Belajar Kelola Uang dari Buku Fiksi The Richiest Man in Babylon
“Kekayaan itu seperti pohon, yang tumbuh dari benih yang kecil. Keping tembaga pertama yang kau tabung merupakan benih dari mana pohon kekayaanmu akan terus tumbuh. Makin cepat kau tanam benih itu, makin cepat pula pohon itu tumbuh. Dan makin rajin kau pupuk dan sirami pohon itu dengan terus-menerus mengisi tabungan, makin cepat pula akan kau nikmati kerimbunan di bawah naungannya.”
The Richest Man in Babylon atau Orang Terkaya di Babilonia merupakan buku karya George Samuel Clason.
Buku ini awalnya dari selembaran pamflet yang akhirnya dibukukan, ditulis sudah lama sekali di tahun 1926 tetapi prinsipnya masih berlaku sampai sekarang, dan mungkin untuk selamanya.
Buku yang sudah terjual lebih dari jutaan eksemplar di seluruh dunia, menjadi buku favorit dalam belajar cara mengelola keuangan.
Buku ini diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama dengan jumlah halaman 201 halaman.
Tidak hanya cocok dibaca untuk orang dewasa saja, menurutku prinsip menabung dan investasi yang diajarkan dalam buku ini sudah bisa diajarkan dan diterapkan ke anak atau adik yang masih berusia SD atau SMP untuk menumbuhkan kebiasaan yang nantinya akan mudah mereka lanjutkan ketika dewasa kelak.
Buku ini ditampilkan secara fiksi dari kisah seorang yang bernama Arkad, yaitu orang terkaya di Babilonia. Seorang pekerja biasa yang berhasil membangun pundi-pundi kekayaannya melalui investasi dari rumus 1/10 pendapatan yang ia peroleh selama bekerja.
Tidak hanya soal hitungan teknis menabung, buku ini juga mengingatkan pembaca untuk bijak dan hati-hati dalam memilih produk investasi. Jangan hanya tergiur bunga yang tinggi dan tidak masuk akal yang pada akhirnya membuat uang kita hilang, bagaimana memilih produk investasi yang aman.
dari bagian 1/10 yang disisihkan lalu bisa menjadi gulungan besar uang yang akan menghidupi kita di masa yang akan datang,
tujuannya untuk mencapai Financial Freedom, bagaimana kita hidup dari pasive income.
Terkadang kita fokus banget buat nabung yang akhirnya kita lupa bahwa hidup ini singkat dan perlu dinikmati, ada kalimat yang sangat saya suka dari buku ini,
” Nikmati hidup sementara kau masih ada di sini. Jangan terlalu menyiksa diri dan berusaha menabung terlalu banyak. Bila sepersepuluh dasri seluruh pendapatanmu merupakan jumlah yang dapat kau sisihkan dengan enak, puaslah dengan bagian itu. Hiduplah sesuai dengan pendapatanmu dan jangan biarkan terlalu kikir dan takut untuk menggunakannya. Hidup ini baik dan kaya dengan hal-hal berharga dan pantas dinikmati.”
Jika dalam buku ini diajarkan hanya perlu 1/10, mungkin Kompasianer pernah dengar rumus kelola uang ala Mba Prita Ghozie yang sempat saya tulis juga diartikel sebelumnya, dengan rumus saving(30%), living(50%), dan playing(20%) atau saya pernah ikut juga seminar Pak Tung Desem Waringin dengan pengalamannya membangun pasive income yang dia buat dari lebih 50% pendapatannya saat masih kerja di sebuah Bank, beliau hanya hidup tidak sampai 50% dari total pendapatannya.
Apapun rumusnya dikembalikan lagi dari kondisi masing-masing orang, yang pasti tujuannya sama untuk kemakmuran di masa depan yang diperoleh dari hasil investasi (pasive income).
Jadi Kompasianer cocok dengan tipe cara kelola uang yang mana?