Sastra Indonesia dan Nobel
Setiap tahun, seperti sudah menjadi tradisi di lingkungan kaum penulis sastra di negeri ini, muncul sejenis keriuhan yang dipenuhi oleh rasa kagum sekaligus sesal yang selalu diulang-ulang. Rasa kagum muncul ketika peraih Nobel dibeberkan biografi beserta sejumlah karyanya. Di antara rasa kagum tersebut, hanya sedikit sekali dari mereka yang benar-benar tahu siapa sesungguhnya pengarang sastra yang mendapatkan hadiah Nobel itu.
Sementara itu, mayoritas penulis di negeri yang dipenuhi belasan ribu penyair internet, hanya bisa menunggu informasi. Keterbatasan bahasa memang bisa membuat banyak orang jadi hanya berkutat dengan bahasa negerinya saja dalam keterbatasan informasi yang kerap jadi ironi di zaman sekarang.
Jika kita bandingkan dengan periode 1970-1980-an, kita bisa geleng-geleng kepala. Sependek ingatan saya, sebagai penggemar dunia sastra dalam berbagai wujud dan seni pertunjukan, informasi tentang peraih Nobel bidang sastra bisa kita dapatkan lebih lengkap kala itu. Mungkin saja itu karena media massa yang terbit harian, mingguan, hingga majalah sastra masih berfungsi kuat sebagai penyambung informasi dan pengetahuan tentang peradaban dari negeri lain.
Kala itu, media massa cetak masih memegang fungsinya sebagai penjaga kebudayaan, sebagaimana mitos yang diciptakan kaum penulis yang menyatakan bahwa koran tanpa ruang seni budaya adalah media barbar. Posisi dan fungsi media cetak, termasuk majalah sastra, masih jadi acuan dan tonggak serta ukuran nilai dalam berkarya sehingga membuat setiap penulis sangat memperhatikan informasi dan pengetahuan tentang sastra. Apalagi dalam konteks, sastra dan seni masih diikuti oleh pikiran ideologis.
Dalam kaitan itulah, informasi menjadi sesuatu yang bisa dipikirkan sebagai bagian dari masuknya pengetahuan secara personal dan sosial, dan sangat kuat membawa pikiran dalam mempertimbangkan apa makna di balik arus informasi yang diserap. Maka media cetak mengajak siapa saja, dalam lingkungan penulis dan peminat sastra, untuk berdialog, berdiskusi, dan tak jarang berdebat.
Kini penyebaran informasi jadi makin kuat melalui internet yang setiap detik memasuki dunia personal dan sosial. Kecepatan informasi yang masuk kerap membuat pikiran tak lagi bisa berpikir sejenak. Desakan arus informasi yang beberapa dekade lalu bisa jadi bahan pemikiran, kita jadi sekadar informasi yang dengan bisa dengan cepat dilupakan. Mungkin keterbatasan “memori dalam batok kepala” yang sudah dijejali membuat kita lelah dan tak mampu lagi membuat pertanyaan, apalagi gugatan.
Kita bisa melihat begitu banyak gosip tentang sastra, tapi jarang yang bisa melihat adanya kritik sastra. Dunia pendidikan tinggi dengan kajian tentang sastra yang kini kian berjejal jadi terasa ironis karena tak melahirkan suatu kerangka kritik yang bisa menggugat. Padahal teori-teori kajian begitu kuatnya dipenuhi oleh kerangka ideologis yang menjadi latar belakang dari kehadiran suatu teori kajian.
Sebagai peminat sastra yang selalu siap dengan berbagai keterbatasan dan siap mencari sendiri, rasanya saya masih bisa menikmati, betapa pun selalu kecewa oleh isi dari grup sastra yang hanya berisi gosip dan ocehan yang tak cukup bermutu. Kita selalu merasa lucu ketika seseorang mencanangkan dirinya dalam barisan “permohonan peraih” Nobel. Yang berkembang menjadi gosip adalah kelanjutan dari penabalan seorang oknum sebagai “tokoh sastra” yang konon “melahirkan genre” dalam dunia sastra Indonesia.
Siapa pun berhak jadi pelawak. Rasa humor itu perlu jadi pengisi di antara beban kehidupan yang kian menindih.
Ketika Sutardji Chalzoum Bachri mencanangkan dan dikukuhkan oleh lingkungan sosial penulis di Taman Ismail Marzuki (TIM) sebagai “presiden penyair” tahun 1980-an, menandingi “presiden penyair Malioboro” Umbu Landu Paranggi, hal itu jadi bagian dari humor kaum penulis kala itu, seperti saat Sutardji meledek Darmanto Jt sebagai “penyair English for You” lantaran begitu banyaknya kata dalam Bahasa Inggris di puisi Darmanto.
Dua presiden dalam dunia kepenyairan telah hadir, dan ditambah satu “Calon Presiden Tahun 2000” dari karya lukisan Hardi yang membuat instansi Kopkamtibda Jaya turun ke lapangan dan meminta lukisan itu diturunkan ketika pameran di TIM. Ketiganya hadir dalam dunia kesenian kita, tapi tak ada satu pun dari mereka yang bisa berkutik di hadapan “Burung Merak” Rendra yang jadi ikon dunia kepenyairan, teater, dan yang pemikirannya selalu penuh gugatan pada rezim serta zaman.
Begitulah dunia sastra kita yang selalu melahirkan humor politik dan membuat kita bisa menikmati kegembiraan sejenak. Tapi kini, adakah rasa gembira dari humor kaum penulis?
Ketika muncul kabar tentang peraih nobel dari Korea Selatan, Han Kang, penulis yang masih muda, baru 52 tahun, terselip rasa sesal. Kenapa pula Komite Nobel tak pernah lagi mencalonkan Pramudya Ananta Toer? Apa yang kurang dari karya beliau yang bukan cuma penuh dengan gugatan kepada kolonial dan feodal, tapi juga rasa humanisme yang menggetarkan.
Harusnya Komite Nobel datang ke Pulau Buru, agar mereka tahu tentang ‘Gulag Indonesia’ yang pernah diisi puluhan ribu tahanan politik.”
Di grup WhatsApp, seorang akademisi bertanya, kenapa pula Komite Nobel tak mencalonkan I La Galigo, naskah terpanjang di dunia dari khazanah masyarakat Makassar Bugis?
Seperti halnya oknum penulis yang berhasil menghimpun para penulis di negerinya dan di Semenanjung untuk mengukuhkan dirinya sebagai “pelopor genre” dalam sastra, dua komentar di atas menunjukkan ada sesuatu yang terputus bahkan hilang dalam pemikiran dan sejarah sastra di negeri ini.
Pramudya sudah wafat, dan Nobel tak diberikan kepada mereka yang sudah berada di dunia lain. Sementara I La Galigo, meski jadi naskah terpanjang di dunia, adalah karya ratusan tahun yang lalu oleh seorang raja perempuan, Coliq Puji E, atas permintaan seorang pendeta Belanda, Matthes, pada akhir abad ke-19.
Lantas bagaimana dengan “genre baru” dalam sastra Indonesia, yang salah satu cirinya adalah catatan kaki dan karya yang mengandung bobot sosial? Saya menganggap itu hanya bagian dari upaya untuk melucu yang kehilangan sense of humour saja.