Merasakan Vibes ala Kerajaan Majapahit di Dusun Tersembunyi di Gunungkidul
Dusun Wotawati menyambut siapapun yang datang dengan barisan pagar bata merah yang tersusun rapi, mengelilingi rumah-rumah dengan fasad bergaya Majapahit-Mataram. Suasana dusun ini mencerminkan konsep pemukiman khas kerajaan masa lampau.
Dusun yang berada di Kalurahan Pucung, Girisubo, Gunungkidul ini dikelilingi oleh perbukitan karst yang menjulang tinggi. Bukit-bukit ini menghalangi sinar matahari, sehingga membuat Wotawati seolah mengalami siang hari yang lebih pendek.
Wotawati baru disinari matahari sekitar pukul 07.00 sampai 07.30 WIB, dan mulai tenggelam pada pukul 16.00 sampai 16.30 WIB.
Fenomena ini yang membuat Wotawati viral dalam setahun terakhir.
Pertengahan 2024, Pemda DIY melalui Paniradya Kaistimewan bahkan sampai mengucurkan Dana Keistimewaan sebesar Rp 5 miliar untuk merevitalisasi Dusun Wotawati, dan menjadikannya desa wisata.
Anggaran itu dipakai untuk membangun pagar, pendopo, hingga fasad rumah sehingga membuat permukiman penduduk di Wotawati menyerupai permukiman di masa kerajaan-kerajaan lampau.
Meski begitu, arsitektur yang dibangun juga tetap mempertahankan gaya khas Gunungkidul berupa gapura Lar Badak.
Sejarah Majapahit yang Hidup Kembali
Gaya arsitektur Majapahit-Mataram di Dusun Wotawati dipilih bukan tanpa alasan.
Carik Pucung, Eko Sujarwo, menceritakan bahwa sekitar tahun 1517-1527, keluarga Majapahit sempat melarikan diri dari serangan Kerajaan Demak. Mereka dipimpin oleh Raden Jayasukma dan istrinya, Nyai Arum Sukmawati. Di Dusun Wotawatilah mereka berlindung dan bersembunyi.
Nama Wotawati sendiri berasal dari kisah pembuatan jembatan bambu (ngewot) di atas sungai yang membelah wilayah tersebut. Ketika Nyai Arum Sukmawati hampir terjatuh dari jembatan itu, Raden Jayasukma berhasil menyelamatkannya.
“Wotawati juga memiliki makna ngowat-awati, yang berarti menjaga. Maknanya adalah agar penduduk di wilayah ini dapat saling menjaga satu sama lain,” ujar Eko Sujarwo.
Pembangunan yang dilakukan saat ini kata dia baru tahap awal dan akan berlanjut hingga tahun 2028 mendatang.
“Tahun ini kami mendapatkan anggaran Rp 5 miliar. Pembangunan tahap awal ini mencakup penyeragaman pagar dan fasad rumah. Tahun depan, pembangunan akan berlanjut dengan menata seluruh fasad rumah penduduk,” jelas Eko.
Ke depan, seluruh fasad rumah di Wotawati yang jumlahnya mencapai 79 rumah juga akan diseragamkan. Tak hanya itu, di tahun ketiga nantinya akan dilakukan tahap finishing mulai dari jalan, drainase, gasebo, gapura, tempat informasi wisata, dan lainnya.
Hingga saat ini, meski pembangunan belum selesai semua, namun Eko menyebut saat ini sudah banyak orang yang ingin berkunjung ke Wotawati untuk berwisata. Namun, saat ini mereka belum siap untuk menerima kunjungan wisatawan.
“Sudah banyak yang ingin berkunjung, tetapi kami tolak dulu karena pembangunannya masih berjalan,” ujarnya.
Tersembunyi di Bekas Aliran Sungai Bengawan Solo Purba
Dusun Wotawati tersembunyi di bekas aliran Sungai Bengawan Solo Purba, dikelilingi oleh perbukitan. Jaraknya sekitar 74 kilometer dari pusat Kota Yogya.
Aliran Sungai Bengawan Solo Purba ini bukan mitos belaka, bahkan sudah diakui oleh UNESCO. Papan informasi tentang aliran sungai purba tersebut juga terpasang di wilayah Kalurahan Pucung.
“Nama di papan itu menyebutkan aliran Bengawan Solo Purba Sadeng, karena dulu alirannya bermuara di Pantai Sadeng,” terang Dukuh Wotawati, Robi Sugihastanto.
Roby menyebutkan, usia Padukuhan Wotawati ini berada di angka sekitar 200 tahun.
Rencananya, paket wisata yang akan ditawarkan kepada wisatawan akan fokus pada sejumlah aktivitas seperti menyusuri perkampungan Wotawati yang bergaya antara Majapahit dan Mataram atau Kabupaten Gunungkidul ini, edukasi bercocok tanam langsung dengan masyarakat, hingga berkeliling susur Bengawan Solo Purba ke beberapa lokasi wisata terdekat yang ada, salah satunya yakni Pantai Ngungap atau Lembah Ngungap.
“Terus untuk tamunya nanti kita sarankan untuk menginap di rumah-rumah warga ataupun nanti di homestay masyarakat. Jadi masyarakatnya, dari rumahnya yang tadinya itu nggak ada penghasilan, setelah adanya wisata, mereka nanti ada penghasilan tambahan dari homestay tersebut,” ucap Roby.
Penulis dan Reporter: Roni Fadli/Pandangan Jogja