Apindo Bicara Dampak RI Gabung BRICS ke Pengusaha
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai langkah pemerintah untuk bergabung dengan blok BRICS tak berdampak langsung pada ekonomi sektor usaha.
Ketua Umum Apindo Shinta W Kamdani mengatakan, Apindo melihat BRICS lebih banyak berorientasi pada isu geopolitik dibandingkan pada harmonisasi kebijakan ekonomi yang konkret.
“Keanggotaan ini memang tidak memberikan manfaat langsung bagi sektor usaha melalui akses pasar baru tarif dan lain-lain,” kata Shinta kepada kumparan, Selasa (7/1).
Meski demikian, lanjut Shinta, Apindo juga memandang keanggotaan penuh Indonesia dalam BRICS sebagai peluang strategis untuk mendiversifikasi mitra dagang dan investasi, di tengah dinamika ekonomi global yang terus berubah.
BRICS memungkinkan Indonesia memperkuat kerja sama dengan negara-negara seperti Tiongkok, India, dan Uni Emirat Arab (UEA) yang merupakan pasar potensial.
“Keanggotaan ini juga dapat memperkuat posisi Indonesia di pasar non-tradisional seperti di Afrika dan Timur Tengah,” tutur Shinta.
Kendati dampak langsung secara ekonomi terhadap sektor usaha tidak terlihat, akan tetapi menurut dia Indonesia masih bisa memanfaatkan peluang di dalam BRICS.
Shinta menyoroti keanggotaan ini bisa menciptakan peluang kerja sama di sektor manufaktur, agrikultur, hingga energi dengan UEA dan Ethiopia.
“(Lalu) alternatif pembiayaan proyek melalui BRICS New Development Bank (NDB), sektor usaha dapat mengakses pembiayaan untuk proyek infrastruktur dan energi terbarukan, yang selama ini mungkin terkendala oleh sumber pendanaan tradisional,” terangnya.
Selain itu, Shinta melihat pelaku usaha dapat memanfaatkan keunggulan teknologi dari anggota BRICS seperti Tiongkok dan Rusia untuk mendukung transformasi industri domestik.
“Namun, kami juga menyadari adanya tantangan, termasuk potensi retaliasi dagang dari negara-negara non-BRICS atau risiko ketergantungan pada mitra tertentu, seperti Tiongkok. Oleh karena itu, pelaku usaha perlu merencanakan strategi mitigasi risiko dengan baik,” jelas Shinta.
Shinta juga melihat isu dedolarisasi di BRICS. Menurutnya, sentimen negatif AS terhadap hal ini merupakan isu yang kompleks. Namun posisi Indonesia dalam perdagangan global tetap mengedepankan prinsip bebas aktif.
Dia memandang, keanggotaan di BRICS tidak berarti Indonesia akan menggantikan mitra dagang seperti AS, tetapi lebih kepada diversifikasi mitra untuk mengurangi risiko ketergantungan pada pasar tertentu.
Kendati demikian dia melihat ada skenario potensi retaliasi dagang, jika sentimen negatif AS meningkat, hambatan perdagangan seperti tarif tambahan atau regulasi non-tarif bisa saja muncul. “Namun, hal ini sangat bergantung pada dinamika politik dan ekonomi kedua negara,” imbuhnya.
Kemudian skenario mengenai pengelolaan risiko valas. Sebab, dengan adanya inisiatif dedolarisasi BRICS, perusahaan Indonesia yang berorientasi ekspor ke AS perlu lebih berhati-hati dalam manajemen risiko valuta asing untuk menjaga daya saing harga.
Kemudian peluang memperluas diversifikasi. Diversifikasi pasar melalui BRICS dapat memberikan alternatif bagi pelaku usaha jika hambatan perdagangan dengan AS meningkat.
“Apindo percaya bahwa pemerintah dan sektor swasta perlu bekerja sama untuk memastikan kepentingan nasional tetap terlindungi, baik dalam hubungan dengan AS maupun dalam pengelolaan peluang dari BRICS,” tutup Shinta.
Sebelumnya, Indonesia telah resmi bergabung sebagai anggota BRICS. Hal ini telah diumumkan secara resmi oleh Brasil sebagai ketua blok tersebut.
Brasil mengatakan, negara-negara anggota menyetujui masuknya Indonesia sesuai dengan kesepakatan perluasan keanggotaan pada KTT BRICS 2023 di Johannesburg, Afsel.
Pada saat itu, Indonesia memberi lampu hijau untuk gabung, hanya saja Indonesia meminta bergabung secara resmi setelah Pilpres 2024 yang dimenangkan oleh Prabowo Subianto.