Sejarah Tari Gandrung yang Jadi Ikon Pariwisata Banyuwangi
KOMPAS.com – Tari Gandrung adalah tarian tradisional khas Banyuwangi, Jawa Timur, yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu.
Tari Gandrung ini merupakan perpaduan antara tarian dan nyanyian yang dahulu kala dilakukan oleh seorang laki-laki.
Tarian khas Banyuwangi ini pun biasa dilakukan pada dini hari atau disebut semalam suntuk, biasanya di mulai pada pukul 24.00 atau 02.00 WIB hingga 05.00 WIB.
Meskipun pada awalnya dipentaskan oleh laki-laki, seiring zaman pementasan Tari Gandrung pun dilakukan oleh perempuan.
Baca juga: Liburan ke Desa Wisata Osing Banyuwangi, Bisa Belajar Tari Gandrung
Sejarah Tari gandrung
Sejarawan Suhalik mengatakan Gandrung memiliki arti tergila-gila atau cinta yang melonjak-lonjak.
“Gandrung itu kan artinya tergila-gila atau kesengsem, seperti cintanya itu melonjak-lonjak atau meluap-luap,” kata Suhalik kepada Kompas.com, Selasa (12/11/2024).
Suhalik menuturkan pada awalnya Tari Gandrung tercipta karena pengaruh budaya Bali yaitu Tari Bumbung pada saat Laskar Bali (tentara Bali) dari kerajaan Klungkung menguasai daerah Blambangan sekitar abad ke-18.
Pada saat itu Bali menempatkan tentaranya di Kesatriyan, Desa Lemahbang Dewo, Kecamatan Rogojampi, yaitu pada masa Raja Danurejo yang pusat pemertintahannya berada di ibukota Lateng, Rogojampi.
Baca juga: Ribuan Penari Akan Bawakan Tari Gandrung di Festival Banyuwangi
Karena para tentara di Kesatriyan memiliki waktu senggang dan membutuhkan hiburan, pada saat itulah kesenian ini ditampilkan dan membentuk kesenian Gandrung seperti di daerah asalnya.
Pada waktu kesenian ini ditampilkan oleh Paju atau penari laki-laki, banyak masyarakat yang tertarik akan kesenian ini karena termasuk jenis kesenian baru dalam masyarakat Blambangan waktu itu.
“Karena para tentara di Kesatriyan capek dan butuh hiburan, mereka membuat hiburan berupa menari sambil bernyanyi yang ditampilkan oleh paju atau penari laki-laki yang kemudian menarik perhatian dan kekaguman masyarakat karena hiburan tersebut adalah seni baru bagi masyarakat sekitar,” ujar Suhalik.
Baca juga: Harga Paket Open Trip Snorkeling Pulau Menjangan dari Banyuwangi dan Fasilitasnya
Suhalik menambahkan, pada sekitar pertengahan abad ke-17, terjadi pemberontakan dan pergeseran politik. Blambangan ingin melepaskan diri dari Bali dan membentuk koalisi dengan VOC.
Pemberontakan tersebut menyebabkan banyak tentara Bali terusir, salah satunya yaitu inisiator yang membawa Tari Gandrung bernama Ketut Kunto yang menyelamatkan diri ke Dusun Cungking.
Pada waktu tinggal di Dusun Cungking inilah, Ketut Kunto mulai menghidupkan kesenian Gandrung yang pernah di rintisnya di Kesatriyan Rogojampi.
Berdasarkan buku karya Suhalik yang berjudul “Mengenal Sejarah dan Kebudayaan Banyuwangi” halaman 120, penari Gandrung pertama adalah laki-laki, seperti halnya di Kesatriyan Rogojampi dan di antara para penari Gandrung, penari laki-laki yang paling terkenal adalah Marsan.
Baca juga: Nonton Gandrung Sewu di Banyuwangi Bisa Naik Kereta, Ini Rinciannya
Karena memiliki kelebihan dari segi penampilan, Marsan saat dirias dan di pasangkan dengan pakaian wanita membuatnya digandrungi banyak penonton.
Hal tersebut menyebabkan, banyak masyarakat Banyuwangi yang religius ortodoks dengan Islam di beberapa desa menolak kehadiran kesenian Gandrung sebab dianggap menyebabkan budaya Mairil (homoseksual).
Akhirnya pada 1895, dalam perkembangannya, kesenian Gandrung yang awalnya di pentaskan oleh laki-laki pun diganti dengan penari perempuan.
“Pada tahun 1895, Lukinto anak dari Ketut Kunto sang perintis kesenian Gandrung mengubah penari Gandrung yang awalnya dipentaskan oleh penari laki-laki menjadi penari Perempuan,” ujar Suhalik.
Baca juga: Mbok Temu Misti, Maestro Tari Gandrung, Sekarang Pelihara Ayam
Adapun penari Gandrung perempuan pertama adalah Gandrung Semi, anak dari Mak Midah dari Dusun Cungking, yang pernah di datangi Jhon Scolhte, yang menulis tentang Gandrung pertama kali dalam bukunya yang berjudul “Gandung Van Banjoewangi”.
Kesenian Gandrung yang di rintis oleh Ketut Kunto dan dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Lukinto ini mulai berkembang dan mengalami kemajuan yang pesat hingga menyebar ke daerah lain.
Misalnya ke Pancoran, Kemiren, Gendoh, Gambiran, dan menyebar ke seluruh daerah Banyuwangi, sehingga kesenian Gandrung berubah menjadi ikon Banyuwangi, yaitu kota Gandrung.
Samsul Hadi yang menjabat Bupati Banyuwangi pada 2002 mengeluarkan Keputusan Bupati Banyuwangi Nomor 1771/Tahun 2002 yang menjadikan Gandrung sebagai maskot pariwisata kota Banyuwangi. Selain itu dibangun patung Gandrung di Watu Dodol Banyuwangi.
Baca juga: Beli Tiket Kapal Feri Banyuwangi-Bali, Tidak Bisa Online di Depan Pelabuhan
Untuk mengenang jasa Lukinto, maka dalam pakem Tari Gandrung yang terdiri dari Tari Jejer Gandrung, Paju dan Seblang, diciptakanlah Tari Seblang Kunto oleh budayawan Banyuwangi.
Namun Suhalik nbahwa pola Tari Gandrung itu pada awalnya memiliki empat pola tarian.
“Dari hasil penelitian saya yang terbaru, pola tarian pertama yang seharusnya adalah Srimpi atau menari di atas kendi. Tetapi mungkin karena sekarang banyak yang tidak bisa melakukannya jadi hanya menggunakan tiga pola, yaitu Jejer, Paju, dan Seblang Lukinto,” ujar Suhalik.
Ciri Khas
Ciri khas Tari Gandrung dapat dilihat dari tata busana penari dan musik yang mengiringinya.
Busana penari Gandrung berbeda dengan busana tarian tradisional lain dari Jawa, namun memiliki sedikit kesamaan dengan Bali.
Busana penari Gandrung terdiri dari hiasan kepala yang disebut Kuluk atau Omprog yang dibentuk sedemikian rupa dari yang jika dilihat dari depan mirip Kuluk Janger Bali.
Dari samping mirip Kuluk Wayang Orang, dan di bawah melingkar dari telinga kanan ke telinga kiri terdapat runcian (rumbai) dan benang emas, serta laksana rambut dipotong pendek, sedangkan rambut asli penari diikat ke dalam Kuluk.
Penari Gandrung juga memakai selendang yang disampirkan pada bahu kanan dan kiri sama seperti tari Gambyong. Di belakang punggung, kemben yang memanjang selebar tiga jari menutup bagian tengah punggung sampai tengkuk dan di buat dengan benang emas.
Terdapat juga semacam penutup dada mulai dari leher ke bawah sampai batas pinggul yang terbuat dari kain beludru hitam yang lebarnya 25 sentimeter yang dihias dengan benang emas pada tepinya.
Baca juga: Keindahan Alam Maldives ala Indonesia di Pantai Teluk Biru Banyuwangi
Ada juga gambar bunga serta daun melingkar hingga tusuk sate konde yang terbuat dari uang emas talen berbentuk bulan sabit dan uang emas yang disusun sedemikian rupa.
Di pinggul juga terdapat selendang pelangi tiga warna yaitu merah, putih, dan hijau. Selendangnya melingkar di pinggul kanan ke pinggul kiri dan dijepit oleh pending warna perak sebagai ikat pinggang.
Sedangkan, kain yang dipakai yaitu batik tulis yang pada umumnya memiliki dasar putih bunga cokelat atau hitam yang disebut batik Gajah Uling dan digunakan di bawah lutut sedikit agar gerakan penari tidak terhalang kain panjang.
Sementara di kaki, penari menggunakan kaos kaki warna putih panjang sampai ke lutut dan di lengan memakai hiasan berbentuk kupu-kupu atau burung yang terbuat dari kulit warna emas.
Suhalik menjelaskan, untuk alat musik yang digunakan dalam pementasan, di antaranya kendang, gong, dua buah bonang, dua buah biola dan kluncing berbentuk segitiga.
Baca juga: Pelajar Se-Indonesia Belajar Tari Gandrung ke Maestro Tari Banyuwangi