Informasi Terpercaya Masa Kini

Cerita Sebuah Botol

0 1

Cerita Sebuah Botol Minum

Karya; Salwa Amalia Kaysan

Pagi buta, langkah Tuanku gegas membelah dingin. Menghempaskan rasa malas. Berlari mengejar mimpi yang masih enggan tersenyum.

Tangan kecil Tuanku mengepal. Giginya beradu keras, seakan ingin bercerita.

Sedangkan aku diam hangat, dipeluk buku, dan diselimuti tas gratisan, dari belas kasihan orang.

Cukup hangat dan wangi di sini. Aku meringkuk memandangi buku-buku, yang ribut di sepanjang jalan.

“Berhentilah bergunjing!” gumamku malas.

“Diam saja kau!” bentak pena yang terjepit di antara kotak bekal makanan.

“Ya ampun, Tuan kita ini!” keluh sebuah dompet usang, yang berisikan koin-koin yang tak kalah lusuhnya.

Aku kembali diam. Lamunanku berkelana jauh. Terpampang kembali manisnya kenangan bersama Tuanku.

“Ada apa ini?” gumam ku pelan.

Ada rasa dingin menjalari seluruh tas ini. Keramaian sudah tak tersisa. Tiba-tiba resleting tas terbuka, dan Tuanku mengambil dan meneguk beberapa kali. Betapa senang rasanya.

Rona wajahnya lega sekali. Pasti Tuanku terserang panik lagi, hingga meneguk seperti itu. Seperti orang berlari marathon.

Matahari masih bersembunyi, saat kami memasuki gerbang sekolah. Tidak biasanya tangan Tuanku terus menggenggam erat. Ada getaran halus yang sangat menyedihkan.

Tidak biasanya. Seharusnya aku kembali masuk ke tas dan bergelung malas di sana. Tuanku susah minum air putih. Dia hanya minum saat benar-benar “ingat” atau terserang panik. 

Aku sering dilupakan. Hari ini sungguh luar biasa. Tuanku mengusapku lembut dan memeluk erat.

Seperti biasa, aku berdiri cantik di meja. Menatap wajah Tuanku yang tengah serius belajar. Beberapa kali dia akan menatapku dengan senyuman bahagia.

Tak ada yang berubah. Hari ini aku menemaninya dengan setia. Hanya satu kali Tuanku menyentuhku, lalu bangkit pergi di jam istirahat.

Tawa Tuanku berlari menghilang di balik pintu. Aku berdiri gagah di meja. Kulihat sekeliling begitu ramai. Seakan tidak terkendali. Tiba-tiba aku terpelanting jatuh, dan pecah.

Sakit sekali. Air mengalir deras, menggenang. Pecah dan basah. Rasanya seperti mimpi. Aku ingin bangun. Ada tangan meraihku dan meletakkan kembali, di mana aku tadi berdiri.

Dia bukan Tuanku. Senyuman itu merekah tanpa rasa bersalah. Dia kembali bersenda gurau tanpa rasa sedih. Air terus mengalir. Akupun kosong, dan merasa hampa.

Rasa dingin menyelimutiku, padahal kelas ini tidak ber-AC.

“Ke mana Tuanku pergi?” rintihku kesakitan.

Aku merasa tak berguna. Sudah menerima kepasrahan yang mulai menyelimuti.

“Botolku!” pekik Tuanku sedih, “Siapa yang berbuat?” tanyanya dengan marah.

Aku merasakan genggaman kuat, tapi tak terasa sakit. Ada rasa sakit yang lebih dibanding remasan kuat Tuanku.

Wajah Tuanku yang sedih, marah dan merasa bersalah, lebih membuat hancur.

Tak ada yang mengakui. Kulihat si pelaku hanya melirik sekilas dan kembali asyik bersenda gurau.

Temanku buku, pensil dan pulpen ribut memberitahukan. Namun bahasa mereka tak terdengar, suara mereka tak terjemahkan oleh alam semesta.

Rasanya cerita ku akan berakhir dengan berita; “Sebuah Botol Minum Pecah dan Bocor Sendiri”. Sungguh tak mengasyikan, mengakhiri tugas sendiri, yang akhirnya terbuang dengan sia-sia.

“Dia yang melakukan!” kata sebuah suara lantang.

“Eh, apaan?” kata si pelaku berang, “salahnya sendiri meletakkan botol minumnya di pinggir!” sahutnya dengan garang.

Tuanku menatap nya dengan tubuh menggigil. Aku melihat kabut gelap merayap pelan. Wajahnya sangat menyeramkan. Dapat kurasakan api itu berkobar, membakar hatinya.

Tiba-tiba getaran itu berhenti. Tuanku menundukkan kepalanya dan menatapku sedih. Tuanku menang, sorakku dalam hati. Amarah itu pergi, tenggelam dengan rasa sedih. Aku ikhlas untuk berada di tong sampah.

Namun, dia terus menggenggam ku dengan lembut. Menyerahkan kepada ibunya, yang memandangiku dengan rasa sesal. Sedangkan Tuanku menumpahkan semua rasa di hati.

“Semua yang terjadi di muka bumi ini atas kehendak-NYA. Tak perlu marah, Nak! Dengan kejadian ini, kamu tahu karakter teman kamu, kan?”

Suara itu menelusup di antara ruang. Bergema dan menenangkan hati. Pecahan di bagian bawahku seakan dibalut dan sembuh. Walau tetap saja, aku tergeletak di antara barang rongsokan.

Aku sudah pensiun dan pasrah. Sudah tak berguna lagi. Namun aku merasa tenang, karena sudah menunaikan tugasku. Menjadi wadah untuk tuanku minum, mengusir rasa haus, rasa penat dan rasa khawatir yang menyergapnya, dengan mengalirnya air di tenggorokannya.

Tuan, terima kasih untuk waktumu, memberiku kesempatan membersamai.

Jakarta, 16 Januari 2025.

Leave a comment