Lebanon Negara yang Dikenal Swiss-nya Timur Tengah Itu Kini Diambang Kehancuran Akibat Perang Israel
TRIBUNNEWS.COM, LEBANON – Lebanon beberapa dekade lalu adalah negeri yang indah.
Negara di Asia Barat tersebut, terutama ibu kotanya Beirut, merupakan kota tujuan wisata bagi para turis-turis terkaya di dunia.
Lebanon dahulu kala adalah tempat yang begitu indah untuk healing.
Para perempuan cantik lalu lalang dengan pakai mewah yang trending.
Resort dan hotel mewah bertabur perempuan dengan pakaian renangnya, di tepi pantai yang indah memangjang di sisi kota.
Dan jalanan yang ramai, orang-orang yang berjalan bebas, menikmati keindahan kota.
Itulah Lebanon dulu, yang dikenal Swiss-nya Timur Tengah.
Itu dulu sebelum krisis politik dan ekonomi mengubahnya menjadi distopia modern.
Sisa-sisa kejayaan Lebanon itu masih tersisa terutama di Beirut, kota yang sebelumnya dikenal sebagai ‘Paris-nya Timur Tengah’.
Kini Diambang Kehancuran Akibat Perang
Lebanon kini diambang perang besar.
Israel menyerang Lebanon selatan yang merupakan basis kelompok Hizbullah.
Militer Israel juga memperluas serangannya hingga ke wilayah utara, bahkan mulai mendekati Kota Beirut.
Serangan Israel terhadap target-target Hizbullah menewaskan 492 orang di Lebanon pada tanggal 23 September 2024 lalu, dan jumlah korban terus bertambah.
Setelah kehancuran besar-besaran di Lebanon, orang-orang mengenang masa ketika Lebanon disebut sebagai ‘Swiss Timur Tengah’ dengan gambar dan video wanita dalam pakaian renang, orang-orang bersantai di pantai atau berpesta di kelab.
Lebanon : Ibu Kota Pantai di Timur Tengah
Beirut, Ibu kota Lebanon ini memiliki klub pantai pertamanya pada tahun 1930-an dengan dibukanya Saint George di pesisir Beirut, menurut laporan CNN.
Hotel Saint George Beirut kemudian menjadi tuan rumah bagi para turis paling terkenal dan elite.
Hotel ini juga menjadi simbol transformasi Lebanon.
Arus masuk uang pada tahun 1950-an menciptakan suasana khas Mediterania yang disebut La Dolce Vita.
Hotel bintang lima, klub malam, dan restoran mewah bermunculan untuk melayani wisatawan elit yang datang dari seluruh dunia.
Budayanya yang kaya, arsitektur Prancis, makanan dan mode kelas dunia, serta gaya hidup glamornya menarik banyak wisatawan kelas atas ke pangkuan kemewahan.
Pada tahun 1960-an, Beirut menjadi bagian dari pesta-pesta elit.
Saat itulah aktris Prancis Brigitte Bardot dan bintang Amerika Marlon Brando bertemu dengan para syekh dan mata-mata minyak di kolam renang hotel tepi pantai, menurut Lonely Planet.
Pesta hedonisme terus berlanjut dengan penuh semangat hingga pertengahan tahun 70-an.
Dan saat itulah perjalanan tragis Lebanon dimulai.
Dari perang saudara tahun 1975 hingga 1990, hingga jatuhnya pemerintahan hingga praktik keuangan ilegal dan korupsi, beberapa faktor menyebabkan Lebanon menjadi mimpi buruk zaman modern.
Lalu Perang Saudara Berkecamuk
Perang Saudara Lebanon adalah konflik yang kompleks dan melibatkan banyak pihak yang berlangsung dari tahun 1975 hingga 1990, yang melibatkan berbagai aktor internal dan eksternal.
Perang ini telah menelan korban jiwa sebanyak 150.000 orang.
Ini dimulai pada tanggal 13 April 1975, ketika Phalangist, milisi Kristen Maronit, menyerang sebuah bus yang membawa warga Palestina ke kamp pengungsi di Tall al-Zatar, yang meningkatkan ketegangan yang ada menjadi konflik yang lebih luas.
Perang tersebut berakar pada perpecahan sektarian yang mendalam antara umat Kristen dan Muslim, kesenjangan sosial ekonomi, dan kehadiran Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) di Lebanon.
PLO , yang diusir dari Yordania setelah adanya upaya pembunuhan terhadap Raja Hussein , berkumpul kembali di Lebanon.
Keterlibatan PLO cukup signifikan.
Umat Muslim dan kaum kiri di Lebanon mendukung gerakan tersebut, sementara umat Kristen menentangnya karena khawatir gerakan tersebut akan merusak dominasi politik mereka.
Invasi Israel pada tahun 1982 bertujuan untuk menyingkirkan pasukan PLO dan menyebabkan pengepungan Beirut, yang berpuncak pada pengusiran PLO di bawah pengawasan internasional.
Periode ini juga menyaksikan munculnya kelompok Syiah, termasuk Hizbullah yang didukung Iran.
Antara tahun 1976 dan 1988, konflik internal dan berbagai upaya perdamaian yang gagal mewarnai perang, memperumit situasi dengan banyaknya faksi dan kekuatan eksternal yang terlibat.
Perjanjian Taif, yang ditengahi oleh Liga Arab pada tahun 1989, menandai dimulainya berakhirnya perang, yang berujung pada pemilihan presiden baru, Elias Hrawi, dan demobilisasi milisi secara bertahap.
Namun, Hizbullah tetap menjadi kekuatan yang kuat.
Lebanon Mulai Ambruk Perlahan
Lebanon mengalami krisis ekonomi yang parah karena pemerintahan demi pemerintahan membuat keuangan negara terlilit utang setelah perang saudara.
Bank-bank di sana kolaps, orang-orang kehilangan rekening tabungan atau dana mereka tidak dapat diakses.
Hal ini merupakan hasil dari elit sektarian yang terus menerus dan banyak meminjam, demikian laporan Reuters.
Beberapa pakar telah menyebutkan bagaimana sistem keuangan Lebanon merupakan skema Ponzi yang diatur secara nasional, di mana uang baru diambil untuk membayar kreditor yang ada. Skema ini berjalan hingga uang baru berhenti mengalir.
Setelah perang saudara, Lebanon menyeimbangkan keuangannya dengan pariwisata, bantuan luar negeri dan pendapatan dari industri keuangannya serta dana yang diambil dari negara-negara Teluk Arab.
Kiriman uang juga datang dari jutaan warga Lebanon yang pergi ke luar negeri untuk mencari pekerjaan.
Bahkan pada masa resesi global tahun 2008, mereka mengirimkan uang ke Lebanon.
Pertikaian Politik 2011
Pengiriman uang, yang merupakan urat nadi Lebanon, melambat akibat pertikaian politik sektarian pada tahun 2011.
Negara-negara Teluk Sunni juga mulai menarik diri setelah bangkitnya Iran melalui kelompok teroris Syiah proksinya, Hizbullah.
Hal ini terjadi hingga tahun 2016, ketika bank mulai memberikan suku bunga yang tinggi untuk simpanan dolar baru.
Di sinilah “rekayasa keuangan” diperkenalkan yang melibatkan pemberian keuntungan besar bagi bank untuk dolar baru.
Meningkatnya arus masuk dolar menyebabkan peningkatan cadangan devisa Lebanon, tetapi ada juga peningkatan yang mengkhawatirkan dalam kewajiban.
Laporan menunjukkan bahwa utang bank sentral mungkin melebihi asetnya, yang menunjukkan kerugian yang signifikan.
Sementara itu, pembayaran utang Lebanon telah menghabiskan sekitar sepertiga atau lebih anggaran pemerintah.
Keruntuhan ekonomi dipicu oleh beberapa faktor.
Mata uang nasional anjlok dari 1.500 menjadi sekitar 23.000 terhadap dolar pada akhir Januari 2022, setelah mencapai 34.000 pada awal bulan itu.
Krisis ini makin parah setelah ledakan di pelabuhan Beirut pada Agustus 2020 menewaskan 215 orang dan menyebabkan kerusakan parah.
Pada tahun 2021, utang pemerintah Lebanon diperkirakan mencapai 495 persen dari PDB, jauh melebihi tingkat yang sebelumnya melumpuhkan beberapa negara Eropa.
Krisis Panjang di Lebanon
Bersamaan dengan perang saudara, pasukan Suriah memasuki Lebanon pada tahun 1976 dan melanjutkan pendudukan mereka hingga 30 April 2005.
Selama masa pendudukan tersebut, Suriah memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap pemerintahan, ekonomi, dan masyarakat Lebanon, baik secara militer maupun politik.
Pasukan Suriah menarik diri dari Lebanon setelah pembunuhan mantan Perdana Menteri Lebanon Rafiq al-Hariri pada tahun 2005. Pembunuhan Hariri merupakan peristiwa penting dalam politik dan masyarakat Lebanon, yang dirusak oleh perpecahan sektarian.
Meskipun Suriah menarik diri, tahun 2006 terjadi perang antara Israel dan Hizbullah.
Perpecahan dan dampak dari perang saudara telah menciptakan pertikaian politik yang menghalangi tercapainya kesepakatan mengenai jabatan Presiden. Negara tersebut tidak memiliki pemimpin politik dari tahun 2014 hingga 2016.
Jabatan Presiden masih kosong sejak 2022 setelah Michel Aoun meninggalkan jabatan presiden.
Berjuang Melawan Krisis
Dampak sosial dari krisis ini sangat besar.
Banyak warga Lebanon yang putus asa ingin meninggalkan negara itu, dan beberapa di antaranya mencoba melakukan perjalanan berbahaya untuk mencapai Eropa.
Kota-kota yang dulunya makmur kini dipenuhi jejak kemiskinan, dengan anak-anak mengemis di jalanan dan keluarga-keluarga berjuang untuk memenuhi kebutuhan pokok.
Karena tidak adanya dukungan negara yang efektif, kelompok-kelompok masyarakat sipil telah turun tangan untuk menyediakan layanan-layanan penting, termasuk distribusi makanan dan perawatan kesehatan.
Namun, kehidupan malam di Beirut, menurut beberapa laporan, adalah salah satu yang terbaik di Timur Tengah.
Pada bulan Mei, sebuah laporan di Metro Inggris mengatakan bahwa bar dan klub di Beirut beroperasi seperti biasa, memutar musik house hingga dini hari.
“Klub adalah satu-satunya tempat di mana isu sektarian tidak menjadi masalah. Kami seperti saudara di sana,” kata Gabriel El Murr, pemilik Clique, kepada Metro.
Bagaimana Lebanon, Paris-nya Timur Tengah, menjadi distopia modern tercermin pada fasad The Saint George Hotel Beirut.
Hotel Beirut yang pernah menjadi tempat menginap bintang Hollywood Elizabeth Taylor, Richard Burton dan Marlon Brando, serta bintang muda Prancis Brigitte Bardot, dan bangsawan seperti Raja Hussein dari Yordania, dan Shah Iran, menampilkan eksterior yang rusak parah.
Rafiq al-Hariri dibunuh dalam sebuah ledakan bom mobil besar di luar hotel pada tanggal 14 Februari 2005.
Pemilik hotel, Fady Khoury, terluka ringan dalam serangan itu, yang menurutnya menyebabkan kerugian jutaan dolar.
Sekitar 1.800 kg TNT digunakan dalam ledakan itu, dan semua bangunan di dekatnya, termasuk hotel ikonik itu, rusak.
Itu adalah keruntuhan menyeluruh masyarakat Lebanon – dari politik hingga ekonomi – yang berakar pada perpecahan sektarian yang menyebabkannya merosot tajam dari maskot seni, budaya, dan kehidupan kelas atas menjadi rumah bagi Hizbullah.
Sumber: IT/Reuters/Metro