Informasi Terpercaya Masa Kini

Pengacara Tom Lembong: Kebijakan Impor Gula saat Kondisi Darurat, Tak Terima Fee

0 2

Mantan Menteri Perdagangan RI Thomas Trikasih Lembong atau akrab disapa Tom Lembong ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait dugaan korupsi importasi gula.

Duduga, kebijakan Lembong dalam memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah (GKM) kepada pihak swasta yang kemudian diolah menjadi gula kristal putih (GKP) berimbas kepada kerugian negara Rp 400 miliar.

Pengacara Tom Lembong, Ari Yusuf Amir, menekankan bahwa kebijakan impor gula tersebut dikeluarkan lantaran kondisi kedaruratan.

“Sampai saat ini, kan, kita sama-sama ketahui bahwa apa yang dilakukan oleh Pak Tom itu merupakan satu kebijakan yang betul-betul merupakan kondisi kedaruratan pada waktu itu. Kondisi kedaruratan pada waktu itu demi untuk kepentingan nasional,” ujar Ari saat dihubungi, Kamis (31/10).

Ia menjelaskan, bahwa kebijakan yang diambil Tom Lembong selaku Menteri Perdagangan 2015–2016 juga telah melalui prosedur yang baku dan berjenjang.

“Dan kebijakan itu pun diambil secara berjenjang. Melalui prosedur yang baku, yang resmi dari bawah sampai ke atas dan itu juga sudah dilaporkan. Baik itu kepada Menko [Perekonomian] maupun kepada atasan Pak Tom yang itu Presiden pada waktu itu,” jelas dia.

Menurut Ari, kebijakan itu diambil lantaran berkaitan dengan tugasnya sebagai menteri. Ia pun menyebut bahwa saat mengeluarkan kebijakan itu juga tidak ada permasalahan.

“Dan pasti semua kebijakan-kebijakan yang diambil sudah dilaporkan kepada atasannya. Dan pada saat itu tidak ada permasalahan,” paparnya.

Lebih lanjut, Ari menegaskan bahwa kliennya juga tak menerima fee maupun keuntungan pribadi dari kebijakan impor gula tersebut.

“[Kebijakan impor] betul-betul merupakan tugas dia sebagai seorang menteri melaksanakan itu. Jadi, tidak ada hal-hal yang tercela yang dilakukan oleh Pak Tom pada saat mengambil kebijakan tersebut,” ucap Ari.

“Tapi, yang sudah kita bisa pastikan bahwa Pak Tom tidak mendapatkan keuntungan apa pun dari kebijakan tersebut. Pak Tom tidak menerima fee apa pun dan keuntungan dalam bentuk apa pun terhadap proses tersebut,” sambungnya.

Lebih lanjut, Ari berharap Kejagung menjalankan penyidikan kasus ini secara transparan dan akuntabel. Pihak Tom bakal menghormati seluruh proses hukum yang dilakukan oleh Kejagung dalam pengusutan perkara tersebut.

“Kita masih percaya kepada proses penegakan hukumnya yang benar, yang baik. Selama proses penegakan hukum itu benar dan baik, kita akan hormati dan kita akan jalani,” pungkas dia.

Izin Importasi Gula

  • Importasi 2015

Berdasarkan penuturan dari pihak Kejagung, pada 2015 terdapat rapat koordinasi antar kementerian yang telah menyimpulkan Indonesia surplus gula sehingga tidak perlu impor.

Namun, pada tahun yang sama, Tom Lembong selaku menteri diduga mengizinkan persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105 ribu ton kepada perusahaan PT AP. Kemudian gula kristal mentah itu diolah menjadi gula kristal putih.

Padahal, untuk memenuhi kebutuhan gula kristal putih hanya BUMN yang boleh mengimpor, bukan swasta. Izin itu diduga dikeluarkan tanpa rapat koordinasi dengan instansi terkait.

  • Importasi 2016

Kemudian, pada 28 Desember 2015, dilakukan rapat koordinasi di Kementerian Bidang Perekonomian yang dihadiri kementerian di bawah Kemenko Perekonomian. Salah satu yang dibahas yakni Indonesia pada 2016 kekurangan gula kristal sebanyak 200 ribu ton dalam rangka stabilisasi harga gula dan pemenuhan stok gula nasional.

Pada November-Desember 2015, Charles Sitorus selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI (Perusahaan Perdagangan Indonesia –BUMN), memerintahkan staf senior manager bahan pokok PT PPI atas nama P untuk melakukan pertemuan dengan 8 perusahaan swasta yang bergerak di bidang gula.

Perusahaan gula swasta yang dimaksud yakni PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, dan PT MSI. Pertemuan terjalin sebanyak empat kali.

Pertemuan itu, guna membahas rencana kerja sama impor Gula Kristal Mentah yang diolah menjadi Gula Kristal Putih. Pihak Kejagung menyebut pembahasan itu atas sepengetahuan Direktur Utama PT PPI saat itu.

Kemudian Januari 2016, Tom Lembong menandatangani Surat Penugasan kepada PT PPI untuk melakukan pemenuhan stok gula nasional dan stabilisasi harga gula. Hal itu melalui kerja sama dengan produsen gula dalam negeri untuk memasok atau mengolah Gula Kristal Mentah menjadi Gula Kristal Putih sebanyak 300.000 ton.

Lalu, PT PPI ini membuat perjanjian kerja sama dengan delapan perusahaan gula swasta ditambah satu perusahaan swasta lainnya yaitu PT KTM.

“Meskipun seharusnya dalam rangka pemenuhan stok gula dan stabilisasi harga, yang diimpor adalah GKP (gula kristal putih) secara langsung, dan yang dapat melakukan impor tersebut hanya BUMN (PT PPI),” kata Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar dalam keterangannya 29 Oktober 2024.

“Atas sepengetahuan dan persetujuan Tersangka TTL (Tom Lembong), Persetujuan Impor GKM ditandatangani untuk sembilan perusahaan swasta,” sambung Harli.

Menurut Kejagung, seharusnya untuk pemenuhan stok dan stabilisasi harga yang diimpor adalah Gula Kristal Putih secara langsung. Selain itu, Persetujuan Impor dari Kementerian Perdagangan diterbitkan tanpa rekomendasi dari Kementerian Perindustrian dan tanpa rapat koordinasi dengan instansi terkait.

Ditambah lagi, kedelapan perusahaan swasta yang mengolah GKM menjadi GKP memiliki izin industri sebagai produsen Gula Kristal Rafinasi (GKR) yang diperuntukkan bagi industri makanan, minuman, dan farmasi.

Setelah delapan perusahaan swasta tersebut mengimpor dan mengolah Gula Kristal Mentah menjadi Gula Kristal Putih, PT PPI seolah-olah membeli gula tersebut, padahal gula tersebut dijual oleh perusahaan swasta ke masyarakat melalui distributor dengan harga Rp 16.000/kg, lebih tinggi dari Harga Eceran Tertinggi Rp 13.000/kg.

“Dari pengadaan dan penjualan GKM yang diolah menjadi GKP, PT PPI mendapatkan fee dari delapan perusahaan yang mengimpor dan mengolah GKM sebesar Rp 105/kg,” ucap Harli.

“Kerugian negara yang timbul akibat perbuatan tersebut senilai kurang lebih Rp 400 miliar, yaitu nilai keuntungan yang diperoleh delapan perusahaan swasta yang seharusnya menjadi milik negara/BUMN (PT PPI),” sambungnya.

Di sisi lain, saat dikonfirmasi terpisah apakah Tom Lembong menerima fee atau aliran dana atas dugaan korupsi tersebut, pihak Kejagung menyebut masih mendalaminya.

“Apakah harus ada aliran dana dulu, baru disebut sebagai tindak pidana korupsi?” kata Harli kepada wartawan di kantornya, Kamis (31/10).

Leave a comment