Informasi Terpercaya Masa Kini

Ada yang Pelawak Ada Ibu Rumah Tangga Biasa, Ini 10 Wanita yang Dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata

0 10

Berapa wanita yang dimakamkan di Kalibata? Entah apakah angka sepuluh ini tepat, tetapi yang 10 ini pasti ada bekas dan berkasnya–walau cuma sekilas. Inilah kisah singkat hidup mereka.

Artikel ini pertama tayang di Majalah Intisari edisi November 1980

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

Intisari-Online.com – Wanita pertama yang mendapat tempat di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata adalah seorang rakyat biasa. Umurnya 40 tahun ketika dia ditembak tentara Belanda di rumahnya sekitar Desember 1945.

Dia dimakamkan di belakang rumah Sdr. Baih di pekarangan tanah Kong Gwan dekat rumahnya sendiri di Jl. Laksana Dalam, kelurahan Pasar Baru, Jakarta.

Dari tempatnya ini jenazahnya dipindahkan ke TMP Ancol sekitar tanggal 7 Agustus 1952. Kareman TMP Ancol dibatalkan menjadi Taman Makam Pahlawan maka Ma Minten dipindahkan ke TMP Kalibata pada 31 Agustus 1954 sebagai pahlawan wanita yang pertama.

Ketika mayatnya ditemukan keadaannya sudah kurang baik. Tulang kepalanya hancur. Demikian juga tulang dagu, tulang rusuk, tulang ula-ula dada dan tulang buntutnya. Sedangkan tulang paha kiri patah.

Selain itu masih terdapat satu botol kecil berisi barang cair dan dua buah kancing baju, tertulis dalam berkasnya yang masih tersimpan rapi di kantor TMP Kalibata.

Pada zaman revolusi fisik yang mendapat tempat di TMP memang bukan wanita yang berbintang, tetapi mereka yang aktif berjuang. Sayang dalam berkas-berkas permulaan ini tidak disebut persis apa yang pernah dilakukan oleh Ma Minten sampai dia betul-betul dihancurkan oleh tentara Belanda dalam arti harfiah.

Seorang ibu rumah tangga biasa lain yang juga gugur akibat pertempuran dengan Belanda itu ialah Ny. Muanah. Dia meninggal tanggal 1 Desember 1945 dan semula dimakamkan di Karet Bivak Petak 1/19 dan baru dipindahkan ke TMP Kalibata tanggal 12 April 1955.

Masih di sekitar tahun kemerdekaan tahun 1945 juga gugur Nyi Inah binti Bidin. Dia konon juga tertembak oleh Belanda di Petulangan. Kemudian dimakamkan di pekarangan saudaranya yang bernama Inang.

Ketika kuburannya dibongkar untuk dipindahkan, keadaannya tidak terawat. Di sana tumbuh rumput, bahkan tanahnya sudah rata dan tidak diberi batu nisan. Kuburan dapat dikenal kembali karena diambil patokan pohon bambu yang tumbuh persis di bagian kepala almarhumah.

Seperti rekan-rekannya yang lain Nyi Emur binti Kitjang juga ditembak oleh tentara Belanda sekitar tahun 1945. Dia ditembak di Kebon Taket/Pulo Gadung, Jatinegara, dan dimakamkan di makam keluarga Kebon Taker, Jatinegara.

Atas perintah Pangdam V Jaya, Kolonel Infantri Umar Wirahadikusumah tanggal 17 September 1960 makam Nyi Emur dicari kembali untuk dipindahkan ke TMP Kalibata. Ternyata makamnya sudah rata dengan tanah dan di sana-sini ditumbuhi rumput tinggi dan pepohonan kecil.

Untung di Indonesia orang selalu ingat suatu patokan, yang biasanya tumbuh-tumbuhan. Kali ini yang menjadi pegangan adalah pohon johar yang ketika ia dimakamkan sudah tumbuh sekitar kepala almarhumah.

Ketika dikubur ia dibalut kain kafan. Kerangkanya sudah hancur dan melekat dengan tanah yang berwarna kehitam-hitaman waktu digali kembali. Sampai di sini daftar wanita yang gugur di medan perang dan masuk TMP Kalibata.

Wanita berikutnya yang dimakamkan di TMP meninggal 7 Agustus tahun 1966 di Rumah Sakit Angkatan Laut Bandung karena menderita sakit. Keesokan harinya jenazahnya dibawa ke Jakarta untuk dimakamkan di Kalibata.

Letnan Kolonel wanita dari ALRI, Nyonya Barnetje Tuegeh, lahir di Air Mandidi Tonsea, Manado. Tahun 1945 ikut membentuk Badan Keamanan Rakyat bagian Laut Divisi I dan Divisi II yang bertugas melakukan infiltrasi ke seluruh kepulauan Indonesia.

Setahun kemudian, 1946, di Jawa Timur, dia ikut membentuk Palang Merah Indonesia. Tahun 1947 sampai tahun 1949 dia mendapat tugas di Jawa Tengah dan Jawa Timur dan tahun 1950 dia keluar dengan hormat dari dinas TNI-AL.

Wanita berbintang Leo yang lahir tahun 1912 ini bergaji pokok terakhir sebesar Rp550. Dia memiliki beberapa tanda jasa seperti Bintang Gerilya, Satya Lencana Peristiwa Aksi Militer I dan II.

Korban kecelakaan pesawat terbang

Nyonya yang ini dimakamkan di TMP Kalibata bukan karena tertembak di medan pertempuran tetapi dalam kecelakaan pesawat terbang. Dialah Nyonya Ir. Paulina Margaretha Putu Siwabessy, istri dari dr. Siwabessy yang Menteri Kesehatan waktu itu.

Nyonya Paulina Siwabessy tewas pada saat melakukan tugas-negara. Apa persis tugas itu tidak tertulis dalam riwayat hidupnya di administrasi TMP Kalibata. Hanya dicatat bahwa pesawat terbang Convair 990 Pajajaran (GIA) yang ditumpanginya jatuh di Bombay (sekarang Mumbai) pada 28 Mei 1968. Dia dimakamkan tanggal 8 Juni 1968.

Riwayat hidup nyonya Syahrani Tiamima Harahap kelahiran Tapanuli 1916 juga tak lengkap. Dia meninggal di Rumah Sakit Gatot Subroto karena sakit. Anggota veteran ini dimakamkan di Kalibata tanggal 16 September 1972. Dalam buku hanya tertulis surat visum dari dokter rumah sakit yang bersangkutan.

Ini dadaku mana dadamu

Lain halnya dengan Haji Rangkayo Rasuna Said yang sejak kecil sudah berada di lingkungan keluarga yang bergerak dalam dunia pergerakan. Selain berkembang dalam politik dia juga terjun dalam hal agama.

Waktu dia masih kecil dan selama masa remajanya pergerakan kemerdekaan sudah mulai berkembang di daerahnya. Saat itu kamu wanita kurang mendapat kesempatan untuk menonjol dalam masyarakat.

Salah satu sebabnya adalah adat istiadat. Kaum wanita dalam pendidikan dan dalam dunia politik kurang berkembang.

Kecerdasan Rangkayo Rasuna Said tampak dari ucapan dan perbuatannya. Dia membenci penjajahan Jepang dan bercita-cita untuk merdeka. Di hadapan seorang pembesar Jepang yang bernama Mishimoto dia berani mengatakan:

“Boleh tuan sebut Asia Raya karena tuan menang, tapi Indonesia Raya pasti ada di sini” sambil menunjuk dadanya.

Orangnya pantang mundur, juga ketika perkawinannya ditentang oleh pamannya yang mempunyai kekuasaan dalam keluarga. Karena ketabahannya dan kekerasan hatinya dikabulkan juga akhirnya.

Pernah dia keluar dari penjara Semarang dengan membawa sepucuk surat penting. Dia berhasil menyelamatkan surat tersebut setelah melalui pemeriksaan yang mendebarkan hati.

Dia pandai berpidato sehingga apa yang dikatakan terbayang jelas seakan-akan dapat dilihat. Ini berkat kepandaiannya menyusun kata-kata sehingga enak didengar. Dia juga pernah menulis dalam surat kabar yang bernadakan pergerakan kemerdekaan.

Dia masuk sekolah desa di Maninjau pada usia enam tahun. Sekolah itu hanya sampai kelas V. Dia kemudian melanjutkan pelajaran ke Diniyah School di Padang Panjang. Di situ murid yang duduk di kelas tinggi mengajar murid kelas yang lebih rendah.

Tahun 1923 setelah berdiri Diniyah Putri dia menjadi tenaga pengajar. Dia juga pernah sekolah di Meses, Padang Panjang, di sebuah sekolah rumah tangga. Mungkin karena itu dalam kesibukannya ia tetap pandai memasak, mengatur rumah tangga dan memperhatikan pendidikan anak-anak.

Walaupun tidak muda lagi, kembali dari pembuangan di Semarang dia ikut belajar di Islamic College. Di situ Rasuna duduk sebagai pengasuh majalah Raja yang diterbitkan oleh siswa-siswanya.

Karier perjuangannya sudah dimulai pada tahun 1926 di Sarekat Rakyat. Di sini dia duduk sebagai sekretaris. Ketika dibubarkan dan diganti dengan Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dia masih duduk dalam pengurus.

Rasuna acapkali ditegur karena berbicara terlalu berani dalam rapat. Bahkan sering dihentikan secara paksa dan kemudian diproses verbal di kantor Controle di Maninjau. Akhirnya tahun 1932 dia dimasukkan penjara. Karena pidatonya di Payakumbuh yang dianggap menghasut dia ditangkap dan diadili sehingga masuk penjara Bulu di Semarang.

Namun dia bukan hanya aktif dalam dunia politik, tapi juga pernah mengajar di Sekolah Pemberantasan Buta Huruf yang dikenal dengan nama sekolah “Menyesal”.

Sekolah ini ada di setiap pelosok Sumatra Barat yang sekaligus digunakan sebagai mimbar untuk menyampaikan politik Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI).

Rasuna Said juga pernah membuka sekolah Thawalib kelas rendah di Padang dan mengajar pada sekolah Thawalib Putri di Padang. Dia memimpin sekolah “Kursus Putri” di samping mengajar pada “Normal khusus”. Kedua sekolah ini ada di Bukittinggi dan dimanfaatkan untuk pembentukan kader dalam pergerakan.

Sekembalinya dari penjara di Semarang dia menetap di Padang. Karena sesuatu hal dia pindah ke Medan dan meneruskan perjuangannya sampai akhir pemerintahan Belanda di Indonesia. Selama di Medan gerak juangnya dilakukan dengan dua jalan.

Dalam bidang pendidikan dia mendirikan “Perguruan Putri” dan di bidang jurnalistik dia menerbitkan majalah Menara Putri. Melalui majalah ini ia menghidupkan cita-cita perjuangan di antara kaum wanita. Semboyan yang dipopulerkan ialah “Ini dadaku mana dadamu”.

Pada waktu Persatuan Wanita Republik Indonesia (PERWARI) mengadakan kongres nasional untuk perdamaian, dia menjabat sebagai ketua penyelenggara. Setelah pembentukan negara persatuan tahun 1950, Rasuna diangkat sebagai anggota DPRS (Dewan Perwakilan Rakyat Sementara).

Pada waktu terbentuknya Dewan Nasional yang fungsinya kira-kira sama dengan DPA (Dewan Pertimbangan Agung) pada tahun 1957 ia diangkat sebagai salah seorang anggota mewakili golongan wanita.

Setelah ada dekrit 5 Juli 1959 dia diangkat sebagai anggota DPA sampai akhir hayatnya. Dia meninggal tanggal 2 November 1975 karena sakit. Sampai saat ini dia satu-satunya wanita Pahlawan Nasional yang dimakamkan di Kalibata.

Pelawak yang mempunyai bintang gerilya

Ketika Ratmi B-29 meninggal di Ujung Pandang tanggal 31 Desember 1977 dan akan dimakamkan di TMP Kalibata, banyak orang yang agak heran. Soalnya orang lebih mengenal Ratmi sebagai pelawak dan pemain film daripada sebagai seorang pejuang.

Mencari riwayat hidup Suratmi tidak mudah. Di TMP Kalibata sendiri tidak ada berkasnya. Kami dianjurkan menghubungi Skogar. Di situ pun tidak ada keterangan mengenai almarhumah. Bahan ini kami kumpulkan dari koran. Ratmi meninggal karena serangan jantung.

Menurut seorang rekan dia hendak naik pesawat menuju Surabaya untuk memeriahkan Tahun Baru, tapi dia jatuh pingsan kurang lebih setengah meter dari tangga pesawat dalam pelukan suaminya.

Mobil yang datang untuk mengangkut si sakit ternayta terlalu kecil sehingga perlu diganti dengan mobil yang lebih besar. Ratmi meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Pelawak, pemain film, penyanyi keroncong dan sinden ini adalah seniman lawak pertama yang dimakamkan di TMP Kalibata.

Sebuah mobil jenazah berwarna hijau berisikan jenazah diselubungi kain bendera merah putih berhenti di halaman Kalibata. Barisan seragam bergenderang dan tembakan salto mengiringi penguburan jenazahnya.

Ini semua berkat jasa Ratmi membela negara sehingga ia dianugerahi bintang gerilya, bintang kemerdekaan I dan II dan bintang gerakan operasi Militer I dan V.

Dia pernah menjadi sersan dua pada Laskar Wanita (Laswi) pimpinan Ny. Arudji Kartawinata sebagai anggota Batalyon D Brigade 16 “Citarum” Jabar. Ia juga pernah masuk pasukan Srikandi dan tahun 1945-1949 ikut berjuang di daerah Banyumas.

Wanita pejuang lain yang dimakamkan di Kalibata ialah Ny. Zahara Jahya, istri Jahya Koto. Dia lahir tanggal 9 Oktober 1918 di Labuhan Bilik. Nyonya ini aktif di Palang Merah Indonesia, bahkan pernah mengadakan pendidikan Srikandi dibantu oleh Letnan Djunaidi di Medan Timur. Dia pernah mengadakan dapur umum dan ikut bertempur mempertahankan Medan Timur.

Tahun 1949-1959 dia pindah ke Jakarta sebagai bidan di Kementerian Kesehatan Jakarta dan mengadakan kursus dukun bersalin sampai tahun 1959. Di Medan pun dia mendirikan kursus dukun bersalin antara 1959-1965. Lulusannya 21 orang.

Tahun 1971 dia memimpin klinik bersalin Kenangan di Jalan Sei Putih Medan. Enam tahun kemudian dia bekerja pada Dinas Kesehatan Kodya Medan sebagai bidan utama dengan gaji pokok sebesar Rp2420.

Karena keadaan kesehatan kurang baik Ny. Zahara berangkat ke Jakarta, ke anaknya, untuk berobat. Dia tutup usia di RS Cipto Mangunkusumo dan dimakamkan di TMP Kalibata 22 Januari 1978 pukul 14.00. Almarhumah meninggalkan 5 orang anak dan 7 cucu.

Wanita terakhir yang dimakamkan di Kalibata selama ini adalah Nyonya Supiatun. Sebagai sersan veteran dia pernah menerima Bintang gerilya. Selain itu mengenai riwayat hidupnya hanya diketahui tanggal lahirnya: 20 Desember 1920 di Bogor. Dia meninggal 10 Januari 1980 dan keesokan harinya diberangkatkan dari rumahnya di Kompleks BNI 1946 Kebayoran Lama ke TMP Kalibata pukul 14.00.

Tidak banyak wanita yang mendapat kehormatan dimakamkan di TMP Kalibata. Sekarang yang boleh dimakamkan di sana hanya mereka yang memiliki bintang jasa, baik Bintang Mahaputra ataupun bintang gerilya.

Pasti lebih banyak wanita maupun pria yang pernah berjuang untuk nusa dan bangsa yang tidak dimakamkan di salah sebuah TMP di manapun juga di Indonesia. Namun penghargaan terhadap mereka mungkin sudah tercermin dalam monumen besar di Plaza TMP Kalibata tempat dimakamkannya seorang pejuang tak dikenal.

Di situ juga terpampang sajak Chairil Anwar yang berbunyi:

Ia tidak dikenal namanya

Namun jasanya berkumandang

Di segenap penjuni tanah Air.

Karena telah memberikan

Jiwanya demi kemerdekaan

Bangsa dan negaranya.

Sampai tanggal 7 Oktober 1980 jumlah pahlawan pria yang dimakamkan di TMP Kalibata berjumlah 2071 orang di samping 10 wanita. Di antara sekian banyak pahlawan Indonesia juga ada tiga pria berkebangsaan Jepang yang tidak diketahui identitasnya sampai mereka dimakamkan di TMP Kalibata.

Leave a comment