Amangkurat I ‘Raja Jawa’ Kian Bengis Usai Pindah Ibu Kota dan Bikin Istana Megah Baru
Bisnis.com, JAKARTA — Istilah ‘Raja Jawa’ disinggung oleh Ketua Umum Golkar Bahlil Lahadalia. Ia berseloroh supaya tidak macam-macam apalagi melawan ‘Raja Jawa’ karena nanti bisa celaka.
Raja Jawa adalah sebutan gelar untuk penguasa di tanah Jawa, khusus Mataram Islam. Setiap raja atau sultan yang bertahta di Mataram Islam, biasanya akan diberi gelar sebagai ‘Khalifatullah ing Tanah Jawi’ atau pemimpin di tanah Jawa. Hanya saja, tidak semua raja di Jawa memiliki tabiat yang baik, salah satu contohnya adalah Amangkurat 1.
Amangkurat 1 disebut semakin aneh bahkan kejam usai memindahkan kraton dari Karta ke Plered. Ia membangun istana megah dengan tembok batu bata merah.
Baca Juga : Polisi Terjunkan 2.013 Personel Kawal Demo Tolak Pengesahan RUU Pilkada di DPR
Adapun Amangkurat I adalah raja Mataram penerus Sultan Agung, penguasa yang menguasai hampir sebagian besar Pulau Jawa. Namun karena tindak tanduknya, Amangkurat 1 bernasib tragis. Kraton Mataram hancur lebur. Ia meninggal dalam pelarian.
M.C Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 menulis bahwa tabiat Amangkurat I sejak awal sudah tidak baik. Ia terlibat skandal dengan istri seorang panglima Mataram, Tumenggung Wiraguna, ketika masih berstatus sebagai putra mahkota.
Baca Juga : : Sejarah Panjang Mataram di Lakon Amangkurat, Amangkurat
Selain itu, ia juga memusuhi para pemuka agama. Salah satu pemicunya adalah gerakan perlawanan yang dilakukan akibat kematian Wiraguna. Gerakan ini diinisiasi oleh Pangeran Alit yang terbunuh saat mencoba menyerang Kraton di Karta.
Ricklefs memberikan gambaran cukup detail tentang perlakuan Amangkurat I terhadap para pemuka agama Islam. Amangkurat mulanya menyusun daftar pemuka agama yang kemudian dikumpulkan di halaman istana. Setelah itu, catatan VOC yang disusun Rijklofs van Goens, antara 5.000 dan 6.000 pria, wanita dan anak dibantai.
Baca Juga : : Sisi Gelap Raja Jawa, Kisah Bengis dan Kematian Tragis Amangkurat I
Menariknya setelah peristiwa pembantaian itu, Amangkurat I memilih untuk memindahkan ‘ibu kota’ alias kraton-nya dari Karta ke Plered. Istana Plered jauh lebih megah dibandingkan dengan Karta yang dibangun dari kayu. Bahan bangunannya menggunakan batu bata merah.
Namun, menurut Ricklefs, seiring dengan pembangunan ibu kota baru tersebut, sifat Amangkurat I justru semakin kejam. Menurutnya teman-teman lama Sultan Agung. Orang-orang dibunuh untuk memberikan tempat kepada orang muda. Ia bahkan membunuh ayah mertuanya sendiri, Pangeran Pekik dari Surabaya.
“Amangkurat 1, berusaha keras meniadakan konsensus orang-orang terkemuka yang memiliki arti penting bagi kedudukan Raja Jawa,” tulis Ricklefs.
Adapun sikap arogansi Amangkurat 1 itu kemudian memicu perlawanan. Orang-orang Mataram yang tidak pro Amangkurat membangun aliansi dengan Trunajaya, pangeran dari Madura. Aliansi itu semakin kuat dengan kehadiran orang-orang Makassar yang meminta tanah ke Mataram setelah terasing akibat Gowa ditaklukkan Belanda.
Amangkurat 1 terdesak, ia lari ke arah barat untuk meminta bantuan VOC. Istana baru yang megah di Plered jatuh dan menjadi jarahan pasukan Trunajaya.
Amangkurat 1 terus melarikan diri hingga pada Juli 1677 ia wafat. Pada tanggal 13 Juli 1677 ia dimakamkan di Tegal Wangi, bagian selatan dari Tegal saat ini.