Informasi Terpercaya Masa Kini

Politik Sandera di Balik Batalnya Anies Maju Pilkada 2024 Lewat PDIP,4 Faktor Ini jadi Penghalang

0 3

Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Usai gagal pada Pilpres 2024, mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan kembali menemui kegagalan saat hendak ingin maju kembali sebagai Calon Gubernur pada kontestasi Pilkada Serentak 2024.

Pihak PDIP di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri sempat ingin menduetkan Anies dengan kader PDIP yang juga mantan Gubernur Banten, Rano Karno, untuk Pilkada Jakarta, namun upaya itu gagal terlaksana karena beberapa kendala.

Tak berhenti di situ. Pihak PDIP pun sempat ingin menduetkan Anies Baswedan dengan Ketua DPD PDIP Jawa Barat Ono Surono untuk kontestasi Pilkada Jawa Barat. Lagi, rencana itu kandas karena adanya penghalang.

Lalu, sebenarnya apa penyebab gagalnya Anies Baswedan maju pada Pilkada Serentak 2024?

Basecamp Tim Operasional Anies Baswedan, di Jalan Brawijaya X, Jakarta Selatan tampak ramai, sejak Kamis (29/8/2024) petang hingga malam.

Para awak media menunggu informasi mengenai kelanjutan maju atau tidaknya Anies Baswedan berpasangan dengan Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Barat, Ono Surono, di Pilgub Jawa Barat 2024.

Anies memang sempat dikabarkan akan berangkat ke Bandung, pada hari yang sama. Staf khusus Anies Baswedan, Naufal Firman Yursak, mengunggah di akun X pribadinya, @firmanyursak, foto selembar tiket kereta api jarak jauh dengan keberangkatan dari Stasiun Gambir. Foto itu diunggahnya pukul 18.25 WIB.

Adapun pada tiket kereta api jarak jauh tersebut tertulis, tujuan keberangkatan ke Bandung, pada pukul 21.24 WIB. Namun pukul 20.30 WIB kabar jadi atau tidaknya Anies berangkat ke Bandung sumir.

Hingga sekira pukul 21.00 WIB, Anies dipastikan tidak jadi melenggang di kontestasi pemilihan gubernur Jawa Barat. Juru Bicara Anies, Sahrin Hamid, memastikan informasi tersebut kepada para wartawan.

“Anies tidak maju di (Pilgub) Jabar,” tegas Sahrin saat menemui wartawan di depan pintu utama rumah pemenangan Anies, di Brawijaya X.

Baca juga: Suara Jokowi Meninggi dan Mata Melebar Dituding jadi Dalang Gagalnya Anies Maju Pilkada

Keterangan Sahrin tersebut tentu mengejutkan publik, khususnya para pendukung Anies. Sebab, pada Kamis sore, Bendahara DPC PDIP Kota Bandung, Folmer Siswanto, dengan percaya diri menyebut kepastian Anies dan Ono mendaftar ke KPU Jawa Barat sudah 95 persen.

Namun, PDI Perjuangan nyatanya mengusung duet calon gubernur Jeje Wiradinata dan calon wakil gubernur Ronal Surapradja di Jawa Barat.

Sebelumnya, Anies lebih dulu gagal maju di Pilgub Jakarta 2024. Duetnya dengan pemeran film legendaris ‘Si Doel Anak Betawi’, Rano Karno, kandas usai PDI Perjuangan mengusung Pramono Anung-Rano Karno.

Kembali ke momen pendaftaran Jeje-Ronal di Jawa Barat, Ono Surono yang mengantarkan pasangan tersebut mendaftarkan diri ke KPU Jawa Barat, menjelaskan ada kekuatan besar yang menggagalkan duet Anies dengan dirinya di Pilgub Jawa Barat 2024. Dalam sambutannya, Kamis malam, nama “Mulyono” disebut Ono sebagai dalang di balik gagalnya Anies maju di Jawa Barat.

Nama “Mulyono” diketahui merupakan nama kecil Presiden Joko Widodo alias Jokowi, yang diubah ibundanya lantaran Jokowi kecil kerap mengalami berbagai masalah kesehatan.

Baca juga: Bukan Mulyono, Anies Batal Maju Pilkada Dinilai Karena PDIP Setengah Hati dan Terkait Kasus Ahok

Hal itu sempat diungkapkan Jokowi sendiri dalam bukunya berjudul “Jokowi Menuju Cahaya”, yang diluncurkan pada 2018 silam.

Hal ini memunculkan dugaan adanya keterlibatan Jokowi dalam menjegal pencalonan Anies di Pilkada Jakarta dan Pilgub Jawa Barat.

Terkait rentetan peristiwa itu, pengamat politik sekaligus pakar hukum tata negara Refly Harun menilai, ada empat faktor yang jadi ancaman sehingga menghalangi Anies maju sebagai Calon Gubernur pada Pilkada Serentak 2024 lewat PDIP.

Diketahui, Refly merupakan sosok yang memiliki kedekatan dengan Anies. Terbukti, pada sengketa Pilpres 2024 lalu di Mahkamah Konstitusi, ia menjadi bagian dari Tim Hukum Anies-Muhaimin.

Faktor pertama, menurut Refly, Anies tidak ingin menjadi kader PDI Perjuangan lantaran mantan Gubernur Jakarta itu memiliki daya tawar tersendiri. 

“Kalau kita lihat, suara Anies dan suara PDI Perjuangan itu banyakan suara Anies. Karena Anies ikut Pilpres. Punya basis. Sehingga, menurut saya, dia punya posisi tawar yang tidak mungkin dia negosiasikan,” kata Refly, kepada Tribunnews, Jumat (30/8/2024).

Faktor kedua, Refly menyoroti, ada beda pandangan di internal PDI Perjuangan, yakni soal pihak yang pro dan kontra jika partai banteng itu mengusung Anies, meskipun yang berposisi kontra pada akhirnya akan tunduk pada keputusan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.

Faktor ketiga, sekalipun keputusan PDI Perjuangan tergantung Megawati, namun Refly menduga, pertimbangan dari putri Presiden RI Soekarno itu juga dicampuri oleh cawe-cawe Istana, yang mana Jokowi dinilai sebagai figur yang tidak suka dengan sosok Anies Baswedan.

Sehingga, Refly menilai, partai apapun yang hendak mengusung Anies akan dicegah oleh Istana.

Faktor keempat, adanya kemungkinan Megawati berkonsolidasi dengan pemerintahan Presiden Terpilih Prabowo Subianto mendatang.

Prabowo dinilai tidak akan menghendaki konsolidasi dengan Megawati, jika ada Anies, yang kata Refly, berpotensi menjadi pesaing Menteri Pertahanan era Jokowi itu.

Baca juga: Kelakar Prabowo: Hati-Hati Ketua Umum Partai, Banyak Kader Gerindra yang Saya Susupkan

Merinci soal dugaan cawe-cawe Jokowi dalam hal gagalnya Anies maju Pilgub 2024, Refly menyebutkan, ada ancaman yang diarahkan Jokowi kepada Megawati jika tetap mengusung Anies.

Berdasarkan analisisnya, Refly menilai, praktik politik sandera yang dilakukan Jokowi ini serupa dengan sejumlah kasus yang melibatkan beberapa politisi, beberapa waktu belakangan.

Misalnya, terkait perkara dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang melibatkan eks Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto.

Perkara tersebut santer diduga menjadi alasan Airlangga mundur dari kursi jabatan pimpinan Golkar, pada Sabtu (10/8/2024) malam.

Padahal, Musyawarah Nasional (Munas) partai berlambang beringin itu baru akan digelar, pada Desember 2024 mendatang.

Kuat dugaan, bahwa peristiwa hengkangnya Airlangga sebagai Ketua Umum Golkar merupakan cara Jokowi mengambil alih Golkar. 

Baca juga: Golkar Heran Jokowi Tetap Dibawa-bawa Jadi Penyebab Anies Gagal Maju Pilgub Jabar

Begitu juga dengan momen pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar alias Cak Imin, jelang Pilpres 2024 lalu.

“Menurut saya, politik itu tidak bisa kita mengatakan sesuatu exactly (secara tepat). Tetapi ini sudah menjadi rahasia umum, menurut saya. Di mana pemerintahan (Jokowi) ini selalu menggunakan cara-cara untuk menyandra orang. Sebagai contoh yang paling terakhir ya Airlangga Hartarto. Dan kita tahu bahwa Airlangga memang dieksploitasi kasus hukumnya,” ucap Refly.

Hal demikian juga diduga terjadi dengan PDI Perjuangan. Kata Refly, beberapa pemberitaan di media massa memunculkan kasus-kasus dugaan korupsi yang melibatkan orang-orang terdekat Megawati. Sebut saja, kasus dugaan korupsi BTS 4G yang disebut-sebut melibatkan menantu Megawati sekaligus suami Ketua DPP PDI Perjuangan Puan Maharani, yakni Hapsoro Sukmonohadi.

Kemudian, peristiwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa keponakan Megawati, Riyan Dediano dan Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto terkait kasus dugaan korupsi Dirjen Perkeretaapian (DJKA), pada Senin, 26 Agustus 2024 lalu.

Selain itu, Refly juga menduga adanya ancaman dari Jokowi kepada Megawati terkait isu revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), yang mengancam Puan Maharani tak bisa menduduki jabatan Ketua DPR lagi.

“Karena undang-undang MD3 itu under control-nya Jokowi. Oke. Dia bisa bikin perppu yang sehari jadi yang mengatakan bahwa ketua DPR itu tidak otomatis (terpilih berdasarkan) kursi terbanyak. Tapi harus pemilihan,” jelasnya.

Isu-isu hukum tersebut, yang menurut Refly, biasanya bersifat koinsidensi atau kebetulan dengan momen-momen penting politik.

Leave a comment