Informasi Terpercaya Masa Kini

Putra Raja Iran Terakhir Serukan Perlawanan ke Rezim Ali Khamenei

0 2

Bisnis.com, JAKARTA —  Dinasti Pahlavi, penguasa monarki terakhir Iran, berusaha menunjukkan eksistensinya kembali usai tumbangnya, Muhammad Reza Pahlavi, dalam Revolusi Iran pada tahun 1979.

Reza Pahlavi, anak kedua sekaligus putra pertama raja Iran Shah Reza, muncul ke publik. Dia mulai menyerukan perubahan rezim, menawarkan kebebasan dan perdamaian serta imbauan untuk mengakhiri kekuasaan para Mullah di tanah Persia. Reza bahkan mengklaim dirinya sebagai raja dan pewaris sah terhadap kekuasaan di Iran.

“45 tahun terakhir kita hidup dalam ketakutan. Ketakutan terhadap ancaman terorisme, ketakutan terhadap perang, ketidakstabilan ekonomi, dan perang nuklir,” ujar Reza Pahlavi dalam pesan videonya yang disebarkan di akun X resminya, Senin (8/10/2024).

Baca Juga : Mengapa 3 Anti-Misil Israel seharga Triliunan Rupiah Bisa Dibobol Iran?

Reza menuding rezim republik Islam yang dipimpin oleh Ayatollah Ali Khamenei sebagai pemicu ketakutan dan menyeret Iran ke dalam perang. Menurutnya, rezim Islam di Iran telah menyebabkan teror dan mengakibatkan tewasnya ribuan orang Iran, Arab dan termasuk Yahudi selama 45 tahun terakhir.

Iran adalah salah satu kekuatan besar yang eksis di Timur Tengah. Pasca Revolusi Iran, mereka menjadi negara paling kencang menyuarakan penentangan terhadap penjajahan Israel terhadap tanah Palestina. Tidak sebatas retorika, Iran bahkan mengirimkan ratusan rudal ke Israel pada Selasa (1/10/2024) lalu.  

Baca Juga : : Terungkap Skema Balas Dendam Israel, Kilang dan Fasilitas Nuklir Iran Terancam Hancur

Aksi Iran itu memicu kemarahan Israel dan sekutunya, terutama negara Barat seperti Amerika Serikat dan Inggris. Di sisi lain, eskalasi konflik terus memuncak. Iran bersiap menghadapi serangan balasan dari Israel dan sekutunya. Perang regional besar pun berada di depan mata.

Adapun, Reza Pahlavi yang sekarang hidup di pengasingan telah beberapa kali muncul menentang kepemimpinan rezim Islam Iran. Dia mengungkapkan keinginannya untuk mengembalikan kedamaian di Iran dan kawasan Timur Tengah. Dia juga menyerukan perubahan kepemimpinan di Iran dengan menumbangkan rezim Islam yang dipimpin oleh Ali Khamenei.

Baca Juga : : Jejak Berdarah Perang Iran vs Israel, dari Kawan Menjadi Lawan

“Ini bukan perang bagi orang Iran, tetapi perang Ali Khamenei dan rezimnya,” imbuh Reza Pahlavi.

Tumbangnya Dinasti Pahlavi 

Iran adalah negara besar dan pemain penting geopolitik di kawasan Asia Barat atau Timur Tengah. Sebelum berubah menjadi negara Islam, wilayah Iran modern saat ini pernah dipimpin oleh berbagai dinasti politik, mulai dari Persia, beralih ke era kekhalifahan Islam, Abbasiyah, Safawi dinasti Qajar hingga Pahlavi. 

Iran juga telah lama menjadi bagian penting bagi perkembangan peradaban Islam, teruma aliran Syiah yang berkembang sejak awal Islam hingga kemudian menjadi agama resmi ketika Dinasti Safawi berkuasa. Dinasti Safawi merupakan saingan utama Dinasti Usmaniyah atau Ottoman yang berkuasa di sebagian besar Asia Barat dan Eropa Tenggara. 

Dinasti Pahlavi sejatinya merupakan dinasti baru. Eksistensi mereka baru muncul ketika Reza Shah Pahlavi menggulingkan penguasa terakhir dinasti Qajar, Ahmad Shah Qajar sekitar tahun 1920-an. Sejak penggulingan kekuasaan itu, Dinasti Shah menguasai Persia yang kemudian diubah namanya menjadi Iran.

Setelah Reza Shah meninggal, dia digantikan putranya Muhammad Reza Pahlavi pada tahun 1941 hingga 1979. Muhammad Reza Pahlavi memimpin Iran penuh dengan kontroversi. Kedekatannya dengan Barat, sikap lunaknya terhadap Israel, hingga kehidupan mewah memicu keresahan warga Iran pada dekade 1970-an. 

Salah satu tindakan paling kontroversi adalah ketika Pahlavi menyelenggarakan pesta untuk memperingati 2.500 tahun Kekaisaran Persia. Pesta diselenggarakan sangat mewah. Ribuan tenda didirikan untuk menyambut tamu kerajaan. 

Sejumlah pejabat negara, termasuk Presiden Soeharto, juga berkunjung dalam perta tersebut. Kelak, adegan kemewahan yang dipertontonkan Pahlavi, memicu ketidakpuasan dari rakyat Iran, khususnya kaum agamawan. 

Pemimpin agama di Iran, Ayatollah Ali Khomeini memimpin perlawanan. Khomeini hidup dalam pengasingan. Semula dia tinggal di Turki hingga kemudian menetap ke Prancis. Dia kembali ke Iran dan memimpin Revolusi Iran pada tahun 1979. Khomeini adalah bapak pendiri Republik Islam Iran yang bertahan hingga kini.

Wartawan Indonesia, Nasir Tamara, yang berada satu pesawat dengan Khomeini saat peristiwa Revolusi Iran akan meletus, mengungkapkan detik-detik ketegangan ketika Khomeini pulang ke Iran untuk memimpin jalannya revolusi. Dalam buku ‘Revolusi Iran’ dia menceritakan:

“Orang-orang menjadi histeris. Mereka mencoba menyentuh Khomeini. Karena mereka tidak tahu Khomeini naik mobil yang mana, akibatnya fatal bagi wartawan. Mereka terpaksa ke luar dari mobilnya yang tidak mungkin lagi berjalan dan kehilangan jejak Khomeini. Di kuburan Behect Zahra Khomeini ditunggu untuk berziarah dan mengucapkan pidato selamat jumpa kembali pada negeri yang lama ditinggalkannya.”

Leave a comment