Informasi Terpercaya Masa Kini

Menilik Persiapan Perayaan Ogoh-ogoh di “Bali Kecil” Banyuwangi

0 7

BANYUWANGI, KOMPAS.com – Semilir angin terasa sejuk di lingkungan yang cukup asri di Dusun Patoman Tengah, Desa Patoman, Kecamatan Blimbingsari, Banyuwangi, Jawa Timur.

Desa yang mendapatkan julukan “Bali Kecil” itu betul-betul mengingatkan pada pedesaan Pulau Dewata yang asri, tampak dari bentuk bangunan hingga suasananya.

Suasana Bali kian terasa di sana jelang perayaan Nyepi yang sebentar lagi tiba, Sabtu (29/3/2025).

Sebab, sehari sebelum Nyepi, akan ada perayaan ogoh-ogoh yang digelar di malam pengerupukan itu. Beberapa orang tampak larut dalam kesibukan.

Baca juga: Ngambek Tak Diberi Uang, Pengamen di Banyuwangi Pukul Sopir Truk

Kreativitas mereka dituangkan dengan saksama untuk memastikan ogoh-ogoh dapat tercipta dengan sempurna, hingga ke bagian detail patung-patung besar tersebut.

“Nanti (saat perayaan) ada sekitar tujuh ogoh-ogoh. Tiga dari pemuda Desa Patoman, empat tambahan dari masyarakat,” kata Putu Ota, demisioner Ketua Pemuda Patoman Tengah, Minggu (16/3/2025).

Diceritakan Putu, perayaan yang akan digelar pada Jumat (28/3/2025) pukul 6 malam itu akan mengusung tema perwujudan Narakasura yang dalam mitologi Hindu adalah raja Pragjyotisha, yang sekarang dikenal sebagai Assam, India Timur.

Baca juga: Ribuan Umat Hindu Merayakan Nyepi di Pantai Ngobaran Gunungkidul

Diceritakan Putu, Narakasura merupakan sosok yang sebenarnya lahir dari dewa-dewi, namun memiliki perwujudan raksasa yang memiliki sifat angkuh dan kejam serta memiliki 16.108 istri.

“Yang kita ambil filosofinya, dia anak dewa-dewi tapi kenapa dia memiliki sifat yang angkuh, kejam, dan jahat. Filosofinya di kehidupan kita, orang yang lahir dari kehidupan yang baik belum tentu baik,” jelas Putu.

Selain itu, pesan yang ingin disampaikan pula dengan diusungnya tema tersebut adalah kebijaksanaan ketika mendapatkan kepercayaan atau memiliki kekuasaan.

Selain pesan yang sarat makna, perayaan ogoh-ogoh pun menarik karena meski dilangsungkan dengan meriah, tetapi bahan yang digunakan pun bahan-bahan yang mudah ditemukan di sekitar.

“Kalau bahan, kita pakai besi, bambu, koran. Bahan-bahan yang mudah ditemukan di sekitar. Dan ini pun swadaya pemuda dan masyarakat,” terangnya.

Sementara itu, hampir bersamaan perayaan Nyepi dan Hari Raya Idul Fitri disambut gembira oleh warga desa yang berjuluk Kampung Pancasila itu.

Mengukuhkan toleransi

Kepala Dusun Patoman Tengah, Made Hardana, mengatakan, suasana kekeluargaan sangat terasa di dusun tempatnya tinggal tanpa mempertanyakan latar belakang suku dan agama.

“Di sini ada Suku Madura, Suku Jawa ada. Agama pun ada Muslim, Hindu, Kristen, dan Buddha ada. Toleransi umat beragama di wilayah kami sangat luar biasa,” tutur Made, bangga.

Hal tersebut tampak pula pada momen persiapan pembuatan ogoh-ogoh, anak-anak bermain dengan gembira.

Baca juga: Penyeberangan Banyuwangi-Bali Tutup Saat Nyepi, Pemudik Diimbau Ganti Tanggal

Mereka saling tertawa dan bermain bersama di halaman bale banjar setempat tanpa peduli status dan agama.

Hal tersebut tak lepas dari para pendahulu di wilayah tersebut yang telah hidup damai berdampingan dalam perbedaan yang mampu dirawat oleh penerusnya hingga kini.

“Tidak ada benturan sejak leluhur kami dulu. Kami sudah 5-7 generasi di sini, dari awal sudah tidak pernah ada benturan. Karena lamanya bersama, kita semua bersaudara,” kata Made.

Dia pun berharap kebersamaan dan kekompakan masyarakat tak akan lekang oleh zaman dan justru kian baik dari waktu ke waktu.

Karena baginya, rasa persaudaraan yang telah terpatri tak akan mudah luntur begitu saja.

Bahkan satu sama lain kian saling memahami dari waktu ke waktu.

“Kami selalu berkoordinasi dalam hal apapun. Ramadhan seperti ini kita bagi-bagi takjil. Di momen lain, saudara-saudara kami yang Muslim pun juga membantu kami,” syukurnya.

Leave a comment