Raja yang Tak Mau Pensiun
Raja yang Tak Mau Pensiun
Di kerajaan Negeri Mantan, hiduplah seorang mantan raja bernama Baginda Lupa Turun Takhta. Dulu, ia berkuasa selama bertahun-tahun, penuh kontroversi, janji-janji yang lebih manis dari madu (tapi sering jadi racun), serta proyek-proyek aneh yang entah manfaatnya buat rakyat atau cuma buat kantongnya sendiri. Namun, suatu hari rakyat bosan dan akhirnya memilih raja baru.
Tapi ada satu masalah… Baginda Lupa Turun Takhta tidak benar-benar merasa dirinya lengser.
Setiap hari, ia tetap mengenakan jubah kebesarannya, mahkotanya masih bersinar (walaupun ternyata itu replika karena yang asli sudah disita untuk membayar utang kerajaan). Setiap pagi, ia mengundang awak media ke istananya -eh, maksudnya rumah pribadinya yang lebih megah dari istana- untuk meliput kegiatannya yang luar biasa tidak penting bagi rakyat.
Hari Senin, ia mengadakan konferensi pers tentang cara makan bubur yang benar: diaduk atau tidak diaduk. “Ini bukan sekadar bubur, ini filosofi kehidupan!” katanya sambil tersenyum bijak, padahal sebagian besar rakyat masih bingung bagaimana cara melunasi pajak yang dulu ia buat semasa berkuasa.
Hari Selasa, ia tampil dalam acara talk show untuk membahas “kehebatan kepemimpinannya” dan bagaimana rakyat seharusnya lebih menghargainya. “Saya ini masih bagian dari sejarah besar kerajaan ini,” katanya dengan penuh percaya diri, meskipun sejarah yang dimaksud lebih banyak berisi skandal dan proyek mangkrak.
Hari Rabu, ia mengadakan upacara peresmian kolam renang pribadinya, lengkap dengan pengguntingan pita dan pidato panjang lebar tentang “kemajuan peradaban air di Negeri Mantan.” Para wartawan hanya bisa mengangguk-angguk sambil menahan tawa.
Tak cukup dengan itu, setiap minggu ia selalu mengumumkan “inisiatif besar” untuk kerajaan yang sudah tidak ia pimpin lagi. Pernah suatu kali ia mendeklarasikan Gerakan Nasional Tersenyum Paksa, agar rakyat terlihat bahagia di tengah segala peninggalan ekonominya yang amburadul.
Rakyat pun memberinya berbagai julukan:
Raja Gila Berita karena hampir setiap hari masuk media dengan berita yang tidak relevan.
Sang Maharaja Gila Hormat, karena masih ingin diperlakukan seperti raja meskipun sudah tak punya kuasa.
Sultan Basa-Basi, karena selalu bicara panjang lebar tapi isinya hanya angin lewat.
Namun, satu hal yang membuat rakyat tetap menyimaknya adalah… sindiran yang dilemparkannya ke penguasa baru.
“Kerajaan sekarang kurang transparan!” katanya, lupa bahwa semasa ia berkuasa, transparansi hanya berlaku untuk kantongnya sendiri.
“Raja baru ini kurang dekat dengan rakyat!” katanya, lupa bahwa dulu rakyat hanya bisa dekat dengannya kalau membawa amplop tebal.
“Kepemimpinan sekarang tidak sebaik saya!” katanya, sambil melupakan bahwa di eranya, “baik” adalah kata yang hanya berlaku di pidato kampanye.
Lucunya, penguasa baru juga tidak mau kalah. Alih-alih menanggapinya dengan serius, mereka malah membuat Hari Libur Nasional: Hari Mantan Raja Ngaco, di mana rakyat boleh berpesta dan menertawakan segala warisan absurd yang ditinggalkan Baginda Lupa Turun Takhta.
Akhirnya, meski Baginda masih terus tampil di berita, rakyat sudah tidak peduli. “Biarin aja, yang penting kita tetap waras,” kata mereka sambil menyeruput teh di warung pinggir jalan. Sementara di layar televisi, sang mantan raja masih sibuk meluncurkan proyek barunya: Patung Dirinya Sendiri Sebagai Pahlawan Nasional.
Entah siapa yang bakal menghadiri peresmiannya.