Informasi Terpercaya Masa Kini

Prabowo Dinilai Sulit Nambah Utang, Saran Ekonom Buru Pajak ‘Bawah Tanah’

0 3

Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengingatkan bahwa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tidak memiliki banyak ruang untuk menarik utang lebih banyak.

Wijayanto memproyeksikan debt service ratio (DSR) akan mencapai 45% pada 2025, yaitu cicilan pokok dan biaya bunga utang mencapai Rp1.253 triliun dengan penerimaan negara mencapai Rp3.005 triliun. Angka DSR tersebut, sambungnya, jauh di atas batas aman yaitu 30%.

DSR sendiri merupakan indikator kemampuan suatu negara membayar kewajiban utangnya, baik bunga maupun pokok, dibandingkan dengan pendapatan yang diterima dalam periode tertentu.

Baca Juga : Prabowo ‘Pelototi’ Kinerja Sri Mulyani Cs untuk Kawal Anggaran Negara

“Ini angka dari mana [batas aman] 30% ini? Ini angka teman-teman di BI [Bank Indonesia]. Kita sering diskusi internal dan ini threshold [ambang batas] yang mereka selalu pakai selama ini,” ujar Wijayanto dalam diskusi secara daring, Rabu (22/1/2025).

Mantan staf khusus wakil presiden bidang ekonomi dan keuangan itu menegaskan jika DSR sudah sangat tinggi maka menjadi peringatan bagi pemerintah bahwa penerbitan utang tidak bisa ugal-ugalan lagi.

Baca Juga : : 100 Hari Prabowo, Pakar Sebut Arah Kebijakan Ekonomi Belum Jelas

Tidak hanya itu, sambungnya, investor juga akan ragu membeli surat utang yang diterbitkan pemerintah apabila DSR terlalu tinggi. Oleh sebab itu, Wijayanto menekankan pemerintah harus mencari sumber penerimaan baru untuk membiayai program-programnya.

Dia menyarankan agar pemerintah fokus memajaki aktivitas ekonomi bawah tanah alias underground economy. Dia mencontohkan, underground economy seperti transaksi barang ilegal atau malah barang legal tetapi menghindari pajak.

Baca Juga : : Pemerintahan Prabowo di Mata Pakar: Populis, Banyak Janji, Kurang Teknokratis

“Misalnya barang selundupan atau cukai palsu, rokok tanpa cukai. Saya rasa pemerintah ketika menertibkan cukai palsu dan peredaran rokok tanpa cukai, itu sudah puluhan triliun, akan ada tambahan revenue [penerimaan],” jelasnya.

Selain itu, Wijayanto juga mendukung penerapan aplikasi Coretax atau sistem inti administrasi perpajakan oleh Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Menurutnya, Coretax sangat menjanjikan untuk menambah penerimaan pajak ke depan.

Dia meyakini selama ini permasalahannya ada di tata administrasi perpajakan. Padahal tarif-tarif pajak di Indonesia sudah relatif tinggi namun rasio pajak terhadap PDB masih rendah.

“Artinya permasalahan bukan di rate [tarif pajak], tapi di governance [tata kelola],” tutup Wijayanto.

Leave a comment