Akhir Saga “The Equalizer” dan Penutup yang Manis dari Denzel
Sudah lama saya ingin menonton sekuel terakhir (katanya) dari trilogi “The Equalizer”. Tapi selalu tidak kesampaian karena belum tersedia di aplikasi video streaming Prime Video.
Harap maklum, saya mencari keberadaan “The Equalizer 3” di Prime Video menimbang saya masih berpikir panjang untuk berlangganan Netflix selama sebulan. Lagian belum tentu “The Equalizer 3” sudah ada di Netflix.
Harga berlangganan Netflix yang mahal menurut isi dompet saya juga menjadi pertimbangan khusus. Berbeda dengan Prime Video yang masih “bersahabat” dari segi biaya berlangganan.
Tapi, di suatu siang yang cukup sejuk, saya tidak sengaja memeriksa email dan seperti mendapat durian runtuh, saya melihat pemberitahuan dari Prime Video kalau mereka sudah mengunggah “The Equalizer 3” dalam aplikasi mereka.
“Yes, ini dia yang saya tunggu,” kata saya dalam hati.
Saya lupa apakah paket Nonton Hemat dari Telkomsel yang saya beli di bulan Desember 2024 masih berlaku atau tidak. Saya mengecek SMS tentang paket tersebut dan ternyata masih berlaku paketnya sampai tanggal 26 Januari 2025.
Jam dua siang.
Berbekal jaringan Wi-Fi gratisan, saya mengunduh video “The Equalizer 3” supaya saya bisa menontonnya secara offline di waktu malam.
Malamnya, Senin, 20 Januari 2025, saya menonton film ini.
Secara pribadi, saya ingin mendengar soundtrack “The Equalizer” yang khas dan legend seperti yang diperdengarkan di “The Equalizer” pertama dan kedua.
Sayangnya, saya kecewa, karena tidak ada soundtrack yang saya rindukan tersebut. Soundtrack di sekuel terakhir ini terkesan kurang gereget menurut pendengaran saya, dan tidak memantik suasana “megah” saat Denzel beraksi.
Dan yang lebih herannya, di balik kegagahan McCall, ternyata dia harus “membumi” juga. Ketika pada film pertama dan kedua, McCall terkesan untouchables, tak tersentuh, hanya luka lecet biasa; namun kali ini, sang sutradara beserta penulis skenario menempatkan sang jagoan dalam situasi tak berdaya pada awal cerita.
Meskipun tampilan permulaan film, McCall sangat perkasa dan digdaya, namun dia kecolongan “peluru nyasar” dari seorang remaja tanggung, yang mungkin anak dari sang penjahat. McCall kali ini kena batunya.
Terluka di punggung belakang, McCall tak berdaya. Seorang diri dan seakan habislah nyawa sang jagoan yang seperti tanpa tanding di seri-seri sebelumnya.
Sepertinya McCall akan dikenang sebagai pecundang karena dikalahkan oleh seorang remaja yang tidak dia perhitungkan.
Tapi disinilah letak kemanusiaan seorang McCall. Karena dia cuma manusia biasa. Bisa salah, bisa terluka, dan bisa mati, kalau tidak dibantu oleh sesama.
Sang mantan perwira Badan Intelijen Pertahanan yang mempunyai data informasi yang “bersih” di dunia maya tersebut terbujur lemah di mobil di suatu area terpencil. Beruntung, ada seorang polisi dan dokter yang menolongnya sehingga nyawanya selamat.
Hari-hari dengan tongkat. Begitulah McCall mengisi kesehariannya di kota kecil yang bernama Altamonte. Awalnya, dia merasa asing dengan kondisi kota yang asing ini, namun lambat laun, dia merasakan kehangatan dan keramahan dari penduduk setempat.
Ada rasa cinta di kota tersebut yang dia rasakan. Betah. Itulah yang menjadi rasa selanjutnya yang melekat di hati McCall.
Sayangnya, kedamaian tersebut tidak bisa sepenuhnya diraih, karena ada “kanker” yang mengganggu tercapainya kedamaian tersebut. Mafia narkoba menguasai seluruh sendi kehidupan di kota itu. Meneror penduduk, mengambil pungutan liar dengan paksa, menggunakan kekerasan demi keuntungan pribadi mafia, dan lain sebagainya.
Dan seperti biasa, McCall tidak bisa tinggal diam melihat ketidakadilan terjadi di depan matanya.
Akhir cerita? Kembali McCall berjaya dengan elegan dan seperti biasa, tidak ada saksi dalam peristiwa saat McCall memperlihatkan kepiawaiannya dalam “menyelesaikan” satu demi satu musuhnya.
Happy ending. McCall menemukan kota yang mencintai keberadaan dirinya. End of the story, Denzel mengakhiri peran McCall dengan manis di “The Equalizer 3”.
Kehilangan nuansa literasi
Terus terang, saya merasa kehilangan nuansa literasi di sekuel terakhir ini. Saga “The Equalizer” ini sejak film pertama sampai kedua sangat lekat dengan kebiasaan McCall dalam membaca buku. Sayangnya, di film ketiga ini, tidak terlihat McCall membaca.
Kalau pun ada sedikit unsur literasi, itu terlihat saat McCall menaruh dan mengambil jam tangannya di laci meja kecil di samping tempat tidur. Di dalam laci itu, ada buku tebal berwarna gelap dengan simbol salib di tengah buku tersebut.
Asumsi saya, itu adalah Alkitab dan McCall mungkin rajin membaca kitab suci agama Katolik dan Kristen tersebut sebelum tidur.
Unsur literasi ada, meskipun tidak senyata di film-film sebelumnya.
Superhero juga manusia
Mungkin yang tampak nyata dari film-film Amerika dibandingkan dengan film-film Indonesia adalah superhero juga manusia. Tidak anti peluru. Terdiri dari darah dan daging.
Saya teringat dengan salah satu film Indonesia (saya lupa judulnya) yang mengisahkan seorang gadis yang luar biasa keterampilan ilmu bela dirinya. Saya lupa secara persis garis besar dari film tersebut, tapi yang membuat saya heran adalah saat gadis tersebut bertarung.
Entah mata saya yang kurang awas atau memang benar adanya, saya melihat keganjilan dimana sang gadis terlihat perkasa sekali dalam berkelahi. Meskipun terkena berbagai pukulan dan tendangan dari segerombolan lawan, dia tetap perkasa.
Tapi yang saya herankan lebih lagi; saat benda-benda tajam seperti pisau, celurit, parang, atau yang sebangsanya, menyasar tubuh sang gadis, sang gadis dengan gampangnya mengelak, sehingga tubuhnya tetap tak tersentuh ketajaman benda-benda runcing tersebut. Tapi sewaktu bogem mentah atau tendangan geledek yang datang, dia tidak bisa menghindar dengan mudah.
Benjol-benjol karena bogem mentah, tapi hanya sedikit luka karena sayatan benda tajam. Aneh sekali!
McCall, setelah dua film sebelumnya begitu perkasa dan sakti mandraguna, di sekuel kali ini, dia harus menerima kenyataan pahit yang mungkin mengusik nuraninya, yaitu terkapar tak berdaya, ditolong oleh orang-orang yang tak mengenalnya tanpa mengharap imbalan apa pun atas dasar kemanusiaan, dan dia harus kembali melatih tubuh menjadi kuat seperti sebelumnya.
Keunikan yang lain adalah dia melihat para penduduk di kota kecil tersebut menerima dia apa adanya. Mereka tidak ingin tahu asal-usul dia atau apa yang telah dia perbuat di masa lampau.
Di kota inilah dia merasakan kedamaian yang selama ini dia cari. Dia tidak merasa sendiri lagi.
“Aroma” kekejaman
Tentu saja, film ini tidak direkomendasikan untuk menjadi tontonan bagi semua usia. Kenapa? Karena unsur kekerasan yang marak di film ini bisa diartikan secara negatif oleh insan-insan yang belum memenuhi usia yang matang untuk melihat beberapa adegan “berdarah-darah” secara benar dan pada tempatnya.
Ini hanya fiksi. Kalau disalahartikan oleh penonton yang masih berada dalam usia dini dan remaja yang belum mencapai tujuh belas tahun, maka bisa berbahaya. Makanya untuk itu, perlu adanya kontrol yang ketat, khususnya dari para orang tua, sebelum mengizinkan para anak yang belum cukup umur untuk menonton film ini.
Era berakhirnya Denzel sebagai McCall
Yah, tidak ada pesta yang abadi. Selalu ada akhir dari suatu pesta. Denzel harus mengakhiri kisah McCall sebagai mantan agen pemerintah dari operasi hitam yang mempunyai identitas baru dan menjadi sosok misterius bagi setiap lawan. Mungkin kita akan melihat Robert McCall dalam sosok aktor lain suatu saat kelak. Who knows? Tapi, seperti layaknya film-film legendaris yang seperti tak bisa berpisah dengan pemeran yang seakan “tak tergantikan”; seperti Christopher Reeve dalam film Superman, Christian Bale dalam trilogi Batman versi Christopher Nolan; Denzel Washington akan tetap melekat sebagai Robert McCall, sang “The Equalizer”. Pemirsa seperti saya merasa Denzel-lah sosok yang paling tepat untuk memerankan McCall, sosok mantan perwira Badan Intelijen Pertahanan yang punya kesukaan membaca buku ini.
Tapi, biar bagaimana pun, memang hidup harus terus bergulir. Apa pun yang terjadi, kita harus menerima, seandainya ada film susulan “The Equalizer”, misalnya “The Equalizer 4” dengan sosok aktor lain sebagai McCall.
Yang jelas, Denzel Washington sudah memberikan legacy yang luar biasa dalam trilogi “The Equalizer”. Semoga beliau bisa tetap terus berkarya, meskipun tidak lagi sebagai Robert McCall.
Bagi yang belum menonton film ini, selamat menyaksikan di berbagai aplikasi video streaming yang menyediakan film “The Equalizer 3”. Syukur-syukur, bisa menonton dua film sebelumnya, yaitu film pertama “The Equalizer” dan film kedua “The Equalizer 2”, supaya bisa mendapatkan pemahaman yang lengkap tentang sosok Robert McCall, seorang mantan agen pemerintah dari operasi hitam yang “melebur” dalam keriuhan bertetangga dan menolong sesama dalam “kesunyian”.
Karena pahlawan tidak harus tampil secara terang-terangan.