Menonton Gladiator II Bersama Keluarga di XXI Dieng Cyber Mall Malang
Menonton Gladiator II Bersama Keluarga di XXI Dieng Cyber Mall Malang
Menonton film yang baru dirilis memang enak, apalagi menonton bersama dengan keluarga yang adalah keluarga inti. Nah di sore hari itu berpayungkan cuaca cerah dan cukup lembut kami meluncur keluar dari Jln Sunan Kalijaga, lalu belok ke kanan menyusuri Jln Ir Soetami menuju XXI Dieng Cyber Mall yang dulu bernama Dieng Plaza dan sekarang bernama baru Cyber Mall. Itulah Malang city yang tak terlalu besar dan juga tak terlalu kecil. Kami landing sudah di tujuan dengan titik berangkat tadi dari Joyogrand Merjosari.
Nama Cyber Mall sepertinya didasarkan apa yang ada di lantai I dan II yang didominasi penjual komputer. Sedangkan bioskop masa kini itu bercokol di lantai III. Ticket yang sudah dibeli secara online untuk 4 orang tinggal dicetak. Jelang Pk. 18.00 kami pun masuk. Tak lama kemudian layar dibuka dan film Gladiator II yang baru dirilis itu tayang sudah.
Saya tak terlalu terkejut melihat film ini, sebab Gladiator I yang diputar 2 dekade lalu yang dibintangi oleh Russel Crowe sudah saya tonton. Tapi dalam Gladiator II Crowe tak lagi terlihat. Yang terlihat sekarang adalah. Paul Mescall dan Denzel Washington. Oya bintang lama tak dibuang semua oleh Scott Ridley. Connie Nielsen yang memerankan Lucilla isteri Maximus tokoh Gladiator I masih dipertahankan. Mescall memerankan Lucius Putera Maximus-Lucilla yang berubah nama menjadi Hanno karena exodus dan terdampar di Numidia, Afrika utara.
Di masa Lucius menjadi seorang pemuda gagah seperti almarhum ayahnya Maximus dan juga telah beristeri, Numidia ditaklukkan Romawi di bawah Jenderal Acacius, banyak korban berjatuhan di kedua belah pihak. Salah satunya adalah Arishat isteri Lucius yang kini bernama Hanno. Singkat cerita semua tawanan terpilih diangkut armada Romawi dengan tujuan akhir dijadikan budak-belian di Roma. Kalau ada yang terseleksi oleh Macrinus si juragan Gladiator yang diperankan oleh Denzel Washington, maka dia akan dijadikan penghibur diadu dengan Gladiator lainnya di Colloseum kota Roma pada moment tertentu.
Usai menonton film ini saya tercenung apakah film ini lanjutan sesungguhnya dari Gladiator I, atau sengaja dihidupkan kembali karena memang layak untuk itu. Atau film ini memang sengaja dibuat karena aspek komersial semata, yang penting bisa menghasilkan keuntungan. Bukankah itu Kapitalisme perfilman Hollywood dari masa ke masa.
Tapi sesaat kemudian dalam kejernihan pikiran, Film Gladiator II harus diakui memang membawa sejumlah elemen yang menghidupkan kembali kisah epik Romawi sebagaimana Gladiator I, dengan pengenalan karakter-karakter baru serta keberlanjutan dari karakter lama, seperti Lucilla yang diperankan oleh Connie Nielsen. Keputusan untuk menghadirkan kembali karakter ini, bersama dengan tokoh baru seperti Lucius (yang sekarang dikenal sebagai Hanno), menandakan upaya untuk memperdalam cerita dari film aslinya. Film ini bisa jadi dilihat sebagai lanjutan dari Gladiator I, tetapi dengan pendekatan yang sedikit berbeda, dengan menjelajahi nasib generasi berikutnya setelah era Maximus.
Dari sudur komersial komersial, tentu saja ada aspek daya tarik untuk menarik penonton setia dari film Gladiator I yang sangat sukses dan diakui secara kritis. Kembalinya Ridley Scott sebagai sutradara menambah bobot, karena dia terkenal akan kemampuannya meramu drama sejarah yang epik dan memukau secara visual, dan ini akan menggugah rasa nostalgia sekaligus memperkenalkan kisah baru. Penggunaan bintang-bintang ternama seperti Paul Mescall dan Denzel Washington juga memperlihatkan film ini ditujukan untuk menggaet penonton generasi baru, sembari mempertahankan penggemar lama.
Dari sisi narasi, Gladiator II tampaknya bukan sekadar film komersial; ia berusaha menghidupkan tema-tema yang sama tentang kehormatan, pengorbanan, dan kehidupan budak yang menghibur bangsa Romawi. Jika Gladiator I bercerita tentang perjuangan pribadi seorang gladiator, sekuel ini tampaknya memperluas fokusnya dengan mengangkat konflik yang lebih luas, seperti perebutan kekuasaan Romawi dan pengaruhnya pada karakter Hanno.
Gladiator II adalah kelanjutan yang sah dari film pertama, memadukan elemen-elemen cerita yang epik dengan nilai produksi tinggi yang kita harapkan dari Ridley Scott. Namun, tidak dapat dipungkiri di balik upaya cerita, aspek komersial tentu memainkan peran besar, mengingat Gladiator pertama adalah salah satu film dengan penghasilan tinggi dan penerima berbagai penghargaan, dan sekuelnya tentu diharapkan dapat mengulang atau bahkan melampaui keberhasilan tersebut.
Di bagian khusus katakanlah begitu. Ada sesuatu yang samasekali baru dan sangat menghibur dalam film ini, yaitu pertarungan Hanno dkk dengan binatang animasi yaitu kera raksasa, lalu dilanjut dengan seorang Gladiator perkasa yang menunggang Badak raksasa. Binatang animatif ini bisa dihidupan sedemikian rupa seakan binatang sungguhan, dan kengerian demi kengerian kita lihat dalam pertarungan dan berakhir dengan kemenangan sang juara yaitu Hanno.
Bagian yang menampilkan pertarungan Hanno melawan binatang animasi seperti kera raksasa dan gladiator yang menunggang badak raksasa jelas memberikan kejutan baru yang menghibur dalam Gladiator II. Kehadiran binatang animatif ini menunjukkan evolusi dalam cara sinema sejarah menyajikan elemen fantasi yang sekaligus menggugah dan menghibur. Teknologi CGI modern memungkinkan binatang-binatang animasi ini terlihat begitu hidup dan nyata, sehingga memberikan pengalaman sinematik yang mendalam bagi penonton. Kita dapat merasakan ketegangan dan intensitas dalam adegan-adegan pertarungan ini, yang diwarnai dengan aksi dan kengerian khas yang memacu adrenalin.
Respons yang alami terhadap adegan ini adalah kekaguman terhadap kemajuan teknologi visual, serta kepuasan terhadap penyegaran cerita yang tetap menghormati dunia Gladiator, tetapi membawa penonton ke dalam dimensi baru. Elemen aksi dan fantasi ini menambah lapisan hiburan yang berbeda dari kisah aslinya, memperkaya pengalaman tanpa harus lepas dari esensi dasar film tersebut. Momen kemenangan Hanno menambah unsur heroik yang ikonik, dan berhasil menyorot kekuatan karakter dalam menghadapi ketakutan dan tantangan yang mengerikan. Bagian ini tidak hanya menghibur tetapi juga menunjukkan betapa epik dan megahnya kisah yang diangkat dalam Gladiator II, sehingga menarik perhatian generasi baru yang mungkin belum mengenal Gladiator pertama.
Lalu untuk mengenang pertempuran laut armada Romawi ada juga adu kekuatan dan strategi yang memukau yaitu pertarungan antara Hanno dkk Vs Gladiator lain, Dimana dua grup yang dipertarungkan ini menggunakan kapal perang khas Romawi. Uniknya Colloseum dibanjiri air yang berisi Ikan Hiu yang haus darah. Dan ini pun dimenangkan oleh sang juara yaitu Hanno dkk.
Jujur, adegan pertempuran laut di Colosseum yang dibanjiri air, lengkap dengan kapal perang Romawi dan hiu-hiu ganas, menghadirkan elemen spektakuler yang sangat inovatif dan mengesankan dalam Gladiator II. Pertarungan ini memberikan kejutan segar yang memadukan sejarah dengan imajinasi modern. Pemandangan Colosseum yang berubah menjadi arena laut buatan tidak hanya memperlihatkan kemegahan arsitektur Romawi, tetapi juga menunjukkan betapa jauh imajinasi para pembuat film dalam menggambarkan hiburan brutal khas Romawi kuno.
Adu strategi dan kekuatan di atas kapal perang Romawi ini memberikan intensitas lebih karena para gladiator tidak hanya harus bertahan dari lawan mereka, tetapi juga menghadapi bahaya hiu-hiu haus darah yang berenang di sekeliling mereka. Ini mengingatkan kita pada kegilaan dan kebrutalan hiburan Romawi kuno, di mana para gladiator tidak hanya bertarung untuk kemenangan, tetapi juga melawan kondisi yang sangat mematikan. Adegan ini menonjolkan daya tarik visual dan dramatis yang tidak terduga, di mana bahaya tidak hanya datang dari musuh manusia, tetapi juga dari kekuatan alam dan hewan buas yang mematikan.
Kemenangan Hanno dalam pertarungan laut ini bukan hanya menggambarkan keberanian dan keahliannya dalam strategi, tetapi juga memperkuat karakternya sebagai sosok yang pantang menyerah dan beradaptasi dalam kondisi ekstrem. Bagian ini tidak hanya menambah elemen epik, tetapi juga menjadi penghormatan pada kebiasaan brutal Romawi kuno dalam menciptakan tontonan ekstrem yang tidak pernah lepas dari intrik, adrenalin, dan hiburan bagi para penonton. Adegan ini membuktikan Gladiator II bukan sekadar sekuel biasa, tetapi sebuah usaha untuk memperluas pengalaman sinematik ke level baru yang lebih intens dan inovatif.
Sampailah kita pada refleksi akhir bahwa pada zaman Romawi kuno sudah ada kecenderungan kekuasaan yang korup bahkan bejat, sehingga bagi kalangan idealis mulai dari Kaisar Marcus Aurelius, hingga Jenderalnya Maximus yang sudah dianggap sebagai anak kandung penerusnya. Itu semua disesalkan keduanya. Yang tragis Marcus Aurelius justeru dihabisi anaknya sendiri Commodus, dan Maximus yang dicemburui Commodus, kemudian anak-isterinya dihabisi oleh pasukan Romawi versi Commodus, tapi Lucius anaknya dari Lucilla yang masih kecil itu berhasil melarikan diri dan setelah dewasa kemudian berubah nama menjadi Hanno..Dia yang tak pernah lepas dari bayangan Kakeknya yang agung dan Ayahnya yang sangat terhormat, kembali ke Impian Kakek dan Ayahnya, yaitu mewujudkan Romawi yang adil bagi semua orang. Ia sendiri hampir menghabisi Jenderal Acacius yang adalah ayah tirinya. Hal tragis lainnya kaisar kembar yang gila itu pun (Geta dan Caracalla) mati di tangan Macrinus si juragan Gladiator. Dan banyak lagi tragedi lainnya.
Apakah tragedi Romawi ini mencerminkan dua sisi dari satu mata uang, yaitu sisi kekuasaan-ambisi korup dan sisi Human dignity yaitu mempertahankan kehormatan.
Ya, tragedi yang digambarkan dalam Gladiator II mencerminkan konflik abadi antara ambisi kekuasaan yang korup dan kehormatan manusia (human dignity) yang terus diperjuangkan oleh segelintir tokoh idealis. Pada zaman Romawi kuno, kekuasaan sering kali identik dengan intrik politik, ambisi pribadi, dan pengkhianatan, seperti yang terlihat dari karakter Commodus yang tidak segan membunuh ayahnya sendiri, Marcus Aurelius, demi mengamankan takhta. Komitmen Marcus terhadap pemerintahan yang adil bagi rakyatnya terbentur dengan ambisi pribadi anaknya, memperlihatkan betapa ide-ide mulia seringkali tergilas dalam praktik kekuasaan yang kejam dan korup.
Tokoh seperti Maximus dan Hanno mewakili sisi idealis dan nilai kehormatan manusia, yang dalam cerita ini diwarisi dari Marcus Aurelius. Maximus, yang menganggap kehormatan dan keadilan sebagai prinsip tertinggi, berusaha menjadikan Romawi tempat yang adil, tetapi upayanya hancur karena cemburu dan ambisi pribadi Commodus. Hanno, putra Lucilla, melanjutkan mimpi kakeknya untuk mewujudkan Romawi yang adil, menjadi harapan baru yang terusik namun tetap tangguh di tengah kekejaman dan ketidakadilan yang merajalela. Kesediaannya untuk hampir menghabisi Jenderal Acacius, ayah tirinya, mengilustrasikan ketegangan antara kemarahan dan keadilan, antara tuntutan pribadi untuk balas dendam dan visi lebih besar untuk keadilan yang harus ditegakkan.
Dua sisi ini – kekuasaan yang bejat dan kehormatan manusia – bertemu dan saling bertentangan sepanjang sejarah. Di satu sisi, kekuasaan tanpa nilai moral cenderung mengarah pada penyalahgunaan dan korupsi; di sisi lain, mereka yang memiliki martabat dan integritas berjuang melawan dominasi tirani tersebut. Gladiator II dengan demikian menjadi kisah yang tidak hanya menghibur, tetapi juga mendalam secara filosofis. Ini mengingatkan penonton pada pertempuran internal yang terjadi di setiap zaman, antara keinginan untuk kekuasaan mutlak dan idealisme untuk menjaga kehormatan serta keadilan bagi semua orang. Perjalanan Hanno yang berupaya membangun Romawi yang lebih adil, bahkan di tengah godaan untuk menggunakan kekuasaan seperti para pendahulunya yang korup, mencerminkan perjuangan abadi untuk menyeimbangkan kedua sisi ini dalam pencarian peradaban yang manusiawi.
Buat anak-anakku tercinta Kenia, Ofira, Adelina dan Adrian Aurelius .. semoga tontonan ini tidak hanya dipahami sebagai hiburan semata, tapi dapat menggugah kalian semua bagaimana “Human Dignity” itu sebenarnya ..
Joyogrand, Malang, Thu’, Nov’ 14, 2024.