimbulkan pro dan kontra.
Masyarakat menilai bahwa revisi UU TNI ini dapat menghidupkan kembali dwifungsi ABRI yang sudah mati sejak masa reformasi. Salah satu yang dikhawatirkan adalah adanya revisi pada Pasal 47, yakni membolehkan TNI aktif untuk menjabat di kementerian/lembaga (K/L).
Lalu, mengapa dwifungsi ABRI dihapuskan? Pada masa Orde Baru, dwifungsi ABRI dinilai memiliki dampak buruk, terutama dalam kehidupan sosial politik Indonesia. Sejarah kelam inilah yang dikhawatirkan akan kembali terulang jika RUU TNI disahkan.
Meski demikian, penolakan dan kekhawatiran masyarakat akan munculnya dwifungsi ABRI tak menyurutkan langkah DPR dan pemerintah untuk menggodok RUU TNI. Komisi I DPR RI pun akhirnya sepakat untuk membawa revisi UU TNI ke rapat paripurna dan disahkan menjadi UU pada Kamis, 20 Maret 2025.
Baca juga: Link Petisi RUU TNI 2025, Kenapa Ditolak, dan Apa Perubahannya? Apa yang Dimaksud dengan Dwifungsi ABRI?
Sebelum mengetahui alasan mengapa dwifungsi ABRI dihapuskan, mari pahami dulu apa yang dimaksud dengan dwifungsi ABRI. ABRI merupakan singkatan dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, lembaga militer gabungan TNI dan Polri yang dibentuk di masa Orde Baru.
Sementara itu, dwifungsi ABRI adalah sebuah kebijakan politik yang memberi kesempatan pada ABRI untuk memiliki peran ganda, yaitu berfungsi sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan sekaligus sebagai kekuatan sosial-politik di dalam negara.
Sederhananya, ABRI tak hanya berkutat di dunia militer, tetapi juga bisa memegang jabatan di pemerintahan dan ikut mengatur negara.
Kebijakan ini pernah diterapkan di era Orde Baru ketika para perwira militer memiliki kekuasaan di seluruh tingkat pemerintahan di Indonesia, mulai dari pemerintahan daerah seperti jabatan wali kota hingga pemerintahan pusat di kabinet Presiden Soeharto kala itu.
Tujuan Dwifungsi ABRI
Pada masa Orde Baru, dwifungsi ABRI dinilai sebagai kebijakan yang positif dan diyakini dapat menstabilkan kondisi Indonesia. Tujuan pemerintah Orde Baru dalam melaksanakan dwifungsi ABRI adalah sebagai berikut:
1. Mendorong Masyarakat untuk Terlibat Pembangunan ABRI memiliki peran dinamisator dan punya kemampuan komunikasi yang baik dengan masyarakat. Hal ini memungkinkan ABRI mengetahui secara langsung tentang kebutuhan rakyat pada masa itu.
Dari sini, ABRI dapat terjun langsung dalam pembangunan dan mendorong masyarakat untuk ikut aktif melibatkan diri dalam pembangunan negara. Salah satu contohnya adalah adanya kebijakan ABRI masuk desa untuk mendorong masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan desa.
2. Menjaga Stabilitas Nasional ABRI berperan sebagai stabilisator. Prajurit ABRI dianggap mampu menghambat masuknya pengaruh negatif dari luar, baik itu budaya, ideologi, atau nilai-nilai asing yang hendak masuk ke Indonesia.
ABRI juga memiliki sifat realistis dan pragmatis sehingga mampu menyelesaikan permasalahan demi kepentingan nasional. Dengan demikian, ABRI dapat menjaga stabilitas nasional dengan mengantisipasi gejolak atau konflik yang ditimbulkan oleh pengaruh asing.
3. Menempatkan ABRI di Bidang Sosial-Politik ABRI memiliki fungsi kekaryaan sehingga seluruh anggotanya dapat ditugaskan di segala aspek kehidupan. Tak hanya di bidang pertahanan dan keamanan, ABRI juga turut serta dalam kegiatan sosial-politik. Artinya, ABRI dapat terlibat dalam kancah politik dan pemerintahan Indonesia.
4. Mewujudkan Tujuan Nasional Berdasarkan Pancasila Secara keseluruhan, pembentukan dwifungsi ABRI bertujuan untuk mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila. Tujuan nasional meliputi melindungi bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan bangsa, serta melaksanakan ketertiban dunia.
Baca juga: Apa Itu Dwifungsi Abri dan Hubungannya dengan RUU TNI? Dampak Dwifungsi ABRI
Untuk memahami alasan mengapa dwifungsi ABRI dihapuskan, kita juga harus mengetahui dampak dari kebijakan ini terlebih dahulu. Meski awalnya dinilai memiliki efek yang positif, penerapan dwifungsi ABRI justru memiliki dampak negatif.
Berikut beberapa dampak dwifungsi ABRI di masa Orde Baru:
1. Dominasi Militer dalam Politik ABRI memegang peran dominan dalam arena politik sehingga warga sipil memiliki peluang kecil untuk masuk ke pemerintahan. Hal ini justru yang menyebabkan ekses negatif dalam kancah politik dan kehidupan demokrasi di Indonesia.
2. Penurunan Profesionalisme Militer Dwifungsi ABRI rupanya dapat menurunkan tingkat profesionalisme ABRI itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh adanya peran ganda di bidang hankam dan sospol sehingga fokus ABRI terpecah.
3. Hegemoni Militer dalam Kehidupan Nasional Dwifungsi membuat ABRI semakin mendominasi kehidupan nasional. Kekuatan militer ABRI akhirnya juga menghegemoni atau menguasai komponen bangsa lainnya, mulai dari sospol, ekonomi, hingga budaya.
Mengapa Dwifungsi ABRI Dihapuskan?
Penghapusan dwifungsi ABRI adalah langkah yang pernah dilakukan secara bertahap di masa Reformasi, tepatnya pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur.
Sebagaimana diketahui, dwifungsi ABRI mulai diterapkan pada masa Orde Baru, tepatnya sejak tahun 1966. Saat itu sejumlah personel ABRI masuk ke dalam pemerintahan dan terlibat dalam urusan politik di Indonesia.
Alasan mengapa dwifungsi ABRI dihapuskan adalah karena kebijakan ini menimbulkan polemik dan dampak negatif dalam kehidupan nasional Indonesia kala itu. Peran ABRI tak hanya fokus di militer, tapi juga terlibat dalam sosial, politik, ekonomi, hingga budaya.
Di sisi lain, militer memiliki karakteristik untuk selalu tunduk dan patuh pada atasannya. Maka, ABRI yang memiliki fungsi ganda dan mendominasi perpolitikan negara kala itu dianggap sebagai alat bagi Presiden Soeharto untuk melanggengkan kekuasaannya di Indonesia.
Presiden Soeharto sendiri menjalankan pemerintahannya secara otoriter, sedangkan ABRI bertindak layaknya tameng yang siap menyingkirkan siapa saja yang mengganggu pemerintah. Inilah salah satu alasan mengapa masyarakat menuntut penghapusan dwifungsi ABRI.
Maka, sejak runtuhnya rezim Presiden Soeharto dan Indonesia memasuki masa Reformasi, dwifungsi ABRI perlahan-lahan mulai terkikis. Di tahun 1999, fraksi ABRI di parlemen mulai berkurang sehingga pengaruh militer di kancah politik pun semakin surut.
Presiden Abdurrahman Wahid kemudian menghapus dwifungsi ABRI pada tahun 2000. Saat itu, ABRI juga dipecah dan terjadi pemisahan tugas antara TNI dan Polri.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa alasan mengapa dwifungsi ABRI dihapuskan pada masa Reformasi adalah karena kebijakan ini bertentangan dengan prinsip demokrasi dan supremasi sipil.
Dwifungsi ABRI menyebabkan kekuatan militer terlalu dominan dalam kehidupan bernegara. Akibatnya, muncul potensi penyalahgunaan kekuasaan, bahkan mungkin pelanggaran HAM.
Dengan dihapuskannya dwifungsi ABRI, kekuatan militer diharapkan lebih fokus pada pertahanan negara, sementara urusan politik sepenuhnya diserahkan kepada pemerintahan sipil, sejalan dengan prinsip demokrasi yang lebih transparan.
Demikian penjelasan terkait mengapa dwifungsi ABRI dihapuskan di masa Reformasi. Dengan mengembalikan peran militer sebagai alat pertahanan negara yang profesional dan netral dari politik, Indonesia dapat membangun pemerintahan yang lebih transparan, akuntabel, dan berorientasi pada kepentingan rakyat.
Baca juga:
- Ironi RUU TNI: Soal Jabatan Dikebut, Kekerasan Tentara Luput
- Dampak Dwifungsi ABRI & Mengapa Dihapus pada Masa Reformasi?
- Tolak Revisi UU TNI, Pedemo di Jogja Desak Dwifungsi Dimuseumkan