Informasi Terpercaya Masa Kini

Banyak Kisah Perjumpaan Tapi Minim Bukti, Apakah Harimau Jawa Masih Ada?

0 3

KOMPAS.com – Harimau jawa (Panthera tigris sondaica) pernah dinyatakan punah tahun 1950-an, namun terlihat lagi sehingga pernyataan itu ditangguhkan.

Lalu setelah sekian lama tidak terlihat, harimau Jawa kembali dinyatakan punah pada tahun 1980-an. Penampakan terakhir yang diakui secara ilmiah terjadi pada tahun 1976 di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. 

Rupanya setelah itu masih ada laporan mengenai kehadiran harimau. Karenanya para peneliti bersama Tiger Foundation mencarinya di Taman Nasional Meru Betiri selama setahun. Hasilnya, pada tahun 1999 harimau Jawa dinyatakan punah lagi.

Setelah tidak ada bukti konkret tentang keberadaan harimau ini, pada tahun 2003, International Union for Conservation of Nature (IUCN) secara resmi menyatakan bahwa harimau Jawa telah punah.

Meski dinyatakan punah, laporan mengenai penampakan harimau Jawa terus bermunculan hingga saat ini.

Beberapa penduduk lokal dan peneliti melaporkan melihat jejak kaki atau mendengar suara auman yang diduga berasal dari harimau Jawa di beberapa kawasan hutan terpencil seperti Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Meru Betiri, Pegunungan Kendeng, Gunung Wilis, Sukabumi, hingga daerah Gunung Kidul di DIY.

Pada tahun 2017, beredar foto seekor kucing besar yang diduga harimau Jawa di kawasan hutan Banyuwangi. Namun, penelitian lebih lanjut mengungkapkan bahwa foto tersebut adalah macan tutul Jawa, bukan harimau Jawa.

Jauh sebelumnya, cerita perjumpaan dengan harimau jawa juga dituturkan seorang penjaga hutan di kawasan Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur, bernama Sutarjo, tahun 1972.

Saat itu, ia sedang berpatroli untuk memastikan keamanan hutan dari penebang liar. Tiba-tiba, ia melihat seekor harimau berwarna loreng dengan tubuh lebih kecil dibandingkan harimau Sumatera. Harimau itu hanya memandangnya sebentar, kemudian berjalan perlahan dan menghilang di semak belukar. 

Meski sempat merasa ketakutan, Sutarjo percaya bahwa harimau itu bukan ancaman, melainkan penjaga hutan yang seharusnya dihormati.

Pada tahun 1960-an, seorang pemburu bernama Darmo yang sering memburu hewan di Alas Purwo, Banyuwangi, berhadapan langsung dengan seekor Harimau Jawa. 

Ketika ia mengarahkan senapannya, harimau tersebut hanya menatap dengan tatapan tajam dan penuh wibawa. Entah mengapa, tangan Darmo gemetar dan ia tidak bisa menarik pelatuk. 

Setelah kejadian itu, ia memutuskan untuk berhenti berburu dan menjadi aktivis pelestarian hutan. Darmo percaya bahwa perjumpaannya adalah tanda bahwa manusia harus berdamai dengan alam, bukan mengeksploitasinya.

Pada tahun 1976, sekelompok peneliti melaporkan jejak yang diduga milik Harimau Jawa di Taman Nasional Baluran. Salah seorang warga lokal bernama Surono mengaku melihat seekor harimau melintas cepat di antara semak-semak. Namun, laporan tersebut tidak pernah dikonfirmasi secara ilmiah. 

Meski demikian, perlu diperhatikan bahwa kisah-kisah perjumpaan dengan harimau di atas terjadi tahun 1960-an dan 1970-an, sebelum harimau jawa resmi dinyatakan punah.

Setelah itu, kisah perjumpaan dengan harimau di Jawa makin jarang terdengar. Seandainya pun ada, tidak ada bukti yang mendukungnya, meskipun saat ini hampir semua orang memiliki ponsel berkamera yang dibawa setiap saat.

Namun cerita perjumpaan dengan harimau tidak hilang sama sekali. Anggota Perbakin (Persatuan Menembak dan Berburu Indonesia) melaporkan perjumpaan dengan harimau Jawa pada tahun 1993 di Gunung Argopura dan tahun 1994 di Tretes, Jawa Timur.

Karena banyaknya laporan warga soal kehadiran harimau, maka berbagai usaha dilakukan untuk membuktikan keberadaannya, baik oleh peneliti, aktivis lingkungan, maupun lembaga pemerintah. 

Pada tahun 1997 misalnya, dilakukan ekspedisi untuk mencari harimau di Meru Betiri, di Jawa Timur, yang sering disebut sebagai habitat terakhir Harimau Jawa.

Para peneliti memasang kamera jebakan, melakukan survei jejak, dan bertemu dengan saksi-saksi warga yang mengaku pernah melihat, termasuk pemburu babi, pencari burung dan lainnya.

Dalam ekspedisi masih ditemukan jejak, kotoran, rambut, dan garutan yang diduga dari harimau, namun tidak ada perjumpaan langsung sehingga dianggap tidak bisa menunjukkan bukti kuat keberadaan Harimau Jawa.

Setelah itu, tahun 2010-an World Wildlife Fund (WWF) bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melakukan eksplorasi di beberapa area seperti Meru Betiri dan Ujung Kulon.

Meskipun tim menemukan beberapa jejak yang awalnya dicurigai milik Harimau Jawa, analisis lebih lanjut menyimpulkan bahwa jejak tersebut berasal dari macan tutul Jawa (Panthera pardus melas).

Ekspedisi dengan menggunakan kamera jebakan juga dilakukan di Taman Nasional Alas Purwo dan Baluran di Jawa Timur. Hasil rekaman hanya menunjukkan keberadaan hewan lain seperti macan tutul, kucing hutan, dan babi hutan, bahkan pemburu liar, tetapi lagi-lagi tidak ada bukti keberadaan Harimau Jawa.

Meski begitu, banyak warga lokal, terutama di sekitar hutan-hutan terpencil, masih melaporkan perjumpaan dengan harimau atau menemukan jejak yang mirip dengan Harimau Jawa.

Salah satu yang terbaru adalah laporan warga di Kecamatan Sendang, lereng Gunung Wilis tahun 2020 di mana terjadi perjumpaan warga dengan dua ekor harimau, yang satu didga sebagai anakan.

Tetapi karena tidak adanya bukti fisik yang kuat, laporan ini masih dianggap sebagai kesaksian yang belum dapat diverifikasi.  

Baca juga: Dinyatakan Punah, Apakah Ada Kemungkinan Harimau Jawa Masih Hidup?

Penampakan Harimau Jawa baru-baru ini

Harapan keberadaan harimau Jawa disertai bukti yang cukup menjanikan muncul lagi pada tahun 2019, tepatnya tanggal 19 Agustus malam, ketika seorang penduduk desa Cipeundeuy, Sukabumi Selatan, Jawa Barat bernama Rifi Yanuar Fajar mengaku berpapasan dengan hewan mirip Harimau Jawa di pinggiran desanya.

Saat itu ia pulang ke rumah naik motor melintasi jalan desa sekitar pukul 23.00 WIB, sehingga jalan yang dilaluinya cukup gelap. Bersama Rifi, ada empat orang lain yang mengendarai mobil di belakang motornya.

Ketika mereka melintas di Kecamatan Surade, tiba-tiba sesosok bayangan melompat dari kegelapan dan muncul di depan motor Rifi. Karena tidak tersorot lampu motor, wajah hewan tersebut tidak terlihat jelas.

Namun pendaran cahaya motor dan mobil membuat mereka mengenali bahwa hewan yang ada di depannya adalah sekor harimau, karena tubuhnya terlihat berwarna kuning dengan garis-garis hitam.

Hewan itu sempat berdiri diam beberapa saat, lalu melompat dan menghilang ke dalam hutan. Rifi yang terkejut segera meninggalkan motornya dan naik ke mobil.

Kisah Rifi soal pertemuan dengan harimau ini dibenarkan oleh empat saksi lainnya yang semuanya berdomisili di Cipeundeuy.

Setelah kejadian itu, pada tanggal 27 September 2019, mereka mencoba menelusuri tempat kejadian, dan menemukan helai rambut yang tersangkut di ranting. Hasil penemuan rambut tersebut diserahkan ke BKSDA Jabar. 

Dalam diskusi yang diadakan oleh Forum Konservasi Satwa Liar Indonesia (Foksi) Rabu (3/4/2024), Peneliti Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wirdateti mengatakan bahwa sampel rambut itu diduga berasal dari harimau Jawa.

Para peneliti yang melakukan analisis DNA, mendapati bahwa sampel rambut yang ditemukan di Sukabumi Selatan itu disimpulkan berasal dari spesies Panthera tigris sondaica atau Harimau Jawa. 

Analisa ini dilakukan dengan membandingkan sampel rambut tersebut dengan spesimen Harimau Jawa koleksi Museum Zoologicum Bogoriense (MZB).

Peneliti juga membandingkannya dengan rambut dari beberapa subspesies sampel harimau lain, yaitu Harimau Bengal, Amur dan Sumatra, serta Macan Tutul Jawa yang digunakan sebagai kontrol. 

Hasil analisis DNA terhadap bulu itu menunjukkan bahwa DNA-nya lebih identik dengan DNA spesimen Harimau Jawa koleksi Museum Zoologicum Bogoriense (MZB).

Jarak genetika DNA sehelai bulu itu dengan DNA spesimen Harimau Jawa koleksi MZB lebih rendah daripada DNA tiga jenis harimau lainnya yaitu Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae), Harimau Bengal (Panthera tigris tigris) dan Harimau Siberia (Panthera tigris altaica) dan Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas).

“Selain membandingkan dengan spesimen yang dari MZB, ada juga pembandingan yang dilakukan peneliti China karena mereka juga punya spesimen harimau Jawa, dan dalam perbandingan panjang pendeknya DNA, ternyata sampel yang didapat di Sukabumi dekat atau mirip juga dengan milik peneliti China ini. Jadi rambut yang ditemukan ini sesuai dengan sampel-sampel harimau Jawa,” ujar Wirdateti saat dihubungi Selasa (24/12/2024).

“Jadi saya berani mengatakan bahwa itu memang berasal dari harimau Jawa. Tapi tentu banyak sanggahan karena orang kan tidak percaya bahwa harimau Jawa masih ada. Namun saya tetap melanjutkan pengamatan, termasuk di daerah selain Sukabumi,” lanjutnya.

Menurut Wirdateti, rambut antar subspesies harimau secara morfologi serupa karena berasal dari nenek moyang yang sama. Tetapi jika dilihat secara molekuler genetik ada perbedaannya. Harimau sundaland (termasuk di antaranya adalah harimau Jawa, Sumatra, dan Bali) secara genetik memiliki kekerabatan lebih dekat, dibanding harimau kontinental. 

“Meskipun hampir sama secara morfologi, tapi masing-masing memiliki perbedaan. Pembeda inilah yang mengantaran kita pada dugaan bahwa yang ditemukan adalah harimau Jawa,” paparnya.

Selain menemukan rambut, di lokasi yang sama juga ditemukan bekas cakaran yang mirip dengan yang dihasilkan oleh harimau. 

Temuan tersebut kemudian dipublikasikan dalam jurnal Oryx terbitan Cambridge University Press tahun 2024 berjudul “Is the Javan tiger Panthera tigris sondaica extent? DNA analysis of a recent hair sample“.

Meski begitu, para peneliti belum bisa menyimpulkan bahwa harimau Jawa masih ada, karena sejauh ini belum ditemukan bukti-bukti yang bisa diyakini. 

“Bicara harimau Jawa ini sensitif, kalau disebut ada, mana buktinya? Dalam konteks ilmiah kita kan harus melakukan pengujian,”ujar Wirdateti.

Sejauh ini diakui juga bahwa para peneliti kebanyakan mendapatkan data sekunder, artinya data dari laporan masyarakat. Banyak warga mengaku melihatnya dan yakin bahwa harimau Jawa masih ada, namun saat dicari hewan tersebut seolah menghilang.

“Nah (kesaksian) ini yang harus dibuktikan secara ilmiah. Sebagai peneliti yang meneliti keberadaan harimau, secara pribadi saya yakin masih ada, tetapi saya perlu bukti apakah itu benar harimau Jawa atau harimau lain. Karena kan bisa jadi harimau lain itu dilepas ke alam. Apakah harimau peliharaan atau lainnya. Tapi dari hasil pengamatan saya, kemungkinan harimau Jawa itu masih ada,” papar Wirdateti.

Dalam pencarian berikutnya, tahun 2024, Wirdateti mendapat petunjuk serta laporan penampakan harimau dari masyarakat di sebuah daerah di Jawa (lokasi persisnya tidak bisa disebutkan karena dikhawatirkan membuat masyarakat khawatir dan justru mengundang pemburu). 

Hal yang membuatnya yakin bahwa itu adalah harimau adalah keterangan saksi yang dengan detail menyebutkan ciri-ciri hewan yang dilihatnya. Meski banyak yang menyebutkan bahwa yang dilihat warga kemungkinan macan tutul, namun menurut Wirdateti, habitat lokasi pelaporan kurang cocok dengan macan tutul karena jenis pepohonan di sana membuat macan tutul sulit memanjat, padahal itulah perilaku utamanya. 

Selain itu, lokasi tersebut memiliki banyak gua yang lebih cocok ditinggali harimau, dan masih terdapat hewan-hewan yang bisa dimangsa seperti rusa, trenggiling, hingga monyet.

Namun lagi-lagi, sejauh ini belum ada bukti sampel rambut, kotoran, hingga foto atau video yang menunjukkan keberadaan simbah di sana.

Baca juga: Temuan DNA Harimau Jawa, Mengapa Belum Ditemukan Bukti Foto?

Bukti foto

Memang bila kita mencarinya di internet, akan banyak foto bahkan video yang memperlihatkan penampakan harimau Jawa. Namun sebagian besar adalah hoaks atau palsu, berupa foto atau video yang diambil di tempat lain yang diklaim sebagai harimau Jawa.

Namun ada satu foto yang banyak mendapat perhatian, yang diklaim sebagai harimau Jawa, hasil jepretan pemburu babi hutan.

“Foto itu berasal dari warga lokal yang adalah pemburu babi hutan. Komunitas ini agak tertutup, dan dia tidak mau disebutkan namanya atau lokasi pengambilan fotonya,” kata Didik Raharyono, peneliti harimau yang merupakan alumni Fakultas Biologi UGM, saat dikonfirmasi Selasa (24/12/2024).

Didik tidak mengungkap lokasi hutan tempat ditemukannya harimau Jawa. Dia tak ingin harimau Jawa kemudian jadi objek perburuan. Dia hanya mengatakan harimau Jawa itu ditemukan di hutan jati dengan titik-titik hutan alam yang dianggap angker alias wingit di Jawa Tengah (Jateng).

Adapun Didik pertama kali mendapat info ada foto harimau Jawa itu tahun 2018. Tetapi saat itu, ia sulit menemui pemotretnya karena dia seorang pemburu yang tidak ingin identitasnya diketahui. Melalui pendekatan selama tiga bulan, akhirnya sang pemotret bersedia bertemu setelah diyakinkan dirinya bukan petugas, namun peneliti.

Menurut cerita sang pemburu, pada bulan September 2018, ia dan seorang temannya sedang nyanggong (menunggu) di atas pohon untuk mengintai babi hutan. Saat itu sekitar jam 4 sore lebih sehingga cahaya Matahari masih terang. Lalu mereka mendengar suara yang semula dikira babi hutan, tapi sedikit berbeda. 

“Kalau babi hutan suaranya kresek.. kresek.. kresek, tapi ini kresek-kresek lalu berhenti dan begitu lagi, seolah sang hewan bergerak dengan hati-hati dan mengamati setiap langkahnya. Akhirnya muncul seekor harimau yang mau turun minum,” ujar Didik menirukan kisah si pemburu.

Melihat harimau, keduanya panik, bahkan teman sang pemotret hendak turun dari pohon dan lari, namun dicegah. Si pemburu sendiri juga panik namun sudah siap dengan senapan. “Orang ini sempat berkata, kalau harimau itu melihat saya, maka senapan ini akan saya tembakkan ke arahnya, karena bisa saja dia akan menyerang jika mengetahui kami ada di sana,” kata Didik.

Tetapi harimaunya malah terlihat bingung, berjalan bolak balik ke arah selatan dan utara. Saat itulah sang pemburu terbersit ide untuk memotret. Tapi karena gemetar, foto pertama dan kedua kabur, baru foto ketiga berhasil memperlihatkan sosok macan loreng itu.

Saat Didik menemuinya, sang pemburu bercerita bahwa itu bukan pertemuan pertama dengan harimau, tapi pertemuan ketiga.

Yang pertama tahun 2015-an di mana dia mennembak satu ekor harimau masih anakan, tapi hanya dijual kumisnya karena takut ketahuan.

Yang kedua tahun 2017 waktu berburu merak, dan ternyata di belakang kawanan merak ada harimau remaja yang mengikuti. Keduanya berada di lokasi yan tidak jauh dari pertemuan ketiga di mana foto diambil.

Didik pun sempat mendatangi lokasi tersebut diantar sang pemburu pada 3 Desember 2018 untuk mencocokkan dengan gambar yang ada di foto.

Menurut para pemburu lokal, perjumpaan dengan “kyaine” seperti ini bukanlah hal yang asing karena sebelum tahun 2010 mereka masih sering bertemu harimau, namun setelah 2015 harimau jarang terlihat.  

“Masyarakat memang menganggap hutan itu angker. Warga sendiri mengaku tidak berani masuk ke sana. Tapi bagi saya itu justru merupakan kearifan lokal Jawa agar tak banyak orang merusak hutan dan membunuh penghuninya.”

Dalam foto yang diambil si pemburu, terlihat seekor harimau loreng sedang berjalan dengan kepala menghadap ke bawah. Harimau itu berjalan di atas permukaan tanah yang terlihat miring, menuju tempat minum. 

Didik yakin harimau dalam foto tersebut bukan harimau Sumatera karena ada perbedaan fisik dan jenis lorengnya.

“Pola loreng wajah harimau Jawa lebih tipis dan jarang dibanding harimau Sumatera,” kata Didik. “Moncong harimau Sumatera juga lebih pendek,” kata dia.

Baca juga: Apa yang Bisa Dilakukan jika Harimau Jawa Belum Punah?

Lalu, apakah ada kemungkinan harimau Jawa masih ada di alam liar? 

“Saya yakin harimau Jawa masih ada sampai saat ini. Klaim kepunahan yang telah menjadi stigma sudah didengungkan sejak tahun 1980-an, namun masih banyak saksi dan pemburu yang berburu harimau jawa hingga sekarang. Dari hasil investigasi saya bersama teman-teman selama hampir 20 tahun, ada juga bukti (jejak, cakaran, feses) tentang keberadaan harimau Jawa,” ujar Didik. 

Sedangkan para peneliti di BRIN, meski menduga spesies ini masih ada, namun menjelaskan bahwa ada atau tidaknya harimau Jawa harus dibuktikan melalui analisis studi genetik dan lapangan lebih lanjut. Apalagi tidak ada bukti foto atau video tentang keberadaan si harimau.

Mengenai keberadaan harimau Jawa, ekolog satwa liar sekaligus peneliti harimau, Sunarto mengatakan bahwa cerita masyarakat bukan sesuatu yang salah atau perlu dilarang.  

“Namun, tanpa bukti ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, cerita atau informasi masyarakat belum dapat digunakan sebagai bukti keberadaan suatu jenis satwa, terlebih jenis yang telah bertahun-tahun tidak ditemukan,” tulisnya membalas pertanyaan Kompas.com, Selasa (24/12/024).

Menurutnya, usaha untuk membuktikan kepunahan suatu spesies dalam artian individu spesies tersebut benar-benar tidak tersisa satupun, dengan taraf kepercayaan 100 persen memang tidak mudah, bahkan hampir tidak mungkin, karena memerlukan survey super intensif yang berbiaya mahal. 

Maka selama survei menyeluruh dan intensif belum dilakukan, harimau Jawa belum bisa dikatakan punah 100 persen. Namun, mengingat pencarian, baik langsung maupun tidak, yang sistematis maupun non-sistematis sudah cukup panjang, dan belum ada bukti yang bisa diverifikasi bersama, kemungkinan harimau Jawa masih eksis sangat kecil.

“Namun, ilmuwan biasanya memiliki treshhold atau batasan dan definisi kepunahan yang mungkin berbeda dengan yang dipahami oleh masyarakat awam. Sebagai contoh, dalam Kajian Viabilitas Populasi Species (PVA, Population Viability Assessment), kepunahan salah satunya didefinisikan dengan hilangnya salah satu jenis kelamin,”ujarnya.

Berkaca dari harimau Sumatera dan anak jenis harimau lainnya, dikatakan Sunarto, kucing besar ini memerlukan mangsa berukuran besar (seperti rusa, atau setidaknya babi hutan) yang dapat dipanen secara bekesinambungan secara terus menerus. 

“Satu ekor harimau diperkirakan memerlukan hewan mangsa besar sekitar 50 ekor per tahun. Untuk dapat menghasilkan jumlah satwa mangsa sebanyak itu, diperkirakan diperlukan sekitar 500 indukan mangsa besar seperti rusa yang hidup dalam wilayah jelajah satu ekor harimau,” kata Sunarto.  

Di Sumatera yang kepadatan mangsa dan harimaunya relatif rendah, wilayah jelajah satu jantan diperkirakan seluas sekitar 100-200 km persegi, dan di dalamnya terdapat sekitar 5 betina dewasa dengan masing-masing wilayah jelajah yang sedikit tumpang tindih, dengan luasan masing-masing sekitar 50 km persegi. 

Sementara itu, agar dapat bertahan hidup dan terus berkembang biak dalam jangka waktu yang panjang, ada populasi minimal suatu jenis satwa dengan populasi minimal sebanyak 50 ekor untuk dapat melawan sindrom kawin sedarah, dan 500 individu untuk menjaga kestabilan genetik. 

“Berdasarkan syarat atau prinsip umum tersebut, hutan tersisa di Pulau Jawa yang berukuran relatif kecil dan telah terisolir satu dari lainnya, kemungkinan sub-optimal atau kurang memadai untuk mendukung kelestarian harimau secara natural dalam jangka panjang, kecuali kalau dikelola secara intensif dengan berbagai perlakuan seperti pengayaan habitat yang kemungkinan memerlukan berbagai input,” jelasnya.

Karenanya menjawab pertanyaan di atas, apakah harimau Jawa masih ada, bukanlah hal yang mudah. Kondisi habitat dan populasi manusia di Jawa membuatnya seolah tidak mungkin. Namun di satu sisi kisah perjumpaan harimau masih terdengar dan tidak bisa dinisbikan begitu saja.

Kondisi ini bisa dimaklumatkan seperti pepatah “The truth is in the eye of the beholder” artinya kebenaran ada di mata yang melihatnya.

Baca juga: Mencari Harimau Jawa, Antara Ada dan Tiada

Leave a comment