Lembur Magang Hanya Dibayar Rp 50 Ribu, Mahasiswa Gugat UU Ketenagakerjaan ke MK
Dua orang mahasiswa bernama Meida Nur Fadila Syuhada dan Priyoga Andikarno, mengajukan permohonan uji materi Pasal 85 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Meida Nur merupakan mahasiswa asal Tulungagung, Jawa Timur. Dalam gugatan ini, ia sebagai Pemohon I. Sementara, Priyoga adalah mahasiswa asal Trenggalek, Jawa Timur. Ia merupakan Pemohon II.
Gugatan tersebut teregister dengan nomor 175/PUU-XXII/2024 dan diterima oleh MK tertanggal 10 Desember 2024.
Berikut bunyi aturan yang dimaksud oleh Pemohon:
-
Pasal 85 ayat (3)
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan pada hari libur resmi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib membayar upah kerja lembur.
Dalam aturan Pasal 85 UU Ketenagakerjaan itu, disebutkan bahwa pekerja atau buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi. Namun, di dalam ayat (2), terdapat pengecualian yaitu pengusaha dapat mempekerjakan pekerja atau buruh pada hari libur resmi apabila jenis dan sifat pekerjaannya harus dilaksanakan secara terus menerus.
Dalam gugatannya, keduanya menilai adanya kerugian konstitusional yang dialami terkait dengan pemberian upah yang tak layak dalam bekerja.
Bahkan, mereka merasa dirugikan terkait hak atas upah yang mestinya diterima saat bekerja di hari libur resmi. Pengalaman itu pun dipaparkan Meida dalam gugatannya ke MK.
Sebelum memasuki dunia perkuliahan, Meida pernah bekerja selama 4 bulan di sebuah koperasi di daerah asalnya. Akan tetapi, saat ia diwajibkan bekerja pada hari libur yakni Sabtu-Minggu dan libur nasional, upah yang diterimanya justru dinilai tidak layak dan berkeadilan.
“Pada saat awal bulan dan akhir bulan yang mana pada waktu disebut dengan buka buku (awal bulan) dan tutup buku (akhir bulan) yang mana mengharuskan Pemohon I bekerja pada hari libur yakni Sabtu-Minggu,” tulisnya dalam gugatan tersebut, dikutip Kamis (19/12).
“Pada saat bertepatan hari libur nasional jika pada kualifikasi tutup buku dan buka buku, maka Pemohon I juga tetap bekerja. Tetapi, dalam perhitungan upah, Pemohon I hanya mendapat upah lembur terhitung dengan satuan upah Rp 50.000–100.000 yang dibayarkan pada saat itu juga,” imbuh dia.
Sementara itu, Priyoga juga menceritakan bahwa saat ini ia sedang bekerja di salah satu perusahaan perorangan tetapi tidak melakukan perjanjian kerja. Pada hari libur nasional maupun hari libur biasa, ia tetap bekerja.
Ia mengaku hanya mendapat hak upah lembur saja dan tidak mendapat hak upah minimum yang sebagaimana memuat hak upah pokok.
Dengan begitu, kedua mahasiswa itu menganggap berisiko tidak mendapatkan kompensasi yang layak saat nantinya memasuki dunia kerja. Mereka pun menilai aturan yang ada justru berpotensi melanggar hak konstitusionalnya karena disebut akan kehilangan kepastian hukum terkait hak atas upah ketika bekerja di hari libur resmi.
“Pasal 85 ayat (3), Pemohon beranggapan tidak memberikan perlindungan hak yang memadai bagi pekerja yang bekerja pada hari libur, sehingga melanggar hak atas keamanan dan perlindungan pribadi dari Pemohon sebagai pekerja,” jelasnya.
Tak hanya itu, ketiadaan pengaturan yang pasti dalam Pasal 85 ayat (3) UU Ketenagakerjaan terkait pemberian upah pada saat bekerja di hari libur juga dinilai menimbulkan ketidakadilan sosial.
Ketidakjelasan aturan itu disebut para Pemohon terdapat pada klausa ‘wajib membayar upah lembur’. Pemohon menyebut bahwa klausa tersebut sangat berpotensi merugikan bagi pekerja atau buruh karena adanya ketidakpastian apakah akan menerima kompensasi yang sesuai atau tidak apabila bekerja pada hari libur resmi.
“Ketidakjelasan ini sangat berpotensi mengurangi penghasilan yang berhak diperoleh Pemohon, yang mana dapat berdampak pada pemenuhan hak atas penghidupan yang layak,” tuturnya.
Dalam gugatan itu, Pemohon juga menyebut bahwa ketentuan aturan dalam Pasal 85 ayat (3) hanya mencantumkan upah lembur tanpa menambah ketentuan upah pokok. Sehingga, hal tersebut akan berpotensi melanggar hak mereka untuk memperoleh jaminan penghasilan yang layak ketika kelak memasuki dunia kerja.
“Pemohon sebagai mahasiswa yang akan menjadi pekerja di masa depan dirugikan karena tidak ada jaminan kepastian hukum mengenai pembayaran upah pokok saat bekerja di hari libur resmi,” papar dia.
“Ketidakadilan ini dapat menurunkan motivasi Pemohon untuk bekerja secara optimal di masa depan karena merasa diperlakukan secara tidak adil,” lanjutnya.
Oleh karenanya, Pemohon pun merasa bahwa MK perlu menguji lebih lanjut aturan Pasal 85 ayat (3) UU Ketenagakerjaan tersebut agar dapat memberikan kepastian hukum dan perlindungan yang lebih adil bagi para pekerja.
Berikut bunyi petitum gugatan Pemohon:
-
Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
-
Menyatakan Pasal 85 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak mencantumkan ketentuan mengenai upah pokok dan kompensasi yang layak bagi pekerja yang bekerja pada hari libur resmi.
-
Memerintahkan kepada lembaga yang berwenang sebagai pembentuk undang-undang untuk melakukan perubahan atas Pasal 85 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan agar memasukkan ketentuan mengenai upah pokok dan kompensasi yang layak bagi pekerja yang bekerja pada hari libur resmi, sesuai dengan hak-hak pekerja yang dijamin Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
-
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
-
Atau, apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).