Petani Milenial Bisa Raup Rp 10 Juta per Bulan, Mentan Jelaskan Hitungannya
Menteri Pertanian Amran Sulaiman membeberkan hitung-hitungan pendapatan yang bisa diraup oleh petani milenial atau Brigade Swasembada Pangan bisa meraup cuan minimal Rp 10 juta per bulan.
Amran menjelaskan, Kementerian Pertanian (Kementan) membuka lowongan petani milenial ini untuk anak muda dengan kelompok berisi 15 orang untuk mengelola lahan 200 hektare, baik yang memiliki lahan ataupun tidak. Nantinya, akan ada sistem bagi hasil 70-30 untuk pemilik lahan dan pengelola.
“Kami serahkan alat hibah, tapi ini harus dijaga, alat ini. Caranya adalah sistemnya 70-30, bagi yang punya lahan 30 persen, karena itu berlaku seluruh Indonesia, yang mengelola 70 persen. Nah, ini yang 15 orang mengelola, dia mendapatkan 70 persen,” kata Amran di Kantor Kementan, Selasa (26/11).
Lebih lanjut, sebanyak 70 persen ini sebelum dihitung sebagai pendapatan kotor, wajib dialokasikan untuk biaya perbaikan atau regenerasi peralatan pertanian. Tujuannya, supaya petani milenial tidak bergantung pada alat mesin pertanian (alsintan) dari pemerintah.
“Kemudian dari 70 persen ini, 20 persen disimpan untuk pembelian alat 5 tahun ke depan, setelah rusak. Perbaikan lah selanjutnya. Jadi, sangat menguntungkan,” terangnya.
Baru kemudian petani milenial dapat meraup cuan penghasilan dari 50 persen pendapatan bertani.
“Contoh di Merauke, Matius generasi milenial, itu mengelola lahan 3 hektare satu hari. Pendapatan kotor Rp 1,12 juta per hektare, berarti per hari Rp 3,76 juta. Baru traktor satu bekerja, berarti dia mendapatkan kotor kurang lebih Rp 100 juta per bulan. Tapi dia bentuk kelompok, kan. Jadi itu salah satu contoh kemarin, dan dia mendapatkan, Rp 15 sampai Rp 20 juta per bulan,” terang Amran.
Amran meyakini, angka pendapatan Rp 10 juta per bulan yang dijanjikannya untuk petani milenial bukan angka maksimal. Sebab dia mengeklaim pendapatan petani milenial bisa capai angka Rp 20 juta per bulan.
Amran Pastikan Bulog Bakal Jadi Offtaker
Amran juga memastikan perusahaan pangan Perum Bulog akan jadi offtaker hasil pertanian dari petani milenial. Meskipun dia juga membebaskan para petani milenial menjual hasil tanamnya ke sektor mana pun yang dianggap lebih menguntungkan.
“Bulog mutlak jadi off-taker, tidak boleh sampai merugikan milenial ini. Dijamin harganya minimal Rp 6.000 (per kg gabah) kalau harga (offtaker lain) di bawah Rp 6.000, bulog yang off-taker. Tapi kalau harganya (offtaker lain) Rp 8.000-Rp 9.000, ya jual ke mana saja,” terang Amran.
Amran menuturkan program petani milenial ini adalah cara Kementan untuk menggaet generasi muda turun ke lahan dan memproduksi pangan. Nantinya generasi muda akan dibekali dengan teknologi modern, sehingga akan ada transformasi pertanian.
“Kita berikan alat pertanian, berikan benih unggul dalam rangka pembinaan generasi milenial dan generasi Z. Diutamakan pada lokasi setempat, wilayah setempat. Kita rencanakan di 12 provinsi, yaitu optimalisasi lahan dan cetak sawah. Di sana karena tenaga kerja kurang di sana. Sehingga kita mengundang milenial,” terangnya.
Sebanyak 12 provinsi yang dimaksud Amran di antaranya Provinsi Papua Selatan yaitu Merauke, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Aceh, Jambi, Riau, Bengkulu dan lain-lain.
Sebelumnya, untuk menggalakkan program ini, Amran juga menyebutkan akan menyiapkan mentor dan pendamping yang juga melibatkan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kementan.
“Kunci keberhasilan swasembada pangan terletak pada generasi muda. Dengan keterlibatan petani milenial, teknologi modern, dan sumber daya alam yang kita miliki, saya yakin kita bisa melampaui target,” kata Amran seperti dikutip dari keterangan tertulis pada Kamis (21/11).
Pada tahap pertama akan ada 400 pendamping dari pegawai Kementan terpilih, serta 50 mentor yang terdiri dari penyuluh, dosen, guru, dan widyaiswara yang mendampingi brigade swasembada pangan. Para pendamping tersebut akan ikut mendampingi petani milenial ke daerah.
Daerah tersebut tersebar di 12 provinsi strategis yang menjadi wilayah optimalisasi lahan rawa (OPLAH), yaitu Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Papua Selatan.