Sebuah Cerita Tentang Kasih Sayang, Pengabdian dan Pengorbanan, Review Novel “Rahasia Salinem”
Judul: Rahasia Salinem
Penulis: Briliant Yotenega & Wisnu Suryaning Adji
Penerbit: Bentang Pustaka, Yogyakarta
Tahun terbit: 2024
Jumlah halaman: 411
Rahasia Salinem.
Saya menemukan buku ini ketika jalan jalan ke Gramedia bersama anak saya.
Judulnya yang begitu singkat tapi sangat ‘njawani’ membuat saya tak ragu untuk membelinya. Apalagi ketika membaca sinopsis singkat di bagian belakang buku yang intinya ada kaitan erat antara Salinem, sambel pecel, dan gejolak politik, perang dan perlawanan yang bisa melindas siapa saja.
Kisah berawal dari meninggalnya Mbah Nem atau Mbah Salinem. Sesudah dimakamkan keluarga besar Mbah Nem yang masih merupakan keluarga bangsawan melakukan rapat keluarga dan membuka kembali silsilah keluarga besar mereka.
Tyo cucu kesayangan Mbah Nem merasa heran karena melihat nama Mbak Salinem tidak ada dalam silsilah.
Saat itulah Tyo dan cucu-cucu yang lain baru tahu bahwa Mbah Salinem bukan nenek mereka sebenarnya.
Cover depan novel Rahasia Salinem, dokumentasi pribadi
Mbah Nem sebenarnya adalah pembantu dalam keluarga mereka. Tapi karena begitu dekat dan penuh kasih sayang, mereka mengira Mbah Nem adalah nenek mereka sendiri.
Penasaran bagaimana bisa Mbah Nem memiliki kedudukan yang begitu istimewa dalam keluarga mereka, Tyo terus melakukan investigasi dengan bertanya pada ayah, paman, bibi bahkan orang yang tak sengaja mereka ‘temukan’ di Surakarta ketika ia dan bulik Ning nya ingin bernostalgia di rumah Prawit Solo.
Tentang Salinem sendiri, ia mempunyai masa kecil yang suram. Ibunya meninggal saat dia lahir. Salinem dibesarkan di bawah asuhan Salimun ayahnya dan Daliyem adik ibunya.
Salimun seorang kusir kereta kuda kesayangan Wedana, sementara Daliyem seorang penjual pecel. Karena tidak ada yang menunggu, setiap hari Salinem ikut bibinya berjualan di pasar.
Seiring berjalannya waktu, karena prihatin melihat Salinem yang setiap hari dititipkan bibinya yang berjualan di pasar, Pak Wedana menawarkan pada Salimun agar anaknya tinggal di rumahnya. Kebetulan Pak Wedana mempunyai anak perempuan yang juga memerlukan teman yang bernama Soeratmi
Singkat cerita Salinem akhirnya tinggal di Kawedanan dan semakin akrab dengan Soeratmi. Ia juga bersahabat dengan Kartinah yang juga sahabat Soeratmi.
Persahabatan yang tulus antara ketiganya membuat mereka sejenak melupakan bahwa derajat mereka tidak sama. Tapi Salinem tetap menanamkan pada dirinya bahwbegitua dia adalah abdi, dan selalu memanggil kedua sahabatnya dengan ndara.
Ketika semakin dewasa Soekatmo, kakak Soeratmi jatuh cinta pada Kartinah dan akhirnya menikah. Salinem mengikuti Kartinah dan menjadi saksi jatuh bangun keluarga Kartinah sejak kedatangan Jepang, zaman kemerdekaan dan tahun 1965.
Masa-masa yang demikian sulit. Di masa itu keluarga Kartinah mengalami kejayaan dan juga jatuh miskin karena usahanya bangkrut karena Soekatmo meninggal dan akhirnya memaksa mereka harus pindah rumah.
Padahal saat itu sudah ada lima anak yang harus dihidupi. Betapa dua orang perempuan berjuang menghidupi lima anak kecil dalam kondisi yang begitu minim.
Satu kalimat yang berisi semangat yang begitu mengharukan dari Salinem adalah ketika Salinem menggendong Ning, bayi kecil Kartinah tatkala pemakaman ayahnya.
“Salinem membelai dahi bayi kecil itu sekali lagi. Seperti kebun, tunas tunas yang tumbuh harus dijaga baik-baik. Apapun yang terjadi kebun harus tetap dipertahankan.”
Kartinah akhirnya bekerja menjadi tukang masak di sebuah hotel dan Salinem merintis usaha menjual pecel di depan sebuah SD Negeri.
Berkat perjuangan, kasih sayang dan kesetiaan Salinem akhirnya kelima anak kecil tadi berhasil jadi ‘orang’ , bahkan cucu-cucu Kartinah menyangka bahwa Salinem adalah nenek mereka sendiri.
Novel yang berlatar cerita Solo, Klaten, Sukoharjo, dan sekitarnya di masa penjajahan Belada, Jepang bahkan masa awal kemerdekaan Indonesia ini saya habiskan dalam waktu 3-4 hari. Agak lebih lama dari novel biasanya karena ada begian bagian yang saya baca berulang karena memang bahasanya menarik dan sarat pesan.
Lalu mengapa pecel Salinem memiliki rasa yang demikian enak berbeda dengan pecel lainnya? Ada rahasia apa di baliknya?
Bagaimana nasib cinta Salinem sendiri?
Sepertinya akan lebih mengasyikkan jika pembaca menikmati sendiri novel ini.
Novel yang diterbitkan pertama kali tahun 2019 ini memberikan pelajaran bahwa kasih sayang, pengabdian yang tulus juga pengorbanan akan membuahkan kasih sayang dari orang-orang sekitar kita juga.
Semoga bermanfaat, salam Kompasiana…