Apa itu opsen pajak dan apakah akan membebani masyarakat?
Penerapan skema pemungutan pajak baru untuk kendaraan bermotor atau disebut pajak opsen memicu polemik karena dianggap sebagai beban tambahan yang harus ditanggung masyarakat.
Namun pengamat pajak, Prianto Budi Saptono, menyebut pemahaman itu salah kaprah.
Ia menjelaskan pajak opsen sebetulnya ditujukan untuk memudahkan alokasi anggaran dari pemerintah provinsi ke kabupaten/kota atau sebaliknya.
Adapun soal besaran pajak opsen, menurutnya, sama seperti sebelumnya. Kecuali bagi pemilik kendaraan baru di tahun depan.
Seperti apa hitungan pajak opsen?
Apa itu pajak opsen?
Opsen pajak kendaraan bermotor merupakan amanat UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Mengutip dari Modul DPRD: Opsen Pajak Daerah Kementerian Keuangan, salah satu tujuan opsen pajak adalah untuk perluasan basis pajak.
Pemerintah Provinsi disebut bisa memungut opsen dari Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB) sebesar 22%.
Sementara Pemerintah Kabupaten/Kota dapat memungut opsen dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB).
Untuk opsen pajak kendaraan bermotor, baik PKB dan BBNKB yang berhak dikenakan oleh pemkab/pemkot sebesar 66% dari PKB dan BBNKB yang diterima pemprov.
Menurut pengamat pajak, Prianto Budi Saptono, skema baru bagi hasil ini diberlakukan karena mekanisme alokasi anggaran dari provinsi ke kabupaten/kota dinilai belum efektif akibat adanya keterlambatan penerimaan.
Dengan adanya opsen PKB dan BBNKB, maka diharapkan kabupaten/kota menerima bagiannya lebih cepat dan transparan.
“Sederhananya saya tinggal di Depok, tapi yang mungut pajak selama ini Pemprov Jawa Barat,” kata Prianto.
“Tapi kan saya juga menikmati fasilitas publik yang disediakan pemerintah kota. Maka wajarlah yang memungut Pemprov Jabar, ada opsen pajak ini ke pemkot.”
“Dan uang dari opsen pajak itu ya sebagai pemasukan kas daerah yang diperuntukkan untuk pembangunan kota dan peningkatan pelayanan,” ujarnya kemudian.
Apakah opsen pajak menjadi beban baru?
Pengamat pajak, Prianto Budi Saptono, mengatakan dengan penerapan skema baru ini maka nantinya total ada tujuh komponen pajak yang harus dibayar oleh pengguna kendaraan bermotor pada 2025.
Di antaranya BBNKB, opsen BBNKB, PKB, opsen PKB, SWDKLLJ, biaya Adm STNK, dan biaya admin TNKB.
Tapi, menurut pengamatan Budi, keseluruhan beban pajak yang dibayar oleh pengguna kendaraan tidak akan berbeda jauh dengan yang sekarang berlaku.
Hal ini karena pemberlakuan opsen pajak kendaraan bermotor juga dibarengi dengan penurunan tarif PKB dan BBNKB.
Misalnya, tarif PKB untuk kepemilikan kendaraan bermotor pertama ditetapkan maksimal 1,2% dari sebelumnya 2% dan tarif BBNKB dari 20% menjadi 12%.
“Jadi besaran pungutannya mirip dengan yang sebelumnya, tetap sama,” ujar Prianto Budi.
“Bedanya kalau dulu misalnya kabupaten/kota nitip tagihan ke provinsi, sekarang enggak perlu lagi dengan skema baru.”
“Pajak yang akan diterima kabupaten/kota dan provinsi sudah jelas angkanya dan langsung ditransfer.”
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Adapun soal opsen dari Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB), menurutnya, tidak akan diberlakukan oleh seluruh pemerintah provinsi.
Ia mencontohkan Pemprov Jakarta mustahil bisa mengutip opsen MBLB lantaran tak ada pabrik logam atau batuan di wilayahnya.
“Memang di Jakarta ada pabrik batu bara atau tambang pasir? Kan tidak ada, ya pemprovnya enggak perlu menerapkan opsen pajak ini.”
Lemahnya sosialisasi?
Namun demikian, penerapan opsen pajak ini memicu penolakan karena dianggap sebagai beban tambahan yang harus ditanggung masyarakat.
Mansyurul Khoir, seorang warga Kota Pamekasan, Jawa Timur, mengaku mengetahui adanya opsen pajak dari media massa, hanya saja ia tidak begitu memahami secara detail.
Yang ia pahami opsen pajak ini adalah kenaikan pajak yang harus ditanggungnya tahun depan.
Itu mengapa, pria 32 tahun ini menyatakan keberatan dengan penerapan opsen pajak karena bakal memberatkan masyarakat kelas bawah.
“Nanti mungkin banyak protes juga dari kalangan masyarakat apalagi yang kalangan masyarakat menengah ke bawah,” kata Mansyur.
“Kalau misalkan kita protes juga kadang dari pemerintah ya tidak bisa diganggu gugat,” sambungnya.
Sementara itu, Fajar Siswanto, warga Kota Pamekasan, juga tidak setuju dengan pelaksanaan pajak opsen pada tahun depan.
“Kalau untuk orang-orang menengah ke atas mungkin tidak apa-apa kalau menengah ke bawah mungkin akan memberatkan,” kata Fajar Siswanto.
Ia bahkan bilang tidak ada urgensinya kalau pemerintah menaikkan pajak kendaran bermotor.
Apalagi tahun depan juga ada banyak pungutan yang diterapkan pemerintah seperti PPN 12%.
“Sepertinya enggak ada urgensinya [pemberlakuan opsen pajak],” lanjutnya.
Alfrio Landra, warga di Medan, Sumatra Utara, menuturkan semula dia menolak kebijakan ini karena belum paham betul tentang rencana penerapan opsen pajak bagi kendaraan bermotor.
Tapi, pria 33 tahun ini akhirnya setuju saja setelah tahu bahwa penerapan opsen tidak menambah beban administrasi bagi wajib pajak.
Afrio memiliki kendaraan bermotor roda empat pabrikan Toyota tahun 2017. Selama ini, ia dipungut pajak senilai Rp3,3 juta per tahun.
Menurutnya, penerapan opsen pajak dapat menciptakan pengelolaan pendapatan daerah yang lebih efektif dan efisien karena tidak lagi melalui Dana Bagi Hasil (DBH).
“Awalnya bingung karena kurang memahami maksudnya. Saya pikir naik 66%. Tapi setelah tahu maksudnya, saya setuju. Ini penting karena bisa lebih efisien,” ujar Afrio.
Pendapat serupa juga disampaikan Fakhrur Rozi, warga Kota Medan, Sumatra Utara.
Kata dia, penerapan opsen pajak bisa meringkas birokrasi dalam penyaluran pendapatan daerah.
Dengan cara ini, pemerintah kabupaten/kota tidak perlu lagi menunggu pembagian DBH dari pemerintah provinsi.
Rozi adalah pemilik mobil Toyota Kijang LX tahun 2002. Selama ini, ia dipungut pajak kendaraan bermotor senilai Rp1,2 juta per tahun.
“Bagus. Saya setuju kalau memang semangatnya sesuai undang-undang. Perimbangan keuangan daerah yang lebih transparan. Termasuk bagi hasil pajak ke kabupaten dan kota,” ujar Rozi.
Melalui pemotongan langsung pajak, lanjut Rozi, pemerintah kabupaten/kota bisa lebih leluasa mengatur pendapatan dan anggarannya.
Di sisi lain, cara ini juga berpotensi mempersempit praktik politisasi dan penyelewengan DBH.
“Karena bagi hasil pajak itu rentan dipolitisir. Tapi kita harap, opsen pajak ini tidak membuat pemerintah kabupaten dan kota mandul dalam menciptakan sumber-sumber baru pendapatan daerah,” ujarnya.
Prianto Budi Saptono berkata salah kaprah masyarakat ini disebabkan oleh lemahnya sosialisasi akibat dari peraturan yang semakin kompleks.
Ia menerangkan peraturan yang kompleks biasanya memicu fenomena ketidakpahaman, kejujuran, atau tindakan mengakali kebijakan.
Dalam kasus ini, dia menyarankan masing-masing pemerintah daerah menjelaskan opsen pajak dan menfaatnya untuk publik.
“Selama ini setiap aturan kalau masuk ke lembaran negara, masyarakat seolah-olah dianggap tahu, padahal tidak dan tugas pemerintah selanjutnya melakukan sosialisasi.”
Bagaimana menghitung opsen pajak?
Dalam sebuah video ilustrasi perhitungan yang dirilis di laman Kementerian Keuangan, bila sebuah mobil dengan NJKB (Nilai Jual Kendaraan Bermotor) sebesar Rp200 juta dan merupakan kendaraan kepemilikan pertama wajib pajak, tarif PKB adalah 1,1%.
Hitungan PKB terutang adalah 1,1% dikalikan dengan Rp200 juta, sehingga PKB terutang sebesar Rp2,2 juta.
Lalu pemilik mobil juga harus membayar opsen PKB sebesar 66% dari PKB terutang.
Dengan demikian 66% dikalikan dengan Rp2,2 juta, sehingga pajak opsen PKB adalah Rp1,45 juta.
Jadi pajak kendaraan yang harus dibayarkan pemilik mobil totalnya adalah Rp3,65 juta, terdiri dari PKB terutang Rp2,2 juta ditambah dengan opsen PKB sebesar Rp1,45 juta.
Nilai total pajak Rp3,65 juta itu dianggap tidak jauh berbeda dengan pajak mobil yang dibayarkan pemilik mobil dengan skema lama yakni UU Nomor 28 Tahun 2009 yang menetapkan tarif pajak PKB berkisar 1,8%.
Yakni apabila nilai jual mobil (NJKB) sebesar Rp200 juta dikalikan dengan tarif pajak lama sebesar 1,8%, maka pajak PKB terutang adalah sebesar Rp3,6 juta.
Pada perhitungan skema pajak baru, lebih mahal Rp50.000 dibandingkan skema perhitungan pajak PKB lama sesuai UU Nomor 28 Tahun 2009 (dengan asumsi tarif PKB lama 1,8% dan PKB baru 1,1%).
Wartawan Mustofa El Abdy di Jawa Timur dan Nanda di Sumatra Utara berkontribusi untuk laporan ini.
Baca juga:
- PPN naik jadi 12% mulai 2025, apa dampaknya pada daya beli masyarakat?
- PPN 12% dan tax amnesty akan diberlakukan 2025 – Pajak orang kaya diampuni, ‘kelas pekerja dibikin menderita’
- Pemerintah berencana mewajibkan asuransi kendaraan pihak ketiga alias TPL – Seberapa realistis program ini?
Baca juga:
- Mengatasi masalah Jakarta ‘pajak mobil harus naik 30%’
- Pemerintah sebut kenaikan tarif STNK dan BPKB untuk cegah pungli
- Dilema pembatasan usia kendaraan di Jakarta, antara pencemaran polusi atau roda ekonomi?
Baca juga:
- Kendaraan listrik disebut ‘solusi palsu’ untuk perbaiki kualitas udara di Indonesia
- Apakah skuter listrik patut diperlakukan sebagai kendaraan bermotor?
- Dilema pembatasan usia kendaraan di Jakarta, antara pencemaran polusi atau roda ekonomi?