Informasi Terpercaya Masa Kini

Kenali Fenomena Doom Spending yang Bisa Bikin Miskin Gen Z dan Milenial

0 8

Bisnis.com,JAKARTA- Fenomena doom spending sering tidak disadari oleh generasi muda, khususnya gen Z dan milenial, padahal hal itu mengancam kualitas masa depan pribadi.

Ghita Argasasmita, pendidik sekaligus perencana keuangan mengatakan bahwa doom spending adalah pengeluaran-pengeluaran yang sifatnya receh atau affordable joy alias mudah untuk dinikmati saat ini. Menurutnya, kelakuan ini sebenarnya didorong oleh faktor keputusasaan atau frustrasi karena tidak bisa mencapai target finansialnya.

“Sekarang kan kita harus punya aset. Kalau kita lakukan pembelian, kita bisa mencicil tapi harus menghasilkan aset. Asset yang paling penting dalam kehidupan misalkan rumah atau kendaraan, terutama rumah mahal sekali saat ini. Hal ini buat orang frustrasi, misalkan menabung sampai kapan juga tidak akan terbeli mendingan menikmati hidup dengan melakukan pembelian hal-hal receh demi kesenangan. Jadi dia tahu harus beli aset tapi merasa tidak mampu,” ujarnya dalam program Broadcash di kanal youtube Bisniscom, dikutip Kamis (17/10/2024).

Baca Juga : Pengamat Sosial: Gen Z dan Alfa Paling Gampang Kena Hoaks

Dengan kata lain, tuturnya,  doom spending membuat siapa saja yang terpapar pemikiran itu, berpikir untuk tidak memiliki aset. Mereka berpikir lebih baik pendapatan yang diperoleh dari hasil kerja dihabiskan untuk mencari kesenangan.

Dia menjelaskan, perilaku doom spending pada dasarnya berpangkal dari ketiadaan kesabaran untuk menjalani proses. Hal ini tergambar jelas dari perilaku kebanyakan orang di media sosial yang ingin segalanya serba instan atau cepat.

Baca Juga : : Tren Jasa Porter, Peluang Gen Z Pecinta Alam Raih Cuan

“Kita hidup di zaman media sosial yang orang suka bikin konten yang singkat. Secara tidak sadar kita pengennya cepat saja. Sementara kalau membeli aset, misalkan membeli rumah itu kan perlu proses yang panjang dan kesabaran yang tinggi. Ketiadaan kesabaran itulah yang kemudian mengarahkan pada perilaku doom spending,” ucapnya.

Lanjutnya, dalam teori perencanaan keuangan ada yang disebut dengan bujeting. Di dalam bujeting itu, porsi menabung tentu lebih besar dibandingkan dengna porsi untuk bersenang-senang. Perinciannya, untuk menabung semestinya 20 persen dari gaji, sementara kesenangan sebesar 10 persen.

Baca Juga : : Ridwan Kamil Bakal Berikan Co-Working Space dan Kopi Gratis untuk Gen Z di Jakarta

Kebanyakan, kata dia, kelas menengah di Indonesia memiliki gaji sesuai upah minimum atau sedikit di atas upah regional tersebut. Seringkali, khususnya di daerah metropolitan, para pekerja malah merasa porsi gaji untuk bersenang-senang terlampau kecil jika sesuai dengan bujeting 10 persen.

Doom Spending Bukan Monopoli Perempuan

“Kok 10% jatah saya untuk senang-senang.  Buat apa menabung banyak-banyak toh targetnya kayaknya tidak mungkin tercapai. Lebih baik yang masuk akal, yang di depan mata saja jadi bisa dibalik porsi bersenang-senang 20 persen, menabung 10 persen itu juga kalau masih ada uangnnya,” bebernya.

Dalam kesempatan itu dia membantah bahwa doom spending kebanyakan dilakukan oleh kaum perempuan. Menurutnya kaum lelaki pun terpapar doom spending. Stigma terhadap kaum permepuan itu menurutnya berkaitan dengan kebiasaan manajerial keuangan dalam keluarga.

Di dalam keluarga, menurutnya kaum perempuanlah yang biasa memegang uang entah itu dari hasil kerja suami atau juga ditambah dengan hasil kerja sendiri. Uang itu akan dibelanjakan untuk kebutuhan sekeluarga, termasuk untuk suami dan anak. Alhasil, jumlah dan intensitasnya pun lebih besar.

“Tapi coba dicek dari jumlah uang yang dipegang, berapa uang yang benar-benar untuk keperluan perempuan sendiri. Bandingkan dengan apa yang disebut uang laki, yang memang disimpan untuk keperluan diri sendiri misalkan untuk gajet, hobi dan semacamnya. Jadi kalau dihitung sebenarnya lelaki itu lebih boros dibandingkan perempuan,” urainya.

Lantaran memiliki intensitas berbelanja yang tinggi untuk keperluan seluruh keluarga, kaum perempuan menurutnya mudah terpapar berbagai promosi dan diskon belanja. Hal itulah yang melahirkan stigma bahwa doom spending paling banyak menyasar perempuan. 

Leave a comment