Informasi Terpercaya Masa Kini

Mengapa selisih Rp2.000 di ongkos bensin ojol bisa guncang perekonomian dan membuat pemerintah batalkan pembatasan BBM bersubsidi?

0 3

Protes keras dari pengendara ojek online (ojol) membuat pemerintah meralat rencana pembatasan penyaluran BBM bersubsidi. Namun sejumlah pakar menilai pembatalan kebijakan itu tak akan cukup menghindarkan ekonomi Indonesia dari guncangan signifikan.

Handi Septian Afrizal biasa bekerja hingga 15-16 jam sehari.

Delapan jam ia habiskan sebagai satpam, sementara sisanya sebagai tukang ojek online atau ojol.

Pada 4 Desember lalu, misalnya, ia mendapat piket malam sebagai satpam. Masuk kerja pukul 22.00 WIB, dia baru selesai jam enam pagi keesokan harinya.

Handi lantas tidur hingga siang, sebelum ngojek dari pukul 16.30 WIB sampai lewat tengah malam.

“Satpam kan ada tiga shift: pagi, siang, malam. Jadi kalau misalkan ada waktu luang ya udah jadi ojol,” kata Handi, 42 tahun, yang tinggal di Cawang, Jakarta Timur.

“Ya namanya tuntutan. Anak saya empat. Perempuan semua.”

Gajinya sebagai satpam setara upah minimum Jakarta: Rp5,06 juta. Sementara itu, dari ngojek ia bisa mendapat tambahan hingga Rp3 juta.

Setiap harinya, Handi bisa menghabiskan empat liter Pertalite untuk berkeliling Jakarta mengantarkan paket ataupun makanan yang dipesan pelanggan via aplikasi Gojek.

Ia memang lebih senang mengantar barang alih-alih penumpang, yang disebutnya kerap rewel dan bisa tiba-tiba melempar keluhan ke kantor saat ia sedikit saja ada kesalahan.

Mengingat Pertalite dibanderol Rp10.000 per liter, Handi mesti menyisihkan setidaknya Rp40.000 per hari.

Karena itu, ia mengaku kesal mendengar rencana pemerintah melarang ojol membeli BBM bersubsidi seperti Pertalite.

Bila harus mengisi sepeda motornya dengan Pertamax, yang harganya kini Rp12.100 per liter di Jakarta, Handi bisa keluar sekitar Rp50.000 per hari untuk bensin saja. Padahal, pemasukan sebagai ojol biasanya hanya Rp100.000 per hari.

“Kawan-kawan ojol lainnya pada ngomel juga. Habis bagaimana lagi, kok pemerintah begitu amat?” kata Handi.

Setelah mendengar pemerintah berubah haluan dan bakal mengizinkan kembali ojol membeli Pertalite, Handi merasa lega, meski belum sepenuhnya.

“Lega, tapi kan belum ada keputusan pastinya,” ujarnya.

Muhammad Nur Soleh, ojol berusia 29 tahun, memiliki cerita serupa.

Soleh biasa bekerja 12 jam sehari sebagai mitra Gojek, dari pukul 9.00 WIB hingga kira-kira pukul 21.00 WIB. Fokusnya mengantar makanan, bukan orang.

Rata-rata, pemasukannya Rp125.000 per hari. Ini belum dikurangi ongkos bensin Rp50.000 untuk membeli lima liter Pertalite.

Bila harus menggunakan Pertamax, pemasukan Soleh bakal berkurang Rp10.000 per hari atau Rp300.000 per bulan.

“Kan kita tergantung dari pesanan. Maksudnya, belum tentu kita hari ini dapat banyak, besoknya juga dapat banyak. Belum tentu,” ujarnya.

“Jadi buat ojol, BBM dinaikin sih berat,” kata Soleh, yang tinggal di dekat Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur.

“Kami pakai Pertalite aja kan sebetulnya berat juga. Kalau dulu kan masih ada Premium, itu lebih ringan bagi ojek online.”

Melihat hal ini, Igun Wicaksono, ketua umum Gabungan Aksi Roda Dua (GARDA) Indonesia, sempat memprotes keras rencana pencabutan subsidi BBM, yang disebutnya tidak memihak rakyat kecil termasuk para ojol.

“Jangankan untuk membeli BBM non-subsidi, terkadang untuk mengisi BBM subsidi saja ojol ini harus menukar dengan rasa lapar di jalanan agar sepeda motornya tetap bisa beroperasi,” kata Igun.

Apalagi, katanya, sekitar 60% hingga 70% dari empat juta ojol di seluruh Indonesia adalah kurir yang fokus mengantarkan barang seperti Handi dan Soleh.

Karena itu, Igun bilang para ojol adalah tulang punggung ekonomi digital yang mesti mendapat perhatian dan dukungan dari pemerintah.

Sebagai konteks, jumlah pengiriman barang dari toko daring diperkirakan meningkat enam kali lipat hingga 1,6 miliar paket per tahun pada periode 2018-2022, menurut laporan McKinsey.

Ini terjadi seiring dengan bergeliatnya aktivitas belanja daring di Indonesia. Total nilai barang dagangan terjual bruto atau gross merchandise value (GMV) di sektor e-commerce diperkirakan tumbuh 85,7% pada periode 2020-2024 hingga menyentuh US$65 miliar (Rp1.031,2 triliun), merujuk laporan e-Conomy SEA 2024 oleh Google, Temasek, dan Bain & Company.

Spesifik untuk sektor pengiriman makanan dan transportasi daring, nilainya disebut naik 76,5% pada periode 2020-2024 menjadi US$9 miliar (Rp142,8 triliun).

Bahkan, aktivitas usaha grup GoTo dan para mitranya—termasuk mitra ojol Gojek dan berbagai usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang berdagang di Tokopedia—diperkirakan berkontribusi Rp259,6 triliun hingga Rp392 triliun terhadap perekonomian Indonesia pada 2023, setara 1,2% hingga 1,9% PDB tahun itu.

Melihat besarnya kontribusi ojol ke perekonomian, wajar pemerintah segera berputar haluan setelah muncul reaksi keras dari para ojol terkait rencana pencabutan subsidi BBM bagi mereka.

Saat pemerintah meralat kebijakannya sendiri

Setelah pemerintah batal membatasi pembelian Pertalite pada 1 Oktober, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia berulang kali menyampaikan rencana penerapan skema baru penyaluran subsidi BBM dengan sejumlah detail teknis berbeda.

Pada 13 November, saat rapat kerja dengan Komisi XII DPR, Bahlil bilang ada tiga opsi yang telah disiapkan Tim Kebijakan Subsidi Energi pemerintah.

Pertama, seluruh subsidi BBM yang ada saat ini dialihkan menjadi bantuan langsung tunai (BLT). Berarti, harga BBM bersubsidi seperti Solar dan Pertalite akan naik mengikuti harga pasar.

Kedua, hanya kendaraan transportasi publik serta fasilitas umum seperti rumah sakit dan tempat ibadah yang bisa mengakses BBM bersubsidi, sementara subsidi untuk masyarakat umum dialihkan jadi BLT.

Ketiga, harga BBM bersubsidi dinaikkan.

Pada 27 November, saat menemui wartawan di kediamannya di Jakarta Selatan setelah mencoblos untuk pilkada, Bahlil mengatakan “kemungkinan besar [skemanya] itu blending“.

Dengan kata lain, kemungkinan yang diambil adalah opsi kedua.

Subsidi untuk masyarakat berekonomi menengah ke bawah akan disalurkan dalam bentuk BLT agar lebih tepat sasaran, kata Bahlil, sementara BBM bersubsidi hanya bisa digunakan “kendaraan berpelat kuning” atau transportasi umum.

Saat itu Bahlil bilang tukang ojek online atau ojol tidak bisa menikmati BBM bersubsidi karena tidak termasuk transportasi umum.

“Ojek, dia kan pakai BBM untuk usaha,” kata Bahlil. “Masa usaha disubsidi?”

Meski begitu, para ojol disebut bisa menerima BLT bila memenuhi kriteria.

Pada 29 November, Gabungan Aksi Roda Dua (GARDA) Indonesia bereaksi keras atas pernyataan Bahlil tersebut.

GARDA mengeklaim ada 4 juta ojol di seluruh Indonesia dan mereka disebut siap turun ke jalan memprotes skema baru penyaluran subsidi BBM.

“Jika sampai ojol tidak dapat menerima atau mengisi BBM bersubsidi nanti, maka pastinya akan terjadi gelombang aksi unjuk rasa besar-besaran di seluruh Indonesia,” kata Ketua Umum GARDA Igun Wicaksono saat itu.

Pemerintah sebelumnya mengatakan bahwa ojol yang berstatus tidak mampu tetap bisa mendapat BLT.

Namun, Igun tetap menolak bila subsidi BBM dialihkan jadi BLT, yang menurutnya tidak berkelanjutan.

“Nilai BLT misalkan awalnya Rp600.000, lalu dikurangi jadi Rp300.000, dikurangi lagi tinggal Rp100.000, terus lama-lama hilang itu BLT yang diberikan kepada ojol,” kata Igun.

Pada 4 Desember, Bahlil meralat ucapannya sendiri. Kali ini, ia mengatakan BBM bersubsidi bisa digunakan tak hanya oleh kendaraan transportasi publik, tapi juga para pelaku UMKM yang mencakup ojol.

“Ojol itu akan masuk dalam kategori UMKM,” kata Bahlil di sela acara Indonesia Mining Summit 2024 di Jakarta.

“Ojol tetap [bisa membeli BBM bersubsidi] karena mereka ini UMKM, cuma kemarin salah ditafsirkan saja.”

Meski begitu, menurutnya pemerintah kini masih mencari cara untuk membedakan ojol dengan pengendara sepeda motor lainnya yang sama-sama berpelat hitam dalam proses penyaluran BBM bersubsidi.

Di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) disebut tengah menyusun data masyarakat yang berhak menerima pengalihan subsidi dalam bentuk BLT.

Data itu akan dilaporkan terlebih dahulu ke Presiden Prabowo Subianto, sebelum kepala negara memutuskan dan mengumumkan skema baru penyaluran subsidi BBM ke publik.

Insyallah bulan ini diumumkan,” kata Bahlil.

Pada 5 Desember, BBC News Indonesia menghubungi empat pejabat Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM dan empat pejabat Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) untuk menanyakan detail skema penyaluran subsidi BBM yang tengah disiapkan pemerintah.

Sebagian dari mereka menolak berkomentar banyak, sementara sebagian lainnya sama sekali tak merespons.

“Detailnya masih dibahas dan disiapkan,” kata Dadan Kusdiana, Plt. Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM.

“Ini masih kami exercise ya,” kata Erika Retnowati, Kepala BPH Migas.

Pada 6 Desember, barulah Menteri UMKM Maman Abdurrahman menyampaikan penjelasan.

Maman mengatakan pemerintah tidak akan mencabut atau mengalihkan subsidi BBM bagi pelaku UMKM. Karena ojol adalah bagian penting dari ekosistem UMKM, maka mereka pun disebut berhak menggunakan BBM bersubsidi dalam kesehariannya.

“Mengingat saudara-saudara kita, ojek online ini, masuk dalam kategori usaha mikro, oleh karena itu saudara-saudara kita ini, saya tegaskan sekali lagi, mereka tetap berhak mendapatkan alokasi BBM bersubsidi,” ujar Maman saat konferensi pers di Jakarta.

Namun, Maman menegaskan, dari 120 juta pengendara sepeda motor di Indonesia, hanya yang berstatus ojol yang sudah pasti bakal menikmati BBM bersubsidi.

Untuk ojek pangkalan, Maman bilang pihaknya perlu melakukan “verifikasi” terlebih dahulu. Sementara itu untuk taksi online, ia menyerahkan kepada Kementerian Perhubungan.

Ke depan, Kementerian UMKM berencana memanggil sejumlah perusahaan teknologi seperti Gojek, Grab, dan Maxim untuk meminta data para ojol yang bermitra dengan mereka. Data itu lantas akan digunakan Pertamina untuk memverifikasi identitas ojol saat mereka membeli BBM bersubsidi di SPBU.

“Beberapa perusahaan operator ojek online kita akan panggil. Kita akan minta data-data saudara-saudara kita yang terdaftar sebagai ojek online,” kata Maman.

“Supaya nanti di setiap SPBU bisa terverifikasi tuh, mana yang ojek online, mana yang enggak.”

Igun dari GARDA, yang ikut menghadiri konferensi pers, menyambut baik keputusan pemerintah tersebut.

“Apa yang sudah disampaikan oleh pemerintah ini sudah clear, sudah tidak ada lagi permasalahan antara ojek online dengan pihak pemerintah maupun pihak lainnya mengenai BBM bersubsidi,” kata Igun.

Namun, Igun mengingatkan pemerintah perlu segera menerbitkan instrumen hukum, misalnya dalam bentuk peraturan menteri, untuk menegaskan status ojol sebagai pelaku dalam “rantai distribusi UMKM”.

Dengan dasar hukum yang kuat, diharapkan kebijakan subsidi BBM bagi ojol dapat lebih berkelanjutan.

“Kebijakan ini jangan bersifat sementara saja,” kata Igun.

“Jangan sampai ke depannya terjadi lagi dengan alasan apa pun pemerintah ingin mencabut, membatasi, atau mengalihkan subsidi BBM bagi ojol.”

Apa kata para pakar?

Sejumlah ekonom menilai keputusan untuk mempertahankan subsidi BBM bagi para ojol sudah tepat, apalagi mempertimbangkan kontribusi besar mereka selama ini ke perekonomian.

Nailul Huda, ekonom sekaligus direktur ekonomi digital di Center of Economic and Law Studies (CELIOS), mengatakan roda ekonomi bisa tersendat bila para ojol tak mendapat subsidi BBM.

“Pertama kalau mereka [ojol] enggak dapat subsidi BBM, pasti harga akan naik, pasti akan menyesuaikan. Ketika harga menyesuaikan, artinya ada permintaan yang turun,” kata Nailul.

“Ketika permintaan turun dan sebagainya, otomatis roda perekonomian kurang berjalan begitu efektif. Itu yang kita takutkan sebenarnya.”

Menurut Mohammad Faisal, ekonom sekaligus direktur eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), kelas menengah Indonesia mengandalkan ojol tak hanya untuk urusan konsumsi atau berbelanja, tapi juga untuk pulang pergi bekerja.

“Dalam konteks seperti itu, ojol punya peran penting untuk menjaga daya beli, terutama kelas menengah,” kata Faisal.

Esther Sri Astuti, ekonom sekaligus direktur eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), pun menyebut pembatasan penjualan Pertalite bisa menurunkan daya beli masyarakat dan membuat perekonomian terkontraksi.

Maka, meski kebijakan semacam ini bisa membantu menghemat anggaran, pemerintah disebut mesti cermat menentukan siapa saja yang jadi sasaran pembatasan.

Faisal mengatakan kendaraan kargo yang mengangkut kebutuhan pokok seperti bahan pangan juga seharusnya diizinkan menggunakan BBM bersubsidi, tak hanya kendaraan transportasi publik.

Pengendara sepeda motor secara umum, tak hanya ojol, juga menurutnya mesti diprioritaskan.

“Sepeda motor ini tetap menjadi satu yang diandalkan oleh kalangan bawah untuk menekan harga di tengah, mengingat masih relatif terbatasnya transportasi publik yang ada,” kata Faisal.

Esther menyarankan pemerintah menggunakan definisi “pengendara sepeda motor yang hidup di bawah garis kemiskinan” alih-alih hanya fokus ke ojol. Dengan begitu, ojek pangkalan pun bisa membeli BBM bersubsidi.

Tantangannya, kata Nailul, ada di tahap verifikasi untuk memastikan apakah yang membeli BBM bersubsidi benar-benar berhak.

Nailul bilang sulit mengandalkan nomor KTP karena sistem e-KTP saat ini belum sesuai harapan, apalagi mengingat proyek ini sebelumnya dikorupsi besar-besaran.

Bila menggunakan nomor pelat, imbuhnya, bisa saja sepeda motor yang ada masih tercatat atas nama orang lain setelah dibeli pemiliknya saat ini. Maka, sulit untuk memverifikasi identitas pemiliknya.

Untuk mempermudah prosesnya, Nailul mengusulkan seluruh sepeda motor diizinkan membeli Pertalite—kecuali sepeda motor mewah berkapasitas mesin besar.

“Jadi Pertalite ya untuk sepeda motor saja sama mobil angkutan, misalnya angkutan umum [untuk penumpang] dan angkutan sembako,” ujar Nailul.

Di sisi lain, pengalihan subsidi BBM menjadi BLT disebut membawa risiko tersendiri.

Esther khawatir masyarakat tidak bijak dalam menggunakan BLT, misalnya untuk membeli rokok alih-alih barang lain yang lebih mendesak dan sesuai kebutuhan.

Studi Center for Economics and Development Studies (CEDS) Universitas Padjadjaran pada 2020 menunjukkan rokok termasuk dalam daftar belanja rumah tangga masyarakat yang dibeli dengan BLT Dana Desa di tengah pandemi Covid-19.

Dari sana, Esther lebih setuju bila subsidi BBM dialihkan untuk sesuatu yang bisa secara langsung meredam inflasi atau bahkan untuk investasi sumber daya manusia jangka panjang.

“Misalnya untuk beasiswa anak-anak sekolah yang tidak mampu,” kata Esther.

Teuku Riefky, peneliti makroekonomi di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia, memiliki pendapat berbeda.

Ia bilang kemungkinan masyarakat menggunakan BLT untuk membeli rokok memang ada. Namun, secara umum menurutnya BLT tetap lebih baik dibandingkan bantuan dalam bentuk pengurangan harga barang tertentu seperti BBM.

“Karena masyarakat miskinlah yang lebih tahu alokasi keuangannya mereka seperti apa. Artinya, kalau BBM ini kan kebutuhan pokok. Jadi, kebutuhan pokok ini ya pasti mereka akan belikan juga,” kata Riefky.

“Artinya enggak mungkin mereka merokok lebih banyak sampai kemudian enggak naik kendaraan bermotor.”

Dengan menargetkan bantuan langsung ke orang alih-alih barang, penyaluran subsidi disebut bisa lebih tepat sasaran.

“Kalau subsidi yang selama ini sudah ada dalam bentuk Pertalite, ini kan bentuknya blanket subsidy, artinya semua orang bisa menikmati, termasuk orang yang tidak miskin, tidak membutuhkan, atau memang tidak pantas mendapatkannya,” kata Riefky.

Taksi online yang luput dalam perbincangan

Dedi, sopir taksi online berusia 45 tahun, merasa hidupnya susah, tapi tak cukup susah untuk mendapat perhatian pemerintah.

Di tengah polemik soal kebijakan subsidi BBM bagi ojol, para pejabat pemerintah, pakar, pun berbagai media massa tak banyak memberi perhatian pada sopir taksi online yang juga bermitra dengan perusahaan semacam Gojek, Grab, dan Maxim.

Menteri UMKM Maman Abdurrahman mengatakan urusan taksi online diserahkan ke Kementerian Perhubungan.

Para ekonom memang menyerukan agar pemerintah memperluas sasaran program BBM bersubsidi, tak hanya untuk transportasi publik dan ojol, tapi juga pengendara sepeda motor secara umum. Namun, sopir taksi online seakan tak dianggap cukup layak untuk diperjuangkan.

“Dia [taksi online] golongan menengah kan. Kenapa? Dia sudah punya mobil,” kata Esther Sri Astuti, ekonom sekaligus direktur eksekutif INDEF.

Padahal, dalam kasus Dedi, ia mesti menyewa mobil untuk mengantar penumpang yang menggunakan layanan GoCar di aplikasi Gojek.

Dedi menggunakan jasa penyewaan mobil pribadi dengan harga Rp150.000 per hari. Menurutnya, ini lebih murah dibanding menyewa mobil dari partner resmi Gojek, yang tarifnya bisa menyentuh Rp180.000 per hari.

Saat pelanggan sedang ramai, Dedi bisa mendapat pemasukan Rp500.000 sehari dengan waktu kerja hingga 16 jam.

Namun, setelah dikurangi ongkos bensin Rp200.000 untuk 20 liter Pertalite dan setoran ke pemilik mobil sebesar Rp150.000, hanya tersisa Rp150.000 baginya, yang akan dikurangi lagi dengan biaya makan harian.

Bila sedang sepi, Dedi biasanya hanya mengumpulkan Rp300.000, yang akhirnya ludes semua untuk setoran, ongkos bensin, dan makan. Bila kurang dari itu, ia justru nombok.

Dan, bila ia tak bisa lagi membeli Pertalite dan mesti menggunakan Pertamax, ongkos bensinnya bakal bertambah kira-kira Rp40.000 per hari.

“Jadi ya susahnya sama aja dengan ojol,” kata Dedi yang tinggal di Rawa Lumbu, Bekasi.

“Saya ingin diakui juga oleh pemerintah.”

Menurut perhitungan Dedi, ia bisa jadi akan lebih untung bila beralih menjadi ojol yang tetap mendapat subsidi BBM.

Namun, Dedi telah menjual sepeda motornya beberapa tahun lalu. Ia pun kini terpaksa membawa taksi online karena terbatasnya pilihan kerja. Kontraknya sebagai sopir kantor di sebuah perusahaan konstruksi tak diperpanjang pada Agustus lalu.

Dedi bingung. Sebagian besar hidupnya ia habiskan sebagai sopir, entah sopir pribadi, kantor, ataupun taksi online. Hanya itu cara yang ia tahu untuk mencari nafkah.

Ia merasa sudah terlalu tua untuk mencoba hal baru. Buka usaha pun tak ada modal. Padahal, istri dan tiga anaknya mengandalkannya untuk menyambung hidup.

Saat ditanya apa harapannya ke depan, ia hanya menjawab, “Enggak tahu, Mas.”

“Ya, yang ada sajalah dijalani.”

Leave a comment