Blangkon Yogyakarta: Sejarah, Jenis, Filosofi, dan Bedanya dengan Blangkon Solo
KOMPAS.com – Blangkon adalah sebutan untuk penutup kepala tradisional yang digunakan pria sebagai pelengkap pakaian adat Jawa atau Jawa Jangkep.
Terdapat beberapa versi asal-usul penyebutan blangkon, salah satunya berasal dari istilah blangko yang berarti mencetak kosong, merujuk pada pada jenis kain iket yang telah dicetak.
Baca juga: Mengenal Abdi Dalem Keraton Yogyakarta: Tugas, Pangkat, Pengangkatan, hingga Pemberhentian
Ada juga yang menyebut bahwa penyebutan blangkon berasal dari sebuah kata dalam bahasa Belanda yaitu blanco yang berarti sesuatu yang siap pakai.
Hal ini karena sebelumnya penutup kepala yang biasa digunakan berupa ikat kepala yang harus diatur dahulu saat hendak dikenakan.
Baca juga: Kisah Kinahrejo, Kampung Sang Juru Kunci yang Luluh Lantak Akibat Erupsi Merapi 2010
Lebih lanjut, biasanya blangkon terbuat dari kain batik atau kain lurik yang dibentuk sedemikian rupa sesuai pakem atau aturan penggunaannya.
Pakem atau aturan dalam pembuatan blangkon tidak hanya terkait dengan bentuk atau gaya saja, namun terkait juga dengan filosofi bagian-bagiannya.
Sehingga pada masa lalu, pembuatan blangkon hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu yang memang menjadi keahliannya.
Baca juga: Sejarah Keraton Yogyakarta dan Pemilihan Lokasinya
Blangkon sempat menjadi bagian dari pelengkap pakaian sehari-hari yang kemudian mulai tergeser oleh perkembangan zaman.
Saat ini, blangkon masih dikenakan oleh keluarga kerajaan dan abdi dalem di lingkungan Keraton Yogyakarta.
Blangkon juga menjadi pelengkap dari baju gagrak Yogyakarta yang dikenakan setiap Kamis Pon oleh ASN dan pelajar di DIY ketika beraktivitas.
Sementara wisatawan juga kerap menjadikan blangkon sebagai buah tangan yang dapat dibeli di sekitar tempat wisata, seperti di kawasan Malioboro dan Pasar Beringharjo.
Sejarah Blangkon Yogyakarta
Dikutip dari laman Kemendikbud, asal-usul blangkon dapat ditelisik dari berbagai lisan, mitologi, babad, maupun sastra tulis.
Pengenaan ikat kepala, berbentuk serban (sorban atau surban) sudah dikenali sejak Hikayat Aji Saka.
Dalam hikayat tersebut, disebut adanya pendatang yang mengenakan kain penutup kepala (serban) sebagaimana tradisi asalnya (masyarakat Keling, India).
Sehingga, Aji Saka yang diyakini sebagai cikal bakal pengembang peradaban di Jawa menjadi salah satu yang disebut-sebut sebagai sumber asal-usul blangkon.
Sementara ragam variasi gaya blangkon berkembang seiring berjalannya waktu.
Seperti munculnya perbedaan blangkon gaya Yogyakarta dengan blangkon gaya Solo yang terjadi pasca Perjanjian Giyanti.
Setelah Perjanjian Giyanti terjadi revolusi budaya yang menyebabkan Pakubuwono III dari Keraton Surakarta membuat beragam blangkon.
Sementara blangkon gaya Yogyakarta mempertahankan bentuknya yang sudah lama digunakan sebelum Perjanjian Giyanti terjadi.
Jenis dan Motif Blangkon Yogyakarta
Dalam penelitian Sarimo (2027) dari Prodi Pendidikan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret yang berjudul Blangkon Gaya Yogyakarta Ditinjau dari Bentuk Motif dan Makna Simbolisnya, disebutkan adanya dua jenis blangkon Yogyakarta, yaitu blangkon dengan bentuk mataraman dan blangkon dengan bentuk kagok.
Sementara dikutip dari laman Pemerintah Kota Yogyakarta, Sunardi yang merupakan pengrajin blangkon mengungkap terdapat tiga jenis blangkon Yogyakarta, yaitu blangkon mataraman, blangkon kagok dan blangkon pidihan.
Selain itu, dikenal juga jenis blangkon senopatren, blangkon kliwir atau kuncir, dan blangkon sunan.
Tidak hanya jenis, blangkon gaya Yogyakarta juga memiliki ragam motif yang menjadi pembeda dengan blangkon dari daerah lain.
Dilansir dari laman Sibakul Jogja, motif yang digunakan blangkon gaya Yogyakarta seperti motif truntum, modang, kumitir, celeng kewengen, dan blumbang.
Bentuk dan Ciri Khas Blangkon Yogyakarta
Blangkon Yogyakarta memiliki beberapa bagian yang terdiri dari wiron, kuncung, tengahan, sintingan, kepet, dan mondolan.
Dilansir dari laman Sibakul Jogja, bagian mondolan inilah yang menjadi ciri khas dari bentuk blangkon gaya Yogyakarta.
Filosofi Blangkon Yogyakarta
Baik bagian dan motif blangkon Yogyakarta memiliki filosofi yang diharapkan akan menjadi pedoman bagi pemakainya.
Seperti bagian wiron yang melilit di sisi kanan dan kiri agar blangkon tetap kencang memiliki lipatan berjumlah 17 yang melambangkan jumlah dari rakaat sholat dalam satu hari.
Ada juga bagian mondolan yang berbentuk bulat dan mirip seperti telur di bagian belakang yang melambangkan kebulatan tekad seorang pria dalam melaksanakan tugasnya walaupun tugas tersebut sangatlah berat.
Sementara makna setiap motif yang digunakan juga berbeda-beda yang pada umumnya terkait dengan kehidupan.
Seperti blangkon motif truntum yang memiliki makna bahwa kehidupan manusia tidak akan lepas dari dua hal, misalnya kaya miskin, gelap terang, bungah susah, dan lain-lain.
Sementara motif modang mengandung makna kesaktian untuk meredam angkara murka, yaitu sebelum mengalahkan musuh dari luar harus mengalahkan musuh yang datangnya dari diri sendiri.
Kemudian motif kumitir yang menggambarkan orang yang tidak mau berdiam diri dan ingin selalu berusaha keras dalam menjalani kehidupannya.
Adapun motif celeng kewengen yang menggambarkan dan memiliki makna keberanian, sifat yang jujur, polos, dan apa adanya.
Beda Blangkon Yogyakarta dan Blangkon Solo
Blangkon gaya Yogyakarta memiliki perbedaan dengan blangkon gaya Solo yang dapat dilihat dari bagian belakang, tepatnya di bagian mondholan.
Seperti disebutkan sebelumnya, mondolan adalah ciri khas dari bentuk blangkon gaya Yogyakarta. Sementara pada blangkon gaya Solo tidak terdapat mondolan dan hanya datar di bagian belakang.
Sementara dari motif, blangkon Yogyakarta biasanya menggunakan motif modang, blumbangan, kumitir, celeng kewengen, jumputan, sido asih, sido wirasat, atau truntum.
Sementara blangkon Solo memiliki motif berbeda, yaitu motif keprabon, kesatrian, perbawan, dines, serta tempen.
Sumber:
kebudayaan.kemdikbud.go.id
digilib.uns.ac.id
warta.jogjakota.go.id
sibakuljogja.jogjaprov.go.id
surakarta.go.id
kompas.com