Masa Sengsara Memang Ada tapi Ayah Musti Terus Berusaha
Yang saya rasakan, bahwa seiring bertambahnya usia makin banyak kejadian dilalui. Hidup seorang ayah, tidak lagi tentang hidupnya sendiri. Tetapi ada hidup anak istri, yang musti — lebih — dipikirkan. Saya yakin Kompasianer, kemungkinan juga merasakan hal yang sama.
Ketika masa senang datang, rasanya waktu sebegitu cepat dijalani. Tertawa ceria bahagia, seolah sangat ampuh memangkas hari. Sementara saat masa sengsara tiba, rasanya jarum jam berdetak sedemikian lambatnya. Waktu terasa lebih panjang, rasa tak sabar ingin segera lepas dari kesedihan.
Kompasianer, sedih dan senang memang dipergilirkan adanya. Semesta menetapkan, setiap manusia telah dihitungkan jatahnya. Mau tak mau, menerima atau menyangkal, sedih dan senang telah menjadi bagian kehidupan seorang manusia.
Terkhusus para ayah, yang beban-nya ditambahkan oleh kehidupan. Janganlah berkecil hati, kemulianmu ada sabarmu berproses. Bebanmu memang berat, masalahmu memang kompleks. Tetapi bukankah perkasanya sebuah gedung, karena kualitas cor-coran batu dan semennya.
Kini, saya telah merasakan. Nelangsa versi bujangan versus nelangsa versi ayah. Tingkat kesulitannya, memang tak bisa diperbandingkan—setiap orang punya masanya. Tapi bagi yang pernah berada di dua keadaan itu, otomatis bisa merasakan.
Kalau nelangsanya bujangan, ibarat tidak makan ya puasa senin kamis. Berbuka di masjid tertentu, yang menyediakan berbuka puasa sunah.
Sementara nelangsa versi ayah, lebih kompleks dan tidak sesimpel itu. Laparnya ayah sendiri–mungkin– bisa ditahan, karena ayah biasa melewati gemuruh kesedihan. Tetapi lapar istri dan anak- anak di rumah, tak bisa dipersamakan dan musti dicarikan solusi.
Karena ini soal, marwah dan harga diri-nya ayah dan masa sengsara memang ada, tapi ayah musti terus berusaha.
—-
“Yang penting kerja keras dengan segala kesengsaraanya. Memang berat, memang nelongso, kadang putus asa tapi jangan melewati batas putus asa. Tawakal dan mandep mantep kepada kehidupan backingnya Alloh. Jangan itung nasib berdasarkan kemauanmu tapi berdasarkan kemauan Alloh. Kerja keras minta pada Alloh,” Emha Ainun Najib
Sepagian ini saya dibuat merenung, setelah menyimak sebuah konten video yang seliweran di tiktok. Menampilkan budayawan Emha Ainun Nadjib, dengan pernyataannya yang menggelitik sekaligus mendalam.
Bahwa kehidupan dirancang dengan luar biasa, semua yang terjadi di dunia ada takarannya. Tidak ujug-ujug begitu saja terjadi, semua terencana dengan sedetil-detilnya. Kita musti meyakini, bahwa tiada sia-sia yang dipersembahkan kehidupan.
Manusia dengan ketak-kuasaannya, dijamin tiada mampu menyangkal takdir. Sepanjang apapun kesenangan, jatahnya kan selesai dan diganti sedih. Pun nelangsa yang terjadi secara beruntutan, pasti ada keberuntungan menyelamatkan.
Ayah dengan keperkasaan dimiliki, bisanya sebatas mengerahkan usaha keras dimiliki. Memperjuangkan istri dan anak-anak, mempertanggungan jawabkannya kelak di hari perhitungan. Kalau sengsara sedang terjadi, ayah pasrahlah mengakui kelemahan.
Tetapi bahwa tak putus asanya enyerahnya ayah, kan menjadi catatan kehidupan. Kelak dipersaksikan istri dan anak-anaknya, mereka bangga padamu ayah.
—
Saya seperti ayah pada umumnya, mengalami masa pasang dan surut. Pernah dibuat pusing, ketika banyak kebutuhan dipenuhi saat dompet meniipis. Saya dan istri membahu, merasakan masa sempit dan lapang.
Kalau ada yang bilang “kelapangan cenderung melenakan”, saya sangat menyepakati. Ketika sedang banyak uang, muncul sikap menggampangkan suatu masalah. Mudah menyepelekan gagasan orang lain, merasa diri paling benar dan banyak kontribusi.
Bahwa kesempitan, kan memberi ruang lebar untuk belajar berdamai. Saya sangat setuju, karena juga pernah mengalami. Justru pada masa-masa nelangsa, saya disadarkan akan banyak kesalahan. Pada orang-orang di masa lalu, yang bahkan tidak saya pedulikan perasaannya.
Masa-masa paceklik, mengantar saya pada kemenyesalan demi kemenyesalan. Ingat perkataan yang menyinggung saudara sendiri, pernah mengecilkan teman sekantor. Pernah meremehkan tetangga, yang usulannya sangat biasa.
Dan seterusnya dan seterusnya, dan seketika itu saya ingin menebusnya. Meminta maaf pada mereka, meminta ridho untuk memaafkannya. Ya, senang yang berlebihan bisa mengeraskan hati, dan kesedihanlah yang melembutkan.
Masa sengsaranya seorang ayah, smoga menjadi ajang introspeksi diri. Sangat mungkin, banyak kesalahan masa lalu pernah diperbuat ayah. Sehingga sengsara hari ini, menjadi kesempatan membersihkan hati.
Sehingga di hari-hari ke depank, yang ayah usahakan menjadi berkah untuk dibawa pulang. Menjadi persembahan, untuk anak istri tersayang.
Masa sengsara memang ada, tapi teruslah ayah berusaha. Semoga bermanfaat.