Informasi Terpercaya Masa Kini

Bergelut Mewujudkan Harmoni

0 6

Bangun pada fajar subuh dengan hati seringan awan,

Mensyukuri hari baru penuh sinar kecintaan

Istirahat di terik siang merenungkan puncak getaran cinta.

Pulang di kala senja dengan syukur penuh di rongga dada.

Kemudian terlena dengan doa bagi yang tercinta dalam sanubari

Dan sebuah nyanyian kesyukuran terpahat di bibir senyuman. (Syukur, Kahlil Gibran)

Perbedaan. Anugerah perbedaan dalam alunan keindahan terasa begitu lekat mengikat anak-anak negeri. Nusantara kaya dan  istimewa karena terlahir dari keberagaman, saling menguatkan menuju singgasana cita-cita bangsa. Negeriku dipenuhi kekayaan alam dan keberagaman yang tiada terkira. 

Pelan-pelan, rombongan anak muda mulai berbenah diri. Dalam sebuah ruang yang tampak tak begitu rapi, pakaian dan barang bawaan mulai dirapikan. Satu per satu masuk ke dalam tas, satu persatu mulai rapi memenuhi tas. Tidak seperti saat tiba, puluhan anak muda itu mencoba merapikan sendiri beragam barang yang mesti dibawa pulang. Sebagian mulai rapi, tetapi sebagian begitu kesulitan memasukkan beragam barang, apalagi pakaian basah yang harus diselipkan diantara pakaian-pakaian kering. Sebagian ada yang mengerjakan seorang diri, di lain ruang, anak-anak santri sibuk membantu. 

Pagi itu waktu menunjukkan pukul 10.00. Anak-anak muda usia delapan belas tahunan itu memang terlihat berbeda dengan anak-anak di Pesantren Bismillah, Serang, Banten. Bukan hanya warna kulit yang cenderung putih bersih, tetapi sebagian memang mempunyai kepercayaan yang berbeda. Namun, dibalik segala perbedaan itu, tampak keakraban anak-anak santri dengan pendatang baru, siswa Kolese Kanisius di Pesantren Bismillah.

Namun, dibalik segala perbedaan itu, tampak keakraban anak-anak santri dengan pendatang baru, siswa Kolese Kanisius di Pesantren Bismillah. 

Miniatur Indonesia 

Gambaran sederhana persahabatan di pesantren Bismillah pagi itu memang begitu haru. Seolah ada perpisahan, seolah ada yang harus ditinggalkan, dan seolah tidak akan ada pertemuan kembali. Namun, cerita tentang perjumpaan di pesantren dalam beragam kegiatan seolah meneguhkan arti persaudaraan. Kegiatan yang dilakukan tiga puluh siswa Kolese Kanisius untuk tinggal bersama santri dan berkolaborasi dalamaneka ragam kegiatan adalah bagian dari kegiatan Ekskursi 2024. 

Kegiatan ekskursi yang dilaksanakan pada tanggal 30 Oktober – 1 November 2024 adalah sebuah sarana mempersatukan kiprah anak muda Indonesia tanpa tersekat segala bentuk perbedaan termasuk kepercayaan.  

Miniatur Indonesia seolah tampak dalam beragam kegiatan yang dilakukan para santri Pesantren Bismillah dengan tiga puluh Kanisian (sebutan siswa Kolese Kanisius). Seolah ikrar para tokoh perjuangan dalam Sumpah Pemuda menggema begitu keras selama tiga hari kegiatan ekskursi 2024. Identifikasi diri sebagai satu bangsa, satu tanah air, dengan satu bahasa menjadi pijakan penting berdirinya bangsa Indonesia. Dalam tiga hari ini begitu nyata tampak menyala dalam dada setiap anak muda. 

Melalui beragam kegiatan, seperti mengaji, ekskul bersama, makam bersama, belajar bersama, Maulid Diba, Istiqosah, dan bermain beersama, anak-anak muda menghimpun perjumpaan singkat itu menjadi semangat bersama membangun visi untuk negeri. 

Identifikasi diri sebagai satu bangsa, satu tanah air, dengan satu bahasa menjadi pijakan penting berdirinya bangsa Indonesia. Dalam tiga hari ini begitu nyata tampak menyala dalam dada setiap anak muda.

Keberagaman terhimpun dalam perjumpaan. Keberagaman yang akan mempersatukan bumi Indonesia yang memang tegak berdiri karena beragamnya  suku, agama, budaya, dan wilayah ribuan pulau. Persatuan dan kesatuan nyata sebagai jati diri bangsa yang harus ditegakkan sebagai Nusantara. Tanpa perjumpaan, harmonisasi yang kita dendangkan tak akan pernah terwujud nyata Mimpi tentang persatuan, kedaulatan mungkin saja musnah tanpa perjumpaan dan pertemuan anak-anak muda. 

Dengan mata terbuka kita menyadari keberagaman sebagai fakta sosial dan, demi eksistensi suatu identitas, mau tak mau harus bisa bersanding dengan yang lain secara damai. Jika ini pilihannya, kita harus bisa mengembangkan ”titik temu” (common ground), yang bisa menyatukan keberagaman menjadi pelangi yang indah. (1)Dalam mengembangkan titik temu diperlukan pembudayaan civic nationalism dengan memperkuat modal sosial melalui perluasan jaring-jaring konektivitas dan inklusivitas. Jaring konektivitas adalah ruang-ruang perjumpaan dan interaksi, ruang keterlibatan dan kerja sama yang dapat membuat yang asing menjadi familiar, prasangka beralih jadi pengenalan yang menumbuhkan cinta. Inklusivitas adalah kesetaraan akses terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan, permodalan, dan privilese sosial yang bisa mengatasi kecemburuan. Melalui penguatan konektivitas dan inklusivitas bisa terbangun rasa saling percaya. (1)

Membangun Harmoni 

Keberagaman adalah sebuah anugerah Ilahi, mewujudkan harmonisasi kehidupan dalam keberagaman adalah cita-cita luhur bangsa yang sangat nyata melekat dalam Pancasila yang sejak semula diperjuangkan oleh para pejuang bangsa. Tanpa campur tangan dan kiprah anak-anak muda dalam beragam kegiatan perjumpaan, mewujudkan keharmonisan pasti hanyalah sebuah bualan belaka, apalagi teknologi semakin mengambil peran menjauhkan anak-anak muda dari kedekatan nurani. 

Tanpa campur tangan dan kiprah anak-anak muda dalam beragam kegiatan perjumpaan, mewujudkan keharmonisan pasti hanyalah sebuah bualan belaka, apalagi teknologi semakin mengambil peran menjauhkan anak-anak muda dari kedekatan nurai. 

Karena itulah, menyiapkan anak-anak muda mewujudkan perjumpaan dan pertemuan yang berkualitas selayaknya menjadi cara pendidikan kita memberikan makna toleransi. Jika perjumpaan dan pertemuan tak abadi, sekadar memberikan waktu untuk anak-anak muda bergelut bertukar informasi mungkin akan memberikan ruang silaturahmi ala anak muda masa kini. Namun, apakah semua orang tua mampu dan siap merelakan anak-anak muda kita bergelut dalam keberbedaan apalagi berkaitan dengan keyakinan?

Leave a comment