Rekomendasi Film Festival: “Eksil”, Film Dokumenter tentang Mereka yang Terasing
“Bagaimana rasanya ketika kita ada tetapi dianggap tiada?”
Saya terenyuh dan tak sanggup menahan air mata ketika menyaksikan seorang lelaki paruh baya dalam layar sinema mencurahkan kalimat seperti itu. Karena sejatinya, sesuatu yang paling perih dalam hidup adalah tidak dianggapnya keberadaan kita.
Memundurkan ingatan pada saat pelantikan Presiden-Wakil Presiden Republik Indonesia 20 Oktober 2024 lalu. Riuh ramai potongan video di media sosial yang menampilkan suasana teriakan “huuu….” ketika kamera menyoroti keluarga Presiden RI ke-7, Joko Widodo.
Warganet pun menganggap potongan video tersebut sebagai ekspresi ‘ketidaksukaan’ masyarakat pada keluarga Jokowi yang dianggap telah melakukan politik dinasti. Tapi sepertinya reaksi mereka biasa saja, dan tidak terpengaruh oleh teriakan itu.
Sebuah reaksi yang sangat wajar. Karena teriakan tersebut masihlah menunjukkan adanya atensi dan perhatian masyarakat kepada mereka. Jika benar-benar sudah tidak peduli, maka sejatinya diam adalah aksi terbaik.
Eksil, film dokumenter tentang mereka yang terasing
Maka jika berbicara soal didiamkan alias tidak dianggap, atau sengaja diasingkan, salah satu yang paling bisa bicara hal tersebut adalah para eksil yang harus terombang-ambing dalam ketidakpastian hidup di negara orang lain.
Mulanya, para eksil ini sebagian besar adalah pemuda dan mahasiswa yang dikirim oleh presiden pertama Soekarno, belajar ke luar negeri. Dengan harapan ketika mereka pulang ke Indonesia, bisa membawa dan menerapkan ilmu yang diperolehnya untuk membangun Indonesia.
Namun, saat mereka masih belajar di luar negeri, terjadilah peristiwa besar dan kelam di negeri ini yang kita kenal dengan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia atau G30S PKI. Para jenderal besar diculik dan dibunuh.
Mereka yang masih di luar negeri tidak bisa pulang ke Indonesia. Paspor dan kewarganegaraannya dicabut. Kalaupun ada yang berhasil pulang ke Indonesia, mereka akan diinterogasi oleh militer.
Itulah awal mula mereka hidup terasing di negeri orang bahkan hingga akhir hayatnya.
Selama ini, generasi masa kini hanya bisa mengetahui peristiwa kelam ini dari satu sisi saja, alias sisi pemerintah saja. Kita sangat jarang bisa mendapat perspektif lain terutama dari sudut pandang para eksil itu sendiri.
Keresahan tersebut dirasakan sutradara perempuan Lola Amaria, yang akhirnya punya niatan untuk mendokumentasikan peristiwa tersebut dari sisi eksil, yang akhirnya jadi sebuah film dokumenter berjudul Eksil.
Dalam kesempatan ekslusif bincang santai bersama Lola Amaria pada Oktober 2024, ia menyebut bahwa ide awal pembuatan film ini dimulai saat ia kuliah dan bergaul dengan teman-teman dari berbagai kalangan. Lola mendapat banyak bacaan yang berbeda dari apa yang ditontonnya sewaktu sekolah.
Pada tahun 2011, Lola bertemu dengan temannya yang sedang kuliah di Berlin. Nah, dari temannya tersebut ia berkenalan dengan orang Indonesia yang sudah menjadi warga negara Jerman. Orang tersebut pernah dikirim oleh presiden Soekarno pada tahun 1962 tetapi tidak bisa kembali ke tanah air karena dituduh komunis.
Perjumpaan Lola dengannya, membawa Lola pada puluhan eksil yang berhasil ia dapatkan kontaknya baik melalui telepon ataupun email. Hingga setelah melewati proses yang panjang, Lola mendapatkan kesediaan 10 eksil untuk bisa ikut serta dalam pembuatan filmnya.
Pembuatan film ini menempuh jalan yang terjal. Mulai syuting pada tahun 2015, selama 3 bulan di beberapa negara di Eropa, dilakukannya secara sembunyi-sembunyi. Apalagi, sebagian eksil masih menaruh kecurigaan kepada Lola dan krunya yang dianggapnya sebagai intel “suruhan orang”.
Lola pun melakukan pendekatan secara lebih personal untuk meyakinkan mereka bahwa dirinya bukanlah intel. Lola pelajari satu per satu kondisi psikologis para eksil sebagai narasumber mulai dari latar belakangnya, sekolah dan jurusannya, tahun keberangkatan, hingga negara tempat mereka terdampar.
Penghargaan yang diterima Eksil
Lebih dari 7 tahun sejak proses syuting pertama kalinya, Eksil akhirnya berhasil tayang perdana di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) pada 27 November 2022. Dan berhasil meraih penghargaan “Best Film” pada kategori JAFF Indonesian Screen Awards.
Setelah dari JAFF, Lola bersikeras jika Eksil harus tayang secara luas di bioskop reguler. Karena menurutnya, sejak awal film ini sudah dikerjakan dengan format film bioskop. Mulai dari suara, gambar, hingga audio mixing, sudah disesuaikan dengan kapasitas dan standar bioskop.
Tapi apa daya, jadwal tayang di bioskop tak kunjung tiba. Bisa jadi genre dokumenter dianggap ‘tidak seksi’ untuk bisnis, apalagi dengan tema cerita yang sangat sensitif.
Meski begitu, Lola tak menyerah. Ia mendaftarkan Eksil untuk Festival Film Indonesia (FFI) 2023. Dan akhirnya berhasil membawa pulang piala citra Film Dokumenter Panjang Terbaik.
Setelah mendapat piala citra, peluang Eksil untuk tayang di bioskop agaknya kian terbuka. Film ini berhasil tayang perdana di bioskop pada awal Februari 2024.
Tak dinyana, respons penonton sangat positif. Meski bergenre dokumenter dan tayang terbatas di bioskop tertentu, film ini berhasil membentangkan layarnya kurang lebih 2 bulan lamanya di bioskop nasional.
Eksil kian melengkapi kesuksesan dan penghargaan yang diterimanya setelah mendapat penghargaan khusus Festival Film Bandung (FFB) 2024 sebagai “Film Dokumenter yang Bermuatan Wawasan Kebangsaan” pada 9 November 2024.
Menurut catatan dari Forum Film Bandung sebagai penyelenggara FFB, Eksil layak diberikan penghargaan khusus atas dua hal. Pertama soal genre, kedua soal temanya.
Soal genre, tidak banyak sineas yang berani bertaruh untuk membuat dokumenter. Bahkan setahun sekali pun belum tentu ada genre seperti ini nangkring di bioskop komersil. Tapi Eksil berhasil membuktikan bahwa genre dokumenter juga punya peminatnya sendiri.
Bahkan sejauh ini, Eksil termasuk film dokumenter yang meraih penonton terbanyak di antara semua dokumenter yang pernah tayang di bioskop.
Kedua soal tema. Film Eksil dinilai sebagai film yang punya andil dalam mendokumentasikan wawasan kebangsaan. Eksil berhasil memberikan perspektif lain soal peristiwa kelam tahun 1965, sehingga bisa menjadi arsip sejarah yang bisa ditonton dan dikaji ulang di kemudian hari.
Sampai akhir tahun 2024, jadwal pemutaran film Eksil masih padat baik di dalam negeri ataupun di luar negeri.
Saya sarankan, apabila pemutaran film ini mampir di daerahmu, sempatkanlah nonton. Atau jika suatu saat masuk ke layanan OTT, jangan sampai film ini diasingkan. Segera masukkan ke dalam watchlist.
Menutup tulisan ini, saya pernah berharap Eksil terpilih menjadi perwakilan Indonesia untuk Best International Feature Film Oscar 2025. Sayangnya, komite Oscar Indonesia memilih film yang lain.