Hanya di Indonesia Teh Diminum Sembarang Waktu, di Luar Sana Banyak Aturannya
Sore-sore, ngeteh, ditemani sepiring kudapan, rasanya enak tenan. Hati tenang, otak pun jadi ringan. Di luar Indonesia, benarkah ngeteh banyak aturannya?
Artikel ini digubah dari artikel Dharnoto di Majalah Intisari dengan judul “Minum Teh Sebuah Misteri Dunia”, tayang Desember 2005
—
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
—
Intisari-Online.com – Jangan anggap enteng tradisi minum teh. Di Indonesia teh memang bisa diminum kapan saja dan di mana saja. Tapi beda kasus kalau sudah di Jepang, Inggris, Korea, atau Belanda. Lebih ribet.
Tapi satu yang jelas, di mana-mana, teh diperlakukan istimewa. Karena khasiatnya membikin terang pikiran, teh seduh diandalkan dalam pembicaraan bisnis, mengobrol ringan, atau meditasi. Di banyak tempat, teh adalah minuman persahabata–barangkali karena perasaan damai yang ditimbulkan setelah menyesapnya.
Versi China atau versi Jepang?
Ada beberapa versi tentang asal-usul teh. Pertama dari China, tepatnya China sekitar 2737 Sebelum Masehi. Ketika itu Kaisar Shen Nung sedang jalan-jalan dalam rangka meninjau perkebunan yang letaknya agak jauh dari istananya.
Kaisar satu ini memang terkenal sebagai sosok yang mencintai khasiat dedaunan, tak heran bila julukannya Bapak Tanaman Obat Tradisional Cina. Setelah lelah berkeliling, dia beristirahat di tepi jalan. Para pelayan buru-buru merebus air di kuali untuk minum, di bawah sebatang pohon.
Entah dari mana datangnya, mungkin dari surga, tiba-tiba angin bertiup kencang, sampai-sampai menerbangkan dedaunan kering dari pohon setinggi 9 m itu. Beberapa di antara dedaunan itu jatuh ke kuali berisi air mendidih. Para pelayan kaget, air ternyata berubah menjadi cokelat warnanya.
Dengan tenang—karena yakin tak mungkin daun mengandung racun—sang kaisar bijak menyeruput air kecoklatan itu. Aduh, enak tenan ternyata, badan jadi seger kemringet. Tak ketinggalan, seisi rombongan diajak menikmati kesegaran minuman misterius itu.
Pelayan dan pengawal pun diinstruksikan memetik dan membawa daun pohon itu secukupnya ke istana. Kemudian setiap siang menjelang sore, Kaisar Shen Nung minta dibuatkan minuman hangat segar yang dinamai tay itu.
Melengkapi legenda teh di Negeri Naga, pada tahun 780, Lu Yu, seorang cendekiawan negeri itu, mengumpulkan seluruh temuan tentang manfaat daun teh. Dia lalu membukukan temuan-temuan itu dalam sebuah literatur Chia Ching (The Classic of Tea), yang mengupas beragam cara menanam teh dan pengolahannya.
Kalau yang ini versi Jepang. Sekira tahun 520, Daruma, seorang pendeta Buddha, tengah bertapa. Entah kenapa, di saat bersemadi dia tertidur. Begitu terjaga, dia sangat marah pada diri sendiri, mengapa bisa tertidur saat bertapa?
Agar pengalaman memalukan itu tak terulang, dia pun memotong kedua kelopak matanya. Lalu dilempar ke sekitar tempatnya bertapa. Tak berapa lama, aneh bin ajaib, dari tempat jatuhnya kelopak mata itu tumbuhlah pohon yang di kemudian hari dinamai pohon teh.
Agaknya, legenda Daruma pula yang mengilhami pendeta Buddha Zen, Yeisei, untuk memperkenalkan upacara minum teh di Jepang. Bahkan nilai yang dikandung upacara itu dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas meditasi. Memang pada akhirnya, para penganut aliran Zen terbiasa mereguk teh agar bisa tetap terjaga selama meditasi berjam-jam.
Tentu saja, berita itu cepat menyebar. Pihak istana kekaisaran justru mendukung, sehingga tradisi minum teh menular di kalangan kerajaan dan seluruh biara. Yeisei mau tak mau dianggap Bapak Teh di Jepang.
Bikin hangat dunia
Dari China, bagaimana teh akhirnya “menguasai” dunia? Jawabannya adalah Jalur Sutra. Jalur ini digunakan Dinasti Han, Tang, Song, dan Yuan untuk memperkenalkan teh ke luar Negeri Tirai Bambu. Selain jalur perdagangan, jalur legendaris ini lama dikenal sebagai pintu gerbang pertukaran budaya.
Alhasil, teh mengalir masuk ke Eropa berkat Jasper de Cruz. Misionaris Portugis ini pada 1560 membawa teh masuk ke Portugal. Dari sini langsung merambat cepat ke Prancis, Belanda, dan negara-negara Baltik.
Sayang, karena dibawa lewat laut, harganya pun masih mahal. Baru seabad kemudian bisa dengan gampang dibeli di toko-toko dengan harga terjangkau.
Negeri di Eropa yang juga memiliki tradisi minum teh, yakni Inggris, mengenal teh justru agak terlambat. Baru tahun 1644 East India Company (EIC), perusahaan dagang Inggris di bawah pemerintahan Ratu Elizabeth I, membuka cabang di Xiamen, Cina.
Sejak itu, kehangatan dan aroma segar teh seduh mulai merasuki budaya bangsa Inggris.
Bahkan konon sejak 1652, minuman ini jadi minuman nasional lantaran Raja Charles XI dan istrinya Catherine de Braganza amat menyukainya. Bertahun-tahun kemudian, yakni pada 1669, EIC memperoleh lisensi mengangkut teh dari Cina ke Inggris. Monopoli ini berlangsung hingga 1883.
Kemudian, tahun 1720, bangsa Inggris membawa kesegaran minuman teh ke negeri koloninya, Amerika Serikat (AS). Namun, mengalirnya teh ke AS mencatat peristiwa menarik. Pada 1773, EIC memperoleh hak menjual teh langsung dari Cina ke AS.
Namun, eksportir Eropa dan importir AS jadi tertohok, sebab hak itu membuat jalur perdagangan dan perpajakan jadi terpotong. Tentulah kelancangan Inggris ini membuat gondok dan melahirkan rasa antipati.
Ketika kapal Inggris merapat di Pelabuhan Boston, penduduk kota itu meledak marah, lalu spontan menaiki kapal, dan membuang semua peti berisi teh ke dalam laut.
Peristiwa ini dikenang sebagai Boston Tea Party, yang memicu meletusnya revolusi bangsa AS terhadap penjajahan Inggris. Bayangkan, teh bisa menjadi penyulut pemberontakan.
Masuknya teh ke Indonesia cukup unik. Dr. Andreas Clever, seorang Belanda, tahun 1686 membawanya ke Batavia sebagai tanaman hias (sumber lain menyebut teh masuk Hindia Belanda tahun 1690, bahkan ada yang menengarai pedagang Cina membawanya pada abad ke-12).
Pemerintah Belanda tertarik, lalu pada 1728 mengimpor biji teh dari Cina untuk dibudidayakan di Pulau Jawa.
Awalnya, usaha ini kurang berhasil. Untung ada Dr. Von Siebold, ahli bedah tentara Hindia Belanda yang pernah melakukan penelitian alam di Jepang. Tahun 1824, ia memelopori budidaya teh dengan bibit dari Jepang. Ternyata tanahnya cocok, yakni pada ketinggian 200 – 2.000 m dari atas permukaan laut, dan suhu 14 – 25′ C.
Usaha ini merangsang Jacobson untuk membuka perkebunan teh pada tahun 1828. Di perkebunan itu tanaman dijaga pertumbuhannya (dipotong) agar tingginya tak lebih dari 1 m, untuk memudahkan pemetikan pucuk daun mudanya.
Lantaran minuman seduh itu mampu menyihir dunia dan menjadi komoditas pemerintah Hindia Belanda, maka Gubernur Jenderal van Den Bosch memasukkan teh sebagai salah satu yang harus ditanam oleh rakyat dalam politik Tanam Paksa (Culture Stelsel).
Ngeteh sore
Tanaman teh (Camellia sinensis) memang akhirnya memperkaya budaya dunia. Setelah dibuat minuman hangat, lalu dinikmati kesegarannya oleh lebih dari satu orang pada suatu ketika, suasana yang dibangkitkan dari aromanya pun menebarkan rasa damai, santai, dan bersahabat.
Di Inggris dikenal high tea, budaya minum teh di sore hari, sembari mengobrol ngalor ngidul, menunggu waktu makan malam. Konon, kebiasaan ini mengadopsi tradisi keluarga kerajaan Inggris yang sering leha-leha sore di taman, menikmati segarnya secangkir teh.
Selanjutnya, kaum aristokrat Inggris mempopulerkan afternoon tea, arena kumpul bareng, sambil bergunjing, baik soal politik maupun sekadar bergosip ringan. Kebiasaan ini agaknya semakin luas penggemarnya, sehingga bertahan lama sampai sekarang.
Ada yang memilah gaya Asia dan gaya Eropa dalam hal mencapai kepuasan menyeruput teh. Namun, perbedaan kedua gaya itu hanyalah pada penggunaan pemanis. Bangsa Asia lebih suka tanpa gula, sehingga rasanya agak pahit.
Mereka meredam rasa sepet itu dengan penganan manis sebagai kudapan. Sedang bangsa Inggris lebih kreatif memberi nuansa berbeda pada setiap sajian, misal dicampur mawar, melati, dan chamomile (sejenis aster mungil dikeringkan, beraroma wangi lembut).
Sementara kebanyakan bangsa Eropa menambahi teh dengan gula atau krim.
Berebut tua
Di antara sesama bangsa Asia, Jepang dan Korea ternyata memperdebatkan tradisi minum teh. Sado, tradisi minum teh yang dipelopori pendeta Yeisei, pendiri aliran Rinzaishu, diyakini bangsa Jepang telah berlangsung berabad-abad sebagai bagian upacara Buddha Zen.
Namun, bangsa Korea bersikeras, dado mereka lebih tua. Mereka ngotot, budaya minum teh itu diserap dari India sebelum ditularkan ke Jepang. Mereka berpegang pada artefak abad keempat dan ketujuh yang ditemukan di berbagai tempat di Korea.
Memang, di Korea dado yang dianggap ritual persembahan teh untuk menghormati sang Buddha, memposisikan teh sebagai benda berharga. Antara lain, untuk menyambut tamu dan di masa lalu, ikut menentukan derajat keluarga bangsawan.
Bahkan di kuil-kuil minum teh diibaratkan meditasi, menyertakan seluruh panca indera dalam merasai setiap hirupan teh.
Sebagai bagian dari tradisi, teh diminum sesuai tata cara. Mula-mula, dalam suatu upacara minum teh, teh dituangkan sedikit ke setiap cangkir. Selama menunggu semua cangkir terisi lalu mendapat giliran kedua pengisian cangkir, rasa, warna, dan aroma teh di dalam setiap cangkir akan semakin kuat.
Kemudian teh hangat diseruput dalam tiga tegukan. Setiap tegukan teh dikulum sejenak dalam mulut, agar rasanya bisa lebih dinikmati. Rasa hangat yang menyebar ke seantero tubuh, alamak, menyegarkan dan meruapkan rasa damai. Mungkin karena itu, teh belum pernah terdengar dipakai untuk pesta narkoba atau mabuk-mabukan.
Bagaimana teh ala kaum jetset Jakarta?
Misteri teh sebagai minuman beraura persahabatan agaknya juga disadari memiliki nuansa bisnis. Terbukti, berbagai kafe yang terletak di hotel berbintang dan plaza kelas menengah atas di Jakarta juga menyertakan minuman teh dalam daftar menu mereka.
Ragam sajiannya juga banyak, sebutlah Black Darjeeling, Earl Grey, Chinese Green Tea, Green Tea Jasmine, Green Tea Orange, Fruit Delight Tea, Lemon Ice Tea, Peppermint Tea, Refreshing Tea, Lime Flower, aneka Pickwick Tea, Herbal Tea, Chamomile, dan masih bermacam lainnya.
Itu pun masih ditemani kudapan kecil rasa manis yang habis dalam satu atau dua gigitan.
Ada juga yang meramu resep baru dengan rasa dan aroma baru, seperti Morrocant Mint, Lavender Mint, Ice Tea Lemonade Twist, dan Ginger Green Tea. Malah ada yang rasanya lebih ekstrem, misalnya Massala Tea, teh hitam dari India dimasak dengan susu lalu ditambah dengan campuran cinnamon, jahe, kapulaga, dan cengkih. Rasanya? Bayangkanlah sendiri.
Di lobby lounge hotel kelas atas, yang biasanya ditaburi kalangan pebisnis, ekspatriat, profesional, bahkan ibu-ibu arisan, high-tea juga biasa disajikan. Secangkir teh itu dijadikan sebagai pencair suasana saat mengobrol riang, bicara serius, atau bisik-bisik.
Begitulah, teh telah mengubah dunia, memperkaya budaya, dan mempengaruhi perilaku manusia. Teh, sebagian dari misteri dunia tumbuhan.