Informasi Terpercaya Masa Kini

5 Kejanggalan Kecelakaan Pesawat Jeju Air

0 5

KOMPAS.com – Kecelakaan pesawat Boeing 737-800 maskapai Korea Selatan, Jeju Air penerbangan 7C-2216 pada Minggu (29/12/2024) di Bandara Internasional Muan, Korsel, menimbulkan banyak pertanyaan karena keadaannya yang tidak biasa.

Pesawat yang membawa 176 penumpang dan 4 kru itu pada awalnya diberitakan mengalami insiden bird strike (menabrak burung), namun para ahli penerbangan skeptis bahwa sambaran burung dapat menyebabkan hydraulic failure (kegagalan hidrolik) yang berujung kecelakaan dahsyat.

Menganalisis rekaman video, sejumlah failure yang nampak dalam rekaman adalah roda pendaratan (landing gear) yang tidak keluar, flaps (sirip) sayap pesawat yang tidak menjulur keluar saat mendarat, kecepatan tinggi saat belly landing, hingga faktor non-teknis seperti struktur beton di ujung runway.

Baca juga: Temuan Awal Pesawat Jatuh di BSD: Satu Mesin Sempat Susah Menyala, Indikator Bensin Mati

Hal-hal di atas menunjukkan bahwa beberapa faktor, termasuk kegagalan mekanis atau human error, mungkin berkontribusi terhadap kecelakaan tersebut.

Landing gear tidak keluar

Kejanggalan pertama adalah roda pendaratan yang tidak keluar. Landing gear adalah salah satu checklist wajib bagi pilot saat hendak mendarat. Jika landing gear tidak bisa diturunkan pun Boeing 737-800 memiliki sistem cadangan berlapis untuk mengatasinya.

Christian Beckert, ahli keamanan penerbangan di maskapai Lufthansa mengatakan kepada Reuters tentang kejanggalan ini.

“Sangat jarang dan tidak seperti biasanya jika pilot tidak menurunkan landing gear, karena ada sistem independen yang memungkinkan kita menurunkannya dengan sistem alternatif,” katanya dikutip KompasTekno, Senin (30/12/2024).

Apabila hidrolik pesawat rusak akibat bird strike, dan landing gear tidak bisa diturunkan, pilot sebenarnya masih bisa membuka pintu roda pendarat secara manual dan landing gear bisa turun dengan bantuan gravitasi pula.

Terdapat tuas di kokpit untuk melakukan tindakan ini.

Flaps tidak keluar

Kejanggalan kedua adalah sistem flaps (sayap tambahan) yang tidak menjulur keluar, seperti konfigurasi saat mendarat pada umumnya. Pesawat memiliki flaps untuk bisa bermanuver dengan mudah di kecepatan rendah.

Flaps akan menjulur bertahap, tergantung kecepatan pesawat. Makin pelan, makin bertambah flaps yang menjulur keluar di sisi belakang pesawat.

Rekaman video kecelakaan menunjukkan sayap dalam konfigurasi yang bersih (clean) alias tidak nampak adanya flaps yang keluar.

Baca juga: Apa Itu Mode Pesawat dan Kapan Sebaiknya Diaktifkan? Begini Penjelasannya

Sekali lagi, jika sistem hidrolik rusak, flaps tetap bisa dijulurkan dengan backup elektrik, meski membutuhkan waktu agak lama. Pilot harus menekan switch di kokpit agak lama hingga flaps menjulur di sudut yang dibutuhkan untuk membantu mendarat.

Mendarat dari arah berlawanan

Menurut pejabat Menteri Transportasi Korea Selatan, setelah bird strike, dan mengumumkan mayday, pilot berusaha mendaratkan pesawat di runway dari arah yang berlawanan.

Keputusan ini juga menimbulkan pertanyaan bagi investigator, mengapa pilot ingin segera mendaratkan pesawat, alih-alih berputar kembali dan mendarat dari arah semula.

Dengan demikian, pilot memiliki waktu lebih lama untuk berpikir dan melakukan troubleshooting, dan menyiapkan konfigurasi pesawat yang sesuai sebelum mendarat.

Mendarat dari arah runway aktif saat itu juga berarti ada komponen tailwind (angin dari belakang) yang berperan, yang berpengaruh pada kecepatan pesawat saat mendarat. Biasanya pesawat mendarat dengan arah headwind (angin dari depan)

Kecepatan tinggi saat belly landing

Kejanggalan berikutnya adalah kecepatan pesawat saat mendarat belly landing (tanpa roda), yang dianggap terlalu kencang. 

Dalam video yang terlihat, selain thrust reverser mesin yang membuka, sistem pengereman pesawat lain tidak aktif, seperti spoiler di sayap.

Para ahli berpendapat kemungkinan ini juga disebabkan oleh sistem hidrolik yang rusak setelah bird strike.

Flaps yang tidak bisa menjulur memperluas permukaan sayap juga membuat B737-800 ini harus bermanuver kencang saat mendarat, agar tidak stall (kehilangan daya angkat) saat melakukan pendekatan ke runway (approach).

Struktur beton di ujung runway

Selain itu, kejanggalan lain adalah keberadaan dinding beton di ujung landasan pacu, yang ditabrak pesawat setelah melakukan pendaratan darurat.

Para ahli berpendapat bahwa struktur seperti itu seharusnya dapat dilipat untuk meningkatkan keselamatan bilamana ada skenario overrun (pesawat keluar landasan).

Struktur beton itu dibuat sebagai tempat memasang alat bantu navigasi (runway localizer). Jarang sekali localizer yang dibuat dengan struktur beton di bandara-bandara lain.

Para ahli menduga, ini terkait dengan konflik Korea Selatan dengan Korea Utara. Desain localizer dibuat lebih kokoh agar tidak mudah dihancurkan, mengingat perannya yang vital.

Padahal sebenarnya, banyak yang memuji manuver belly landing yang dilakukan pilot dan kopilot Jeju Air ini karena terlihat mulus, dan terlihat baik-baik saja sebelum akhirnya menabrak struktur beton di ujung runway.

Penyelidikan

Kini otoritas penerbangan Korea Selatan sedang melakukan penyelidikan sipil, dan melibatkan National Transportation Safety Board (NTSB) AS, negara di mana pesawat dibuat.

Kotak hitam pesawat flight data recorder (FDR) Jeju Air sendiri telah ditemukan sekitar 2,5 jam setelah kejadian, sementara cockpit voice recorder (CVR) ditemukan tiga jam berikutnya.

Kapten penerbangan Jeju Air penerbangan 7C-2216 menurut otoritas Korea Selatan memiliki rating pesawat tersebut sejak 2019 dan memiliki 6.823 jam terbang. Sementara kopilot (first officer) pesawat memiliki rating B738 sejak 2023 dengan 1.650 jam terbang.

Penting diingat bahwa kecelakaan pesawat tidak disebabkan oleh faktor tunggal saja, melainkan terdiri atas berbagai faktor yang saling berhubungan. Penyelidikannya ini juga bisa berlangsung hingga berbulan-bulan.

Leave a comment