Bila Esok Ibu Tiada: Maafkan Aku Terlambat Hadir
Setelah Home Sweet Loan, telah hadir yang tidak kalah siap mencampur adukkan perasaan. “Film by Rudi Soedjarwo, based on the best-selling novel by Nuy Nagiga.”
Masihkah kita ingat kapan terakhir kali memeluk ibu, mendengar nasihatnya, atau sekadar duduk bersamanya di meja makan? Di tengah sibuknya hidup, seringkali ibu terlupakan hingga akhirnya kita hanya bisa menyesali waktu yang tak lagi bisa diputar. Film Bila Esok Ibu Tiada mengangkat kenyataan pahit ini, menghadirkan kisah yang membangkitkan kesadaran tentang kasih ibu yang sering kita abaikan.
Dengan angka penonton mencapai 3.256.879 pada hari kedelapan belas penayangannya, film ini tak hanya menjadi hiburan, tapi juga sebuah cermin, memaksa kita merenungi hubungan dengan ibu di tengah gaya hidup modern yang serba cepat.
Ibu: Sosok yang Diam-Diam Mengorbankan Segalanya
Christine Hakim memerankan Rahmi, ibu yang tegar dan selalu mendahulukan anak-anaknya. Namun, di balik senyumnya, tersimpan rasa sakit yang tak pernah ia bagi. Ia menangis dalam diam, menyembunyikan sakitnya, bahkan berkata sudah makan meski kenyataannya belum. Rahmi adalah potret nyata ibu-ibu yang selalu menempatkan kebahagiaan anak di atas segalanya, meski harus mengorbankan dirinya sendiri.
Sebagian dari kita mungkin pernah mengalami momen seperti ini:
Ketika ibu mengatakan, “Tidak usah khawatir, ibu baik-baik saja,” meski sebenarnya ia sedang sakit. Saat ibu menunggu kita pulang hingga larut malam tanpa mengeluh. Atau ketika ibu meminjam uang diam-diam demi memenuhi kebutuhan kita.
Siapa dari kita yang tidak pernah merasakan kasih seperti ini dari seorang ibu? Namun, seberapa sering kita menyadarinya? Rahmi adalah representasi dari semua ibu yang cintanya tak bersyarat, meski sering tak dihargai oleh anak-anaknya.
Kisah yang Mewakili Banyak Keluarga
Film ini bukan hanya cerita Rahmi, tapi juga tentang kita sebagai anak. Setiap karakter anak Rahmi mencerminkan berbagai tipe hubungan anak-ibu yang sering kita temui:
1. Ranika (Anak Pertama)
Mandiri dan pekerja keras, Ranika menjadi tulang punggung keluarga. Namun, tuntutan menjadi “anak sempurna” membuatnya melupakan dirinya sendiri. Ia sering merasa sendirian dalam beban yang ia pikul.
2. Rangga (Anak Kedua)
Seorang musisi yang sering dibandingkan dengan kakaknya. Ia percaya bahwa doa ibu adalah kekuatannya, tapi pergulatan batinnya tak pernah ia ungkapkan, membuatnya tampak dingin dan jauh.
3. Rania (Anak Ketiga)
Selebriti yang ceria di luar, tapi hancur di dalam. Sebagai anak tengah, Rania sering merasa kontribusinya tak dianggap, meski ia selalu berusaha menciptakan kebahagiaan di tengah keluarga.
4. Hening (Anak Bungsu)
Selalu ada untuk ibu, tapi sering merasa pengorbanannya diabaikan. Hening mewakili anak-anak yang harus mengorbankan mimpinya demi keluarga, namun tak pernah mengeluh meski hatinya terluka.
Apakah salah satu dari mereka mencerminkan kita? Atau justru kita melihat refleksi ibu kita dalam sosok Rahmi?
Adegan yang Membawa Penonton Menangis
Momen seperti ulang tahun Rahmi yang dilupakan anak-anaknya, hingga kepergiannya ke Pekalongan tanpa sepengetahuan mereka, adalah gambaran nyata bagaimana ibu sering kali diabaikan. Namun, adegan yang paling menghancurkan hati adalah ketika Rahmi meninggal dunia, meninggalkan anak-anaknya dengan penyesalan mendalam.
“Ibu kehilangan sakitnya, tapi aku yang sakit kehilangan ibu.” Kutipan ini, disampaikan oleh Amanda Manopo yang memerankan Rania , seolah menyuarakan perasaan kita yang sering merasa kehilangan saat semuanya sudah terlambat. Sebuah pesan dari film ini terasa begitu relevan:
“Saat ibu bisa merawat sepuluh anak, sepuluh anak belum tentu bisa merawat satu ibu.”
Kalimat sederhana ini mengingatkan kita pada kenyataan pahit yang sering kali terabaikan. Bayangkan betapa lelahnya tangan yang dulu menggendong kita tanpa keluhan, sekarang bergetar mencari pegangan. Betapa sunyi nya hati yang dulu selalu penuh tawa saat bersama kita, kini hanya ditemani kenangan masa lalu. Film ini seolah bertanya: apakah kita sudah membalas kasih itu, atau justru kita masih sibuk dengan alasan, lupa bahwa waktu bersama ibu tidak akan selamanya ada?
Pelajaran yang Menyentuh Generasi Saat Ini
Di era modern ini, banyak anak yang terjebak dalam rutinitas. Sibuk mengejar karier, memenuhi target, hingga lupa bahwa ada ibu yang terus menunggu kabar, meski hanya satu pesan sederhana. Lupa bahwa ada ibu yang selalu menunggu kabar sederhana seperti, “Ma, aku sudah makan.”
Film ini menyuarakan semua itu, mengajak kita untuk tidak hanya sibuk memperbaiki dunia luar, tapi juga membangun kembali hubungan dengan ibu yang mungkin sudah renggang.
Film ini menyentuh realitas bahwa:
Anak pertama sering merasa harus kuat, meski dalam hati ingin menangis.
Anak tengah berjuang keras untuk diterima, tapi kontribusinya sering diabaikan.
Anak bungsu merelakan mimpinya demi keluarga, namun tak pernah merasa cukup dihargai.
KAPAN??
Kapan Terakhir Kali Memeluk Ibu?
Bila Esok Ibu Tiada bukan sekadar film, tapi panggilan untuk kembali mendekatkan diri pada ibu. Jika sudah terlalu lama, mungkin saatnya menjadikan hari ini berbeda.