Ribuan Penduduk Pulau Selamat dari Tsunami Aceh Berkat Lagu,Berisi Pengalaman Pahit 100 Tahun Lalu
TRIBUNNEWSMAKER.COM – Tak terasa gempa dan tsunami yang menerjang Aceh sudah berlalu dua dekade yang lalu.
Gempa bumi magnitudo 9,1 disusul tsunami di Aceh terjadi pada 26 Desember 2004.
Banyak orang menjadi korban dalam peristiwa mencengangkan tersebut.
Sekitar 500.000 orang kehilangan tempat tinggal dan lebih dari 230.000 jiwa melayang,
Namun ada satu kejadian yang mencengangkan terjadi di salah satu pulau di Provinsi Aceh.
Baca juga: Kisah Orang-orang yang Selamat dari Tsunami Aceh 20 Tahun Lalu, Ada yang Terkubur Selama 7 Hari
Nama pulau tersebut adalah Pulau Simeulue yang hanya mengalami sedikit dampak dari gempa dan tsunami Aceh.
Dilansir dari Kompas.com (26/12/2024) dari 78.000 penduduk Pulau Simeulue yang tinggal di pesisir hanya 7 orang yang menjadi korban.
Ribuan warga selamat karena Smong sebuah syair yang mengungkap ciri-ciri dari bencana tsunami.
Berikut adalah penggalan lagu tentang Smong:
Enggel mon sao surito (Dengarlah sebuah cerita)
Inang maso semonan (Pada zaman dahulu)
Manoknop sao fano (Tenggelam satu desa)
Uwi lah da sesewan (Begitulah mereka ceritakan)
Unen ne alek linon (Diawali oleh gempa)
Fesang bakat ne mali (Disusul ombak yang besar sekali)
Manoknop sao hampong (Tenggelam seluruh negeri)
Tibo-tibo mawi (Tiba-tiba saja).
Berdasarkan dua bait syair di atas, pertanda bencana tsunami digambarkan dengan jelas.
Banyak warga yang tahu harus bagaimana saat terjadi tsunami dari syair tersebut.
Warga melakukan mitigasi bencana dengan mencari tempat yang lebih tinggi.
Padahal warga Pulau Simeulue sebelumnya tak melakukan simulasi untuk mitigasi jika terjadinya bencana.
Mereka mengandalkan kearifan lokal dan budaya tutur yang sudah diyakini selama 100 tahun lamanya.
Dilansir dari Dishub Aceh Smong merupakan hempasan gelombang air laut.
Kata Smong berasal dari bahasa Devayan bahasa asli Simeulue.
Smong merupakan kearifan lokal yang dirangkai dari pengalaman masyarakat Simeulue pada masa lalu.
Smong berawal dari pengalaman pahit yang dialami warga Pulau Simeulue pada 1907.
Saat itu, ombak besar menghantam pesisir Pulau Simeulue, terutama di Kecamatan Teupah Barat.
Tsunami yang diawali dengan gempa magnitudo 7,6 tersebut menjadi mimpi buruk karena memakan banyak korban dan menimbulkan kehancuran parah.
Ribuan nyawa melayang, bangunan rumah dan surau hancur, serta harta benda warga ikut lenyap tersapu ombak.
Jejak bencana hebat itu masih terlihat pada sebuah kuburan yang terletak di pelataran masjid Desa Salur, Kecamatan Teupah Barat.
Sejak saat itu, kata “Smong” menjadi akrab di kalangan masyarakat Pulau Simeulue.
Kisah Smong diceritakan secara turun-temurun dari generasi ke generasi melalui nafi-nafi.
Nafi adalah budaya lokal masyarakat Simeulue berupa adat tutur atau cerita yang berisikan nasihat dan petuah kehidupan.
Para tetua dan tokoh adat menyampaikan nafi-nafi kepada kaum muda sebagai pelajaran.
(TribunNewsmaker.com/Candra)