Warga Swedia: Sayalah yang Gaji Anggota DPR, Saya Tak Lihat Alasan Perlu Beri Mereka Kehidupan Mewah
STOCKHOLM, KOMPAS.com – Meski terdengar aneh bagi banyak wakil rakyat di negara lain, Swedia tidak menawarkan kemewahan atau keistimewaan bagi para politikusnya.
Tanpa mobil dinas atau supir pribadi, para menteri dan anggota parlemen Swedia sudah terbiasa bepergian dengan bus dan kereta yang penuh sesak, seperti halnya warga negara yang mereka wakili.
Tanpa hak imunitas parlementer, mereka dapat pula diadili seperti orang lain.
Baca juga: Anggota DPR Swedia Tak Dapat Tunjangan Mobil dan Rumah: Tak Pantas Kami Diistimewakan
Tanpa sekretaris pribadi di depan pintu, kantor parlemen mereka yang sederhana hanya seluas 8 meter persegi.
“Sayalah yang membayar para politisi, dan saya tidak melihat alasan untuk (perlu) memberi mereka kehidupan yang mewah,” ucap Joakim Holm, seorang warga negara Swedia, sebagaimana dilansir The Wire pada Selasa (18/6/2019).
Dalam artikel bikinan jurnalis bernama Claudia Wallin lima tahun lalu tersebut, disebutkan bahwa politisi yang berani menghabiskan uang rakyat untuk perjalanan dengan taksi, alih-alih naik kereta, biasanya akan masuk dalam berita utama.
Bahkan ketua parlemen Swedia menerima kartu untuk menggunakan transportasi umum.
Hanya perdana menteri yang memiliki hak untuk menggunakan mobil dari pasukan keamanan secara permanen.
Anggota parlemen Swedia juga hanya tinggal di apartemen kecil di ibu kota, di mana mereka mencuci dan menyetrika pakaian mereka sendiri di binatu umum.
Hal ini mungkin terlihat kecil untuk orang-orang penting, tapi sebenarnya jauh lebih baik daripada sebelumnya.
Baca juga: Anggota DPR RI Periode 2024-2029 Tidak Dapat Rumah Jabatan, Diganti Uang Tunjangan
Hingga akhir 1980-an, semua anggota parlemen tidur di tempat tidur sofa, di kantor mereka sendiri.
Tidak ada seorang pun dalam kehidupan publik di negara itu yang mendapatkan gaji beberapa digit yang tidak masuk akal.
Gaji bersih yang dibawa pulang oleh anggota Riksdag (parlemen Swedia) nyatanya hanya dua kali lipat lebih banyak daripada gaji rata-rata guru sekolah dasar.
Swedia adalah negara yang memperlakukan para pejabat pemerintah dan perwakilan politiknya sebagai warga negara biasa.
Negara itu tak “menerapkan konsep” politisi harus mendapatkan perlakuan hormat lebih tinggi dari masyarakat pada umumnya.
Di negara itu, masyarakat telah terbiasa hanya memanggil dengan sebutan “Anda” kepada setiap orang.
Menurut sistem nilai di Swedia, tidak ada yang lebih tinggi dari orang lain. Bahkan bagi para politisi, yang memang semestinya hidup dalam kondisi serupa dengan realitas masyarakat yang memilih mereka.
Dalam laporannya, Claudia Wallin pun menyatakan pernah terjadi fenomena yang mungkin jarang bisa dijumpati di negara lain, yakni menteri luar negeri Swedia saat itu dan mantan perdana menteri Swedia, Carl Bildt, terlihat mendorong troli belanja di supermarket di Stockholm.
Baca juga: Dijual Cuma Rp 1.550 Per Meter Persegi, Baru 3 Bidang Tanah di Gotene Swedia yang Laku
Ada juga Wali kota Stockholm yang sedang berdiri dalam antrean di halte bus, maupun ketua parlemen yang sedang duduk di kereta bawah tanah.
Bebas dari ketimpangan sosial yang besar, Swedia tidak diragukan lagi menjadi negara yang lebih aman dan minim kekerasan, di mana para politisi dan warga negara biasanya tidak perlu bepergian dengan mobil anti peluru.
Namun, yang lebih penting lagi, negara ini telah mendorong para politisi harus berhubungan dengan realitas sehari-hari dan penderitaan warga pada umumnya.
Para politisi di Swedia tidak diizinkan untuk menempatkan kepentingan pribadi mereka di atas kepentingan rakyat dalam sebuah masyarakat yang menunjukkan bahwa kekuasaan politik dapat dijalankan dalam batas-batas kesopanan.
Dalam sistem peradilan, kondisinya pun sama. The Wire mengungkap, tidak ada hakim Swedia yang memiliki hak atas mobil dinas, sekretaris pribadi, atau fasilitas, bahkan di Mahkamah Agung Swedia.
Mereka yang berwenang harus bertanggung jawab, dan semua informasi harus tersedia secara bebas untuk publik.
Keterbukaan Swedia tercermin dalam transparansi kekuasaan politik, yang diawasi melalui undang-undang transparansi tertua di dunia, sebuah undang-undang yang membuat korupsi politik di tingkat nasional menjadi fenomena yang relatif jarang terjadi di negara ini.
Pada 1766, akses publik terhadap dokumen resmi pemerintah menjadi hak konstitusional semua warga negara Swedia, yang diabadikan dalam bab khusus Undang-Undang Kebebasan Pers Swedia.
Baca juga: Swedia Laporkan Kasus Pertama Mpox yang Mematikan di Luar Afrika
Di Swedia, warganya dapat melacak pengeluaran para menteri, wakil rakyat, dan hakim; membaca deklarasi pajak penghasilan perdana menteri; hingga memeriksa pengeluaran komisioner polisi nasional atau panglima tertinggi Angkatan Bersenjata.
Warga juga bisa dengan mudah mengikuti perkembangan bagaimana lembaga publik membelanjakan uang pajak; serta memantau tindakan, usulan, dan keputusan resmi yang dibuat oleh otoritas mana pun.
Di masa lalu, Swedia pun pernah dihebohkan dengan skandal politik yang mungkin bisa dianggap biasa saja jika terjadi di negara lain.
Jadi, pada 1990-an, Mona Sahlin pernah kehilangan jabatannya sebagai Wakil Perdana Menteri Swedia setelah diketahui membeli sebatang cokelat Toblerone, popok bayi, dan beberapa barang pribadi lainnya dengan kartu kredit pemerintah.
Skandal itu tercatat dalam sejarah politik Swedia sebagai Kasus Toblerone.
Dalam waktu kurang dari 100 tahun, Swedia telah mengubah dirinya dari masyarakat agraris yang miskin menjadi salah satu negara terkaya, paling adil secara sosial, dan paling tidak korup di dunia.
Claudia Wallin sendiri merupakan seorang jurnalis dan penulis asal Brasil yang tinggal di Swedia sejak 2003.
Sebelum pindah ke Stockholm, ia bekerja selama sepuluh tahun di London sebagai kepala biro TV Globo di Eropa, direktur di International Herald Tribune TV, dan produser di BBC World Service.
Claudia Wallin pernah menerbitkan buku berjudul “Sweden – The Untold Story” yang berkisah tentang kehidupan sederhana para politikus Swedia.