Tren Dumb Phone Menggugat Realitas
Sebagai generasi milenial yang merasakan betul transisi pesatnya perkembangan teknologi digital, saya hanya ingin mengatakan bahwa saya tidak mau menjadi orang yang HIPOKRIT yang dengan percaya dirinya berkata bahwa saya bisa hidup tanpa smartphone.
Aktivitas pekerjaan saya sebagai seorang freelancer mengharuskan saya untuk mendapatkan informasi atau data secara mobile dan cepat. Saya juga merasa perlu untuk tahu apa yang sedang terjadi di berbagai tempat yang berbeda sementara saya tetap melakukan pekerjaan saya di dunia nyata—dan tentu saja aktualisasi di media sosial saya barang sesekali.
Baca juga: Batas Usia Kerja dan 2 Hal Mengapa Selayaknya Dihapuskan Saja
Fungsi smartphone bagi saya ada untuk itu semua. Tapi, meskipun demikian saya punya kontrol penuh atasnya.
***
Adalah sesuatu yang patut saya syukuri, mengapa saya belum juga tergiur menukar ponsel (telepon seluler) jadul saya dengan yang baru meski rasa-rasanya saya perlu dan bisa menggantinya kapan saja.
Namun, ponsel yang sudah saya pakai sejak 2017 ini masih terbilang “gagah” hingga sekarang—(ya walaupun kecepatannya memproses data tidak bisa dikatakan kencang-kencang amat. Belum lagi memori internalnya yang terbatas. Namun, meskipun demikian, saya tidak pernah tergiur menggunakan memori external);
setidaknya ponsel saya yang terbilang jadul tersebut dapat mencegah saya untuk tergoda mengunduh banyak aplikasi yang justru memberatkan kerja ponsel yang bisa berpotensi membuat saya misuh-misuh terhadap diri sendiri.
Intinya, selama segala urusan saya masih bisa saya tangani, termasuk pekerjaan saya, saya tetap akan memakainya. Setidaknya, hingga disaat saya merasa “sudah saatnya”. Lagipula, saya termasuk tipikal orang yang awet memakai suatu barang.
Dumb Phone dan “Kampanyenya”
Akhir-akhir ini tren dumb phone jadi buah bibir.
Seperti kita tahu, tren ini adalah tren dari sekumpulan orang yang “berkampanye” untuk mengembalikan kejayaan fungsi asli ponsel yakni sebatas menelpon dan berkirim pesan singkat serta fitur-fitur dasar lain yang terkait di ponsel tersebut.
Tetapi, mengapa tren dumb phone menjadi sesuatu yang wah diperbincangkan orang-orang?
***
Haruskah saya menaruh curiga pada para pelakunya yang mungkin telanjur sudah kelelahan secara psikologis karena tidak bisa menangani kecanduannya sendiri terhadap penggunaan smartphone?
Kalau jawabannya hidup tanpa smartphone dapat mengurangi stres digital dan meningkatkan kualitas hidup—kemudian menggantinya dengan menjadi pelaku dumb phone—saya juga tidak ingin mendebat.
Namun, saya pribadi lebih suka menyebutnya sebagai preferensi lain.
Baca juga: Normalisasi Jangan Sembarang Membagi Nomor Kontak Orang
Hanya saja, jika menyebut smartphone sebagai dalang kelelahan mental, saya rasa tidak bijak juga; seseorang tidak bisa begitu saja menggeneralisasi masalah yang dialaminya kemudian melemparnya pada khalayak dan memengaruhi orang-orang untuk menyetujuinya.
Perlu diingat, para insinyur atau para ahli yang terlibat pembuatan dan pengembangan teknologi telepon pintar, mereka bukan orang bodoh.
Dengan tegas dan lugas yang ingin saya katakan, telepon pintar itu tidak akan bisa menunjukkan “kuasanya” tanpa internet yang terkoneksi.
Coba saja matikan data selulernya—atau jangan sengaja mencari wifi, niscaya smartphone hanyalah seonggok telepon dengan kategori “biasa”—atau secanggih dan seringkas apapun smartphone, jika kita secara sadar tidak ingin ada dalam kendalinya, dia bisa berbuat apa?
Perlakukan saja ia sebagai mana mestinya untuk mendukung kegiatan sehari-hari—atau kalau memang sanggup untuk ditinggal berjam-jam, monggo.
Yang kita butuhkan sebenarnya hanyalah menentukan waktu kapan harus menyentuhnya dan menetapkan skala prioritas di atas segalanya. No smartphone without internet
Menyoal aktivitas kita menggunakan internet, berdasarkan dari riset data.ai “State of Mobile 2023”, masyarakat Indonesia berada di urutan pertama di dunia yang paling lama menggunakan internet pada tahun 2022 dengan durasi rata-rata penggunaan 5,7 jam per hari; orang Indonesia berada di posisi pertama kategori pengguna smartphone dengan durasi screentime paling tinggi di dunia.
Sementara itu menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) jumlah pengguna internet Indonesia tahun 2024 menembus 221.563.479 jiwa dari total populasi 278.696.200 jiwa penduduk Indonesia tahun 2023.
Jika berdasarkan hasil survei yang dirilis APJII tadi, maka tingkat penetrasi internet Indonesia menyentuh angka 79,5%; penggunanya mayoritas adalah Gen Z (kelahiran 1997-2012) dengan persentase sebanyak 34,40%, diikuti generasi milenial (kelahiran 1981-1996) sebanyak 30,62% dan Gen X (kelahiran 1965-1980) sebanyak 18,98%.
***
Masih segar dalam ingatan saya bagaimana hari-hari satu dekade ke belakang (tepatnya sebelum 2012) tentang bagaimana internet tidak seperti virus yang mewabah.
Kecepatan viralnya pun masih lebih banyak mengandalkan siaran di televisi—yang justru berkebalikan dengan yang terjadi hari-hari ini.
Pengguna internet juga bisa dibilang masih terbatas dan diakses dengan cara yang terbatas pula.
Dulu untuk sekadar tahu informasi terbaru di beberapa wilayah atau belahan dunia, seseorang akan membeli komputer beserta modemnya (untuk berselancar di internet) atau mengeluarkan uang lebih ke warnet (dekat rumah?)
Saya pelaku keduanya tentu saja.
Sekarang, tengoklah, semua ada dalam satu genggaman: smartphone. Semua kalangan hampir memiliki benda ini.
Harganya pun dari yang mahal hingga yang cuma sejuta lebih sedikit—bahkan ada yang tidak sampai kisaran satu juta.
Smartphone adiktif atau Internet adiktif?
Selaras dengan perkembangan jumlah pengguna internet tersebutlah, tak heran pabrikan ponsel dewasa ini berbondong-bondong mengeluarkan produk-produk smartphone terbaru mereka di pasaran.
Baca juga: 5 Menit: Seandainya Kita Tak Sibuk Debat di Media Sosial
Semakin canggih suatu ponsel maka semakin banyak pula kemampuan yang ia kerjakan; banyak aplikasi bisa masuk ke dalamnya—dari yang bisa mempermudah pekerjaan hingga yang digunakan untuk memperkuat “eksistensi” di mata orang-orang—dan ini mudah saja dilakukan hanya dengan bermodalkan kuota internet—dan uang berlangganan.
Menyoal internet, kita tahu bersama, semuanya ada: dari informasi yang berguna hingga yang mirip sampah!
Keingintahuan seseorang yang lebih banyak (atau hanya sekadar “mengintip”) terhadap kabar atau isu terkini merangsang sistem penghargaan dopamin, yang di otak manusia sendiri diartikan seperti pemberian sebuah hadiah. Ini bukan opini melainkan fakta penelitian.
Jadi, tak heran pada akhirnya banyak orang yang terjebak pada label FOMO (Fear Of Missing Out) karena terlalu takut melewatkan “sesuatu” di internet—alih-alih dianggap “kudet”.
Internet menyediakan “panggung” bagi orang-orang, segala tipu-tipuan dunia ditawarkan, hate speech dan hoak bertebaran. Belum lagi kasus-kasus yang tampaknya tak berkesudahan dan lain sebagainya.
Tiap sepuluh menit cek smartphone, janji lima menit scroll, tahu-tahu sudah sejam. Terkadang hingga lupa waktu terhadap pekerjaan apa yang akan atau sedang dilakukan.
Keasyikan ini sepertinya mustahil disediakan oleh dumb phone; smartphone—sebenarnya— adalah antitesis dari dumb phone itu sendiri.
Maka izinkan saya mengatakan bahwa tren dumb phone pada dasarnya sedang menggugat realitas kecanduan orang-orang terhadap penggunaan internet.
Seseorang sebenarnya tidak adiksi terhadap smartphone; ia adiksi terhadap internet.
***
Jadi, jangan salahkan smartphone; ia hanya benda mati.
Hingga pada akhirnya yang ingin saya katakan, tiap orang memang memiliki cara sendiri untuk lepas dari kecanduan—dan jika memang kecanduan terhadap internet bisa diatasi dengan kembali ke “setelan” awal sebagai pengguna dumb phone, itu kembali ke pilihan masing-masing pribadi.
Tabik.