Informasi Terpercaya Masa Kini

Menilik Menu Slametan Masyarakat Suku Osing Banyuwangi

0 3

BANYUWANGI, KOMPAS.com- Suku asli Banyuwangi, Osing telah tersohor atas kekayaan budaya yang memiliki nilai kehidupan tinggi dan masih dipertahankan hingga kini, salah satunya tradisi slametan.

Slametan atau selamatan adalah ritual yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Jawa termasuk Suku Osing sebagai rasa syukur atas karunia Tuhan Yang Maha Esa.

Baca juga: Khidmatnya Prosesi Hari Jadi Pasar Kampoeng Osing Banyuwangi

Menariknya, di wilayah ujung timur Pulau Jawa itu, ada menu khas lokal yang ternyata memiliki pesan kehidupan, seperti yang tampak saat prosesi selamatan Pasar Kampoeng Osing, Kemiren, Glagah pada Minggu (26/1/2025).

“Menu slametan harus lengkap. Harus ada pecel pithik, sego golong, tumpeng serakat, jenang merah, jajanan pasar, polo pendhem, dan buah,” terang Ketua Pasar Kampoeng Osing, Dedy Wahyu Hernanda.

Diurainya, di dalam prosesi slametan, menu-menu tersebut bukan hanya kuliner khas Banyuwangi, melainkan terdapat nilai kehidupan dan harapan yang ingin disampaikan.

“Misalnya pecel pithik, diucel-ucelo ketemuo barang apik,” terang Dedy.

Hal tersebut bermakna bahwa ketika manusia telah ditempa berbagai proses kehidupan, jika terus berusaha, maka akan dipertemukan dengan kebaikan.

“Tumpeng serakat sebagai simbol untuk membuang sial tolak bala,” ujarnya.

Jenang abang atau jenang merah disebut Dedy sebagai simbol bahwa manusia dilahirkan ke dunia tak lepas dari restu kedua orang tua atau leluhur.

“Sego golong jumlahnya harus sembilan. Orang Jawa Osing menyebutnya babakan hawa songo,” tutur Dedy.

Maknanya adalah manusia tidak bisa lepas dari sembilan lubang yang ada di dalam tubuh yaitu mata, hidung, telinga dan lainnya yang dimaksudkan agar manusia berupaya untuk membendung hawa nafsu.

“Harus bisa membendung hawa nafsu serta menuntun diri untuk membawa pada kebaikan,” ucap Dedy.

Baca juga: Rekomendasi Kuliner Saat Berlibur ke Semarang, Lezatnya Gulai Bustaman hingga Lumpia Gang Lombok

Begitu juga dengan hadirnya jajanan pasar serta polo pendhem atau poro bungkil yang merupakan tanaman yang berasal dari tanah seperti kacang dan umbi-umbian juga tersirat harapan.

“Jajanan pasar filosofi biar usahanya ramai tidak pernah sepi. Polo pendhem atau poro bungkil tujuannya ketika ditaruh di slametan, hal-hal yang belum tercapai atau masih terpendam dimudahkan tercapai di tahun ini,” harapnya.

Sementara buah-buahan yang ada, salah satunya yang wajib adalah pisang karena sebagai simbol kekompakan masyarakat Suku Osing.

“Satu liris ada beberapa buah pisang, simbol kerukunan dan kekompakan,” tandasnya.

Leave a comment