Informasi Terpercaya Masa Kini

5 Tahun Agus Ngalah Tidur di Balai RW,Nyambi jadi Petugas Keamanan,Hanya Pulang Karena Satu Hal

0 3

TRIBUNJATIM.COM – Agus, warga Jakarta Pusat bertahun-tahun rela tinggal di balai sekretariat RW.

Pria yang memiliki nama panjang Agusyadi ternyata terpaksa tidur di balai RW karena rumahnya sempit.

Rumahnya diketahui tak cukup untuk menampung seluruh anggota keluarga.

Hingga akhirnya pria berusia 50 tahun itu terpaksa mengalah.

Baca juga: Nasib Supeni Tinggal di Gang Sempit, WC Ditaruh Luar Rumah Meski Bau Kotoran: Enggak Mau Jorok

Pria berusia 50 tahun itu mengaku terpaksa tidur di balai RW lantaran rumahnya tidak cukup menampung seluruh anggota keluarga.

 “Saya terpaksa tidur di sini (balai sekretariat RW 12), setiap malam tidur di sini,” kata Agusyadi ketika ditemui di balai sekretariat RW 12 Tanah Tinggi, Senin (28/10/2024), dikutip dari Kompas.com.

Agus mengaku sudah lima tahun terakhir tidur di balai sekretariat RW. 

Pengurus RW pun tidak melarang fasilitas tersebut dijadikan tempat peristirahatan warga. 

Ia memilih tidur di balai sekretariat karena rumahnya yang berukuran 4×6 meter dengan dua lantai itu tidak mampu menampung seluruh anggota keluarganya yang total berjumlah 15 orang.

“Jadi saya memilih mengalah saja sama adik, tidurnya di sini,” katanya. 

Setiap harinya, Agus bekerja sebagai petugas lingkungan masyarakat (linmas) RW 12 Kelurahan Tanah Tinggi. 

Setiap malam setelah berkeliling untuk memastikan keamanan wilayah, Agus selalu kembali ke balai sekretariat untuk tidur.

“Paling balik kalau ganti baju, mandi di sini (kamar mandi umum),” ucap Agus.

Agus tak seorang diri. 

Di balai sekretariat RW 12, beberapa warga tidur dengan memanfaatkan sekitar empat kursi panjang sebagai alas.

Penjelasan Ketua RW

Ketua RW 12 mengatakan bahwa setiap hari pasti ada warganya yang tidur di balai sekretariat.

Mereka biasanya memanfaatkan ruang-ruang yang ada.

“Setiap malam ada, pagi, siang. Jadi memanfaatkan ruang-ruang yang ada,” ungkap Ketua RW 12 Kelurahan Tanah Tinggi, Imron Buchori. 

Adapun RW 12 merupakan satu di antara wilayah Kelurahan Tanah Tinggi yang masuk kategori permukiman padat penduduk. 

Kepadatan penduduk di RW 12 tersebar di enam RT dari total 11 RT di wilayah tersebut. Sebaran tersebut mencakup, RT 5, RT 6, RT 7, RT, 8, RT 9, dan RT 10. 

Secara keseluruhan, wilayah RW 12 mempunyai luas sekitar 3,5 hektare dengan jumlah penduduk mencapai 1.600 kartu keluarga (KK) dari 2.200 jiwa.

Sementara itu, kisah rumah yang sempit juga dialami oleh Supeni.

Inilah potret kehidupan warga yang tinggal di Gang Spoor, Kemayoran, Jakarta Pusat.

Ada banyak keluarga yang tinggal di gang sempit ini.

Salah satunya adalah Supeni (64).

Warga Gang Spoor RT 7/RW 2 ini terpaksa membangun kamar mandi di luar rumah karena tempat tinggalnya terlalu sempit.

Sebenarnya, tidak jauh dari rumah Supeni, ada satu kamar mandi umum yang bisa digunakan warga Gang Spoor.

Namun Supeni memilih membuat satu kamar mandi di luar rumah yang hanya dipakai oleh keluarganya.

Posisi kamar mandi milik Supeni menyempil di sela-sela dinding rumah tetangganya.

Jaraknya sekitar lima langkah dari pintu rumah Supeni.

“Saya mah enggak mau kalau jorok, nanti saya yang capek,” kata Supeni saat ditemui di rumahnya, Selasa (6/8/2024).

Oleh karena posisinya yang menyempil, kamar mandi milik Supeni terbilang sempit.

Lebarnya tak lebih dari 1,5 meter, namun panjangnya hampir tiga meter.

Dinding kanan dan kiri kamar mandi merupakan dinding rumah tetangga Supeni.

Sebelah kanan dinding berlapis seng, sedangkan yang kiri merupakan bata dan acian semen.

Terlihat lantai kamar mandi berupa keramik putih bermotif layang-layang warna cokelat.

Baca juga: Demi Dapat Gaji Rp10 Juta, TKW Ika Tidur di Kamar Sempit sampai Masak di Kolong Kasur: Disyukuri

Bagian dalam kamar mandi cukup gelap karena hanya dipasang satu lampu remang-remang.

Sementara bagian depan kamar mandi hanya ditutup dengan seng.

Tak ada jamban di kamar mandi ini.

Alhasil semua yang dikeluarkan langsung dibuang ke saluran air atau got yang mengalir di depan rumah-rumah warga.

Ada tiga ember bekas cat berukuran besar yang digunakan untuk menampung air.

Sementara satu ember lainnya berisi baju-baju keluarga Supeni yang tengah direndam.

Saat Kompas.com berbincang dengan Supeni di depan rumahnya, terus tercium bau tidak sedap.

Padahal tidak terlihat ada sampah berserakan di sepanjang gang depan rumah Supeni.

“Enggak (ada septic tank), langsung ke got, saluran air,” imbuh Supeni.

Meski angin bertiup sepoi-sepoi, bau yang menguar dari kamar mandi dan rumah-rumah tetangga Supeni sulit untuk diabaikan.

Begitu juga dengan suara rel kereta yang setiap beberapa menit terus beradu.

Rumah Supeni memang dekat sekali dengan Stasiun Kemayoran.

Tiga meter dari rumah Supeni merupakan perlintasan rel kereta.

Tidak ada pintu gerbang atau pembatas apa pun untuk menutup pintu menuju perlintasan itu.

Ketika jalur empat di Stasiun Kemayoran dilewati oleh kereta, warga dari RT 01 tidak bisa keluar rumah karena rangkaian kereta bisa langsung menyambar hidung mereka.

Lurus dari pintu rel, di sebelah kiri, terlihat warung kecil Supeni yang diisi jajanan ringan seadanya.

Jika lurus terus, warga akan langsung masuk ke gang yang lebih besar.

Gang yang lebarnya tidak lebih dari satu meter ini beratapkan kayu.

Hampir semua rumah membangun lantai dua karena lantai satu rumah mereka sudah sesak.

Baca juga: Kabar Terbaru Penghuni Rumah Viral Cimahi Ditinggali 46 Orang, Kini Bakal Dipindah ke Rusunawa

Supeni pun demikian.

Di lantai satu rumahnya ditaruh sejumlah peralatan untuk mengisi warung dan dua kulkas.

Satunya sudah rusak dan digunakan layaknya rak plastik untuk menyimpan lauk yang baru saja matang.

Gang yang ada di sisi kiri rumah Supeni justru lebih sempit lagi.

Rumah-rumah petak di dalamnya tampak terbuat dari kayu dan triplek.

Sementara, atap-atapnya menggunakan seng.

Jika Jakarta sedang dilanda hawa panas, warga yang kamarnya persis di bawah atap pun serasa sedang dipanggang.

Meski anaknya yang laki-laki saat ini kerja serabutan, Supeni mengaku tidak mau bergantung banyak ke orang lain.

Oleh karena itu, dia berusaha mencari uang tambahan dengan berdagang kecil-kecilan.

“Warung kecil-kecilan saja, yang penting bisa buat (cari uang),” imbuh Supeni.

Serupa dengan Supeni, kisah satu keluarga sudah lima tahun tinggal di toilet umum di Sulawesi Tenggara juga membuat miris.

Udin bersama istri dan anak-anaknya tinggal di toilet umum di Desa Kancinaa, Kecamatan Pasarwajo, Kabupaten Buton. 

Bagaimana kisah miris Udin selengkapnnya?

Udin mengungkap alasan mau tinggal di toilet umum bersama keluarganya.

Ia mengaku tidak memiliki biaya untuk menyewa rumah layak. 

Selain itu Udin juga mengaku tidak mendapatkan bantuan dari keluarga untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal. 

Sehingga dia mengambil alternatif untuk tinggal di bangunan pemerintah. 

“Tinggal di sini karena tidak ada rumah, tinggal sama orang tua juga susah.

Jadi ingin mandiri saja tinggal di sini,” kata Udin saat ditemui di tempat tinggalnya, Selasa (4/6/2024). 

Udin pun tampak sudah menata toilet tersebut sedemikian rupa sebagai tempat tinggal istri dan anaknya. 

Jika dilihat sepintas dari luar, toilet umum yang dibangun pada sekitar tahun 2014 tersebut terlihat masih seperti bangunan yang dibangun pertama kali.

Dalam toilet tersebut terdapat tiga ruangan.

Namun saat masuk ke dalam ruangan, dua ruang di toilet diubah.

Dindingnya dijebol dijadikan satu sehingga menjadi kamar.

Ukuran kamarnya pun sangat kecil dengan panjang 3 meter dan lebar hanya 1,5 meter, tanpa jendela.

Kemudian di bagian atas pembatas toilet ditutup dengan tripleks sehingga dijadikan ruang utama.

“Anak-anak tidurnya di ruang utama ini. Kalau saya dan istri di dalam kamar,” ujar Udin, mengutip Kompas.com.

Udin menjelaskan, sebelumnya, ia bersama anak dan istrinya tinggal di gubuk di tepi laut milik keluarganya.

Namun karena rumahnya sudah mau roboh diterjang angin kencang, Udin yang saban harinya hanya bekerja sebagai buruh bangunan ini akhirnya memilih tinggal di toilet umum.

Apalagi toilet umum tersebut sudah lama tidak digunakan warga.

Lantaran semua warga sudah mempunyai toilet masing-masing dalam rumahnya.

“Jadi saya minta izin sama kepala desa untuk tinggal di sini (toilet), dan diizinkan dan lahan ini juga milik mertua,” ucapnya.

Selain sudah tinggal selama lima tahun di toilet umum tersebut, Udin juga mengaku kesulitan karena ruangannya yang sempit.

Udin kini hanya berharap agar pemerintah dapat memberikan bantuan untuk tempat tinggal yang layak.

Artikel ini telah tayang di TribunJabar.id

Leave a comment