Tongkat Pangeran Diponegoro: Mitos dan Sejarahnya
KOMPAS.com – Salah satu pusaka terkenal dari Pangeran Diponegoro berwujud sebuah tongkat.
Nama tongkat Pangeran Diponegoro adalah Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro (Cakra).
Tongkat sepanjang 153 cm tersebut memiliki simbol cakra di ujung atasnya.
Selama 179 tahun, Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro disimpan oleh keturunan mantan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Belanda, dan baru diserahkan ke Indonesia pada 2015.
Tongkat Pangeran Diponegoro ini menarik perhatian banyak pihak karena keberadaannya diselimuti dengan mitos yang masih dipercaya sebagian orang hingga kini.
Berikut ini sejarah dan mitos tongkat Pangeran Diponegoro.
Baca juga: Keris Kiai Nogo Siluman, Pusaka Milik Pangeran Diponegoro
Sejarah Tongkat Pangeran Diponegoro
Menurut ahli sejarah Diponegoro asal Inggris, Peter Carey, Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro diterima Pangeran Diponegoro dari seorang warga pada sekitar tahun 1815.
Konon, tongkat tersebut dibuat pada abad ke-16 untuk seorang raja Demak. Namun, tidak diketahui raja yang dimaksud dan siapa yang membuat tongkat ini.
Saat terjadi gejolak di Demak yang mengakibatkan runtuhnya kerajaan, Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro jatuh ke tangan rakyat biasa, yang mewariskannya secara turun temurun.
Pada 1815, atau sekitar 10 tahun sebelum meletus Perang Diponegoro (1825-1830), tongkat itu dipersembahkan kepada Pangeran Diponegoro.
Sejak itu, Pangeran Diponegoro membawa Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro dalam setiap perjalanan spiritualnya ke berbagai gua dan tempat keramat di selatan Yogyakarta.
Antara 1825 hingga 1830, Pangeran Diponegoro mengobarkan perang terhadap Belanda, yang kemudian dikenal sebagai Perang Diponegoro atau Perang Jawa.
Pada Maret 1830, Perang Jawa usai setelah Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan oleh Belanda.
Baca juga: Mengapa Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro Sangat Terkenal?
Setelah penangkapan Pangeran Diponegoro, Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro jatuh ke tangan Raden Mas Papak alias Raden Tumenggung Mengkudirjo.
Raden Tumenggung Mengkudirjo, yang kemudian hari dikenal sebagai Pangeran Adipati Notoprojo, merupakan cucu komandan perempuan pasukan Diponegoro, Nyi Ageng Serang.
Saat meletus Perang Diponegoro, Pangeran Adipati Notoprojo berada di barisan Diponegoro, tetapi membelot ke pihak Belanda pada 1827.
Pangeran Notoprojo kemudian menjadi sekutu politik bagi Hindia Belanda.
Pada 1834, Pangeran Notoprojo memberikan Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro kepada Jean Chretien Baud, Gubernur Jenderal Hindia Belanda periode 1833-1836.
Diduga, Pangeran Notoprojo berusaha mengambil hati penguasa kolonial Hindia Belanda dengan memberikan tongkat Pangeran Diponegoro.
Ketika JC Baud kembali ke Belanda pada 1836, tongkat ini ikut dibawa dan sejak itu disimpan oleh keurunan Baud.
Baca juga: Biografi Pangeran Diponegoro, Sang Pemimpin Perang Jawa
Pada Februari 2015, atau setelah 179 tahun lamanya, Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro akhirnya kembali ke Indonesia.
Penyerahan tongkat dilakukan oleh Michiel Baud, mewakili keluarga besar keturunan JC Baud, yang diterima oleh Anies Baswedan, selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, mewakili Presiden Joko Widodo yang sedang menghadiri agenda kenegaraan ke Filipina.
Mitos Tongkat Pangeran Diponegoro
Salah satu mitos tongkat Pangeran Diponegoro yang paling terkenal adalah orang yang menerimanya akan menjadi pemimpin.
Mitos dan kesaktian tongkat Diponegoro mungkin berasal dari bentuk tongkat ini, yang pucuknya terdapat besi ukir berbentuk cakra.
Berdasarkan penelusuran Peter Carey, Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro menjadi artefak spiritual sangat penting bagi Pangeran Diponegoro, terutama simbol cakra di ujung atas tongkat.
Berdasarkan mitologi Jawa, cakra sering digambarkan digenggam Dewa Wisnu pada inkarnasinya yang ketujuh sebagai penguasa dunia.
Hal itu dikaitkan dengan kedatangan Sang Ratu Adil, atau gelar Ratu Adil Jawa “Erucokro”.
Baca juga: Kisah Pangeran Diponegoro Ditangkap dan Diasingkan Belanda
Istilah Erucokro nyaris sepenuhnya cocok dengan pandangan Pangeran Diponegoro atas dirinya sendiri sebagai seorang wali akhir zaman, seorang wali yang akan memandu tugas duniawi.
Gelar ini disandang oleh Pangeran Diponegoro pada awal Perang Jawa, yang menunjukkan bahwa sang pangeran merupakan pelaksana peran agung Jawa berupa Ratu Adil, yang akan memimpin perang suci untuk mengembalikan tatanan moral ilahi demi terjaminnya kesejahteraan rakyat Jawa.
Peter Carey juga mengatakan bahwa panji pertempuran Pangeran Diponegoro menggunakan simbol cakra dengan panah yang menyilang.
Dalam buku Peter Carey, Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855, terdapat kisah lain mengenai kesaktian tongkat Diponegoro.
Menurut beberapa cerita, ketika Pangeran Diponegoro berada di pasar di Manado dan merasa kurang mendapat sikap hormat, ia melemparkan tongkat ke tanah dan seluruh pasar menjadi terguncang bagai diterpa gempa.
Referensi:
- Carey, Peter. 2008. Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 Jilid I (Terjemahan KPG). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.