Informasi Terpercaya Masa Kini

Benarkah Dulu Candi Borobudur Dibangun Di Tengah Danau? Apa Buktinya?

0 7

Pada awal abad 20, seorang penulis dan etnolog Belanda, membuat hepotesis: Candi Borobudur dibangun di tengah danau. Benarkah?

Oleh Drs. moehkardi

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

Intisari-Online.com – Dalam harian Algemeen Handelsblad di Den Haag, tanggal 9 September 1933, seorang penulis Belanda, W.O.J. Nieuwenkamp, telah mengemukakan suatu hipotesis tentang candi Borobudur yang cukup menggemparkan perhatian kalangan sejarawan dan peminat di masa itu.

Dalam hipotesisnya dia mengemukakan pendapat, candi Borobudur itu, katanya, dahulu dibangun di tengah-tengah danau yang kini telah mengering.

W.O.J. Nieuwenkamp (1874-1950), selain seorang penulis, juga terkenal sebagai seorang arsitek, pemahat, pelukis dan seorang etnolog. Dia tidak pernah menetap di Indonesia; tetapi minatnya yang begitu besar pada kesenian Indonesia menyebabkan dia berkali-kali mengunjungi Indonesia.

Pada akhir 1932, selama tiga bulan ia mengunjungi Bali dan Borobudur. Sebagai seorang arsitek dan pemahat, telah lama ia tertarik pada monumen ini. Sebelum itu, di awal tahun 1932, ia pernah menulis artikel tentang monumen tersebut di majalah Ned. Indie Oud en Nieuw.

Dalam tulisannya itu antara lain ia mengatakan, candi Borobudur itu sebenarnya adalah bangunan raksasa yang melukiskan bentuk bunga teratai, untuk menghormati Maetreya, tokoh Buddha di masa datang, yang menurut mitologi diceritakan lahir dari bunga teratai, sebuah bunga lambang kesucian dalam agama Buddha.

Bertitik tolak dari pendapat tersebut, ia kemudian menduga, bahwa candi itu dahulu bercat putih, dan dibangun di tengah-tengah danau, sebagai bunga teratai putih yang menyembul di atas permukaan air.

Kalau kini kita berkunjung ke Borobudur, dan dari puncak stupanya kita layangkan pandangan ke daerah sekitar candi itu, akan timbul kesan, bahwa candi itu tampaknya memang seperti dibangun di atas suatu bukit kecil di tengah-tengah daratan yang cukup luas, yang di batas cakrawalanya berbatasan dengan deretan bukit-bukit yang mengitarinya.

Kesan inilah yang mengembangkan daya fantasi Nieuwenkamp sampai pada hipotesisnya, bahwa candi tersebut dahulu dibangun di tengah-tengah danau. Sebagai seorang seniman, daya fantasi Nieuwenkamp memang hebat. Kalau kita ikuti fantasi Nieuwenkamp tersebut, di sana dahulu kita akan dapat menyaksikan suatu panorama Borobudur yang bukan main megah dan indahnya.

Bayangkan, andaikata kita berdiri di tepian danau itu, dan kita layangkan pandangan ke tengah danau, akan nampak Borobudur putih yang berdiri megah itu, berkaca dengan tenangnya di air danau yang jernih membiru; dan semuanya begitu harmonis, dengan hutan-hutan sekitarnya yang hijau melebat, dan sawah ladangnya yang luas menguning; sedang di jauh, Pegunungan Menoreh, Gunung Sumbing, Merapi dan Merbabu, biru kelabu melingkunginya. Bukan main!

Teori para geolog

Untuk menunjang hipotesisnya itu, Nieuwenkamp telah meminta pendapat pada beberapa orang geolog Belanda terkenal, di antaranya pada Prof. Dr. L.M.R. Rutten di Utrecht. Dalam tanggapannya sarjana tersebut pada pokoknya membenarkan kemungkinan adanya danau tersebut; namun demikian kebenaran hipotesis itu masih perlu diteliti dan dibuktikan.

Di kalangan para geolog di antaranya Dr. R.W. Van Bemmelen, memang ada teori yang menganggap bahwa dahulu di zaman purba, di dataran tinggi Kedu itu pernah terbentuk suatu danau. Danau itu terjadi karena aliran sungai Progo ke selatan, di celah pertemuan kaki Gunung Merapi dan pegunungan Menoreh tersumbat oleh hasil erupsi letusan Gunung Merapi yang hebat sekali. Berabad-abad kemudian barulah danau itu mengering, setelah aliran sungai Progo berhasil mengikis habis sumbatan itu.

Usaha pembuktiannya

Untuk membuktikan kebenaran hipotesisnya itu, Nieuwenkamp lalu melakukan penelitian-penelitian lebih lanjut. Di awal 1937, dengan bantuan para geolog Belanda di Jawa, dari Dinas Topografi di Jakarta, dan dari Dinas Pertambangan di Bandung, dilakukan penelitian di daerah sekitar Borobudur.

Dengan mempelajari tinggi-rendah tanah daerah tersebut dan mencari teras-teras kuno tepi danau itu, mereka berusaha merekonstruksi bentuk dan batas-batas danau tersebut.

Hasil terakhir penelitian Nieuwenkamp pernah dimuat dalam harian Algemeen Handelsblad tanggal 2 Mei 1937, lengkap dengan gambar peta danaunya, seperti yang tertera pada karangan ini. Dari hasil penelitiannya itu, Nieuwenkamp , kembali menegaskan tentang kebenaran adanya danau itu.

Dia mengatakan bahwa hampir seluruh teras-teras tepi danau kuno di sebelah tenggara yang pernah disebut oleh Prof. Dr. L.M.R. Rutten, kini berhasil ditemukan. Hanya luas danau itu ternyata lebih kecil dari apa yang ia duga sebelumnya, lebarnya hanya 1 kilometer, dan panjangnya 3 kilometer.

Di samping itu terbukti juga, bahwa Borobudur tidak terletak pada sebuah pulau, tetapi terletak pada ujung tanjung, atau tanah yang menjorok jauh ke tengah danau. Ada tanah sempit yang menghubungkan tanah pelataran Borobudur itu dengan ujung tanah, tempat ditemukannya sisa-sisa bekas biara kuno di sebelah barat laut Borobudur.

Meskipun demikian bila Borobudur itu dilihat dari jauh, dari arah tertentu, akan masih tampak seperti berdiri di atas pulau di tengah-tengah danau.

Dari gambar rekonstruksi danau itu, bisa pula kita lihat, letak dua candi yang lain, candi Pawon dan candi Mendut, yang dengan Borobudur ketiganya membentuk satu garis lurus. Berbeda dengan Borobudur, kedua candi itu semuanya terletak di daratan, candi Pawon terletak di tepi danau pada ketinggian 241,8 meter di atas permukaan laut, sedang candi Mendut terletak di ketinggian 289,3 meter di atas permukaan laut.

Menurut Nieuwenkamp, dari candi Pawon itulah dahulu bisa disaksikan pemandangan Borobudur yang paling bagus.

Pembuktian Nieuwenkamp secara topografis tersebut dilengkapi pula dengan usaha pembuktian secara toponimi. Yaitu dengan mempelajari nama-nama desa di sekitar Borobudur itu ia berusaha membuktikan bahwa daerah tersebut dahulu adalah danau.

Beberapa nama desa di daerah tersebut memang menunjukkan kaitannya dengan air, seperti : Desa Sabrangrawa, yang artinya “seberang rawa”, dan desa Bumisegara, yang artinya “tanah laut”. Selanjutnya terdapat pula nama desa Tanjung dan Tanjungsari, yang mengingatkan kita dari kata tanjung itu pada tepi danau yang menjorok ke tengah.

Teori Nieuwenkamp dan Museum Sejarah Tugu National

Waktu Nieuwenkamp dalam tahun 1833 pertama kali mengemukakan hipotesisnya, beberapa orang ahli secara spontan ada yang membantah. Seorang di antaranya adalah Letnan Kolonel van Erp, yang di harian yang sama dalam tahun itu juga membantah hipotesis tersebut.

Van Erp adalah seorang perwira genie tentara Belanda yang dalam tahun 1907 selama hampir 5 tahun telah memimpin pemugaran candi itu. Dia memahami benar segi-segi teknis bangunan tersebut, karenanya kritiknya juga berkisar pada segi-segi teknis bangunan itu.

30 tahun kemudian, yaitu pada tahun 1964, kembali teori Nieuwenkamp itu dipersoalkan lagi. Pada tahun itu, di Jakarta, dalam rangka pembangunan Museum Sejarah Tugu Nasional telah dibentuk suatu Panitia Proyek di bawah pimpinan almarhum Prof. Dr. Priyono, yang terdiri atas dua team, team ahli sejarah, yang bertanggung jawab atas segi-segi ilmiah dari adegan-adegan sejarah dalam museum itu, dan team seniman yang akan mewujudkan adegan-adegan sejarah itu dalam bentuk boneka-boneka dan lukisan-lukisan dalam diorama museum tersebut.

Panitia telah memutuskan untuk memilih adegan pembangunan candi Borobudur di abad 9 M, sebagai salah satu mata rantai dari rangkaian adegan-adegan Sejarah Nasional kita dalam museum itu. Persoalan timbul waktu desain adegan Borobudur itu hendak ditentukan, yaitu haruskah adegan Borobudur itu diberi danau seperti dalam teori Nieuwenkamp, atau tanpa berdanau.

Almarhum bekas Presiden Sukarno sebagai seorang pencinta seni, dan menaruh minat besar pada proyek tersebut, pernah menyarankan perlunya adegan Borodur itu diberi danau agar tampak lebih indah.

Di kalangan para sejarawan sebenarnya masih banyak yang meragukan kebenaran teori Nieuwenkamp itu. Masalahnya, karena tidak ada bukti-bukti epigrafis, atau sumber tertulis berupa prasasti, yang bisa digunakan sebagai pegangan untuk menunjang teori tersebut.

Katakan, andaikata danau itu pernah ada, toh masih ada lagi persoalannya; Borobudur itu dibangun ketika danau itu masih ada, ataukah pembangunannya terjadi ketika danau tersebut telah mengering? Atau kemungkinan lain lagi, candi tersebut dibangun ketika danau itu belum ada? Semuanya itu tak bisa dipastikan.

Putih atau tidak

Pendapat Nieuwenkamp bahwa candi itu bercat putih pun tak bisa dibuktikan kebenarannya. Sebab pada candi Borobudur kini tak bisa ditemukan sisa-sisa apa yang disebut bajralepa. Bajralepa adalah semacam “semen” berwarna putih yang sering dilepakan pada permukaan candi, agar candi itu bisa diberi warna dan diukir lebih halus.

Pada candi Kalasan dan candi Sari yang lebih tua usianya daripada Borobudur, sisa-sisa bajralepa itu sampai kini masih bisa ditemukan kembali, tidak demikian halnya dengan Borobudur.

Meskipun demikian, guna menanggapi saran Presiden itu, panitia akhirnya memutuskan untuk melakukan penelitian lapangan ke Borobudur, agar bisa dipastikan kemungkinan bisa tidaknya adegan Borobudur itu diberi danau. Dengan bantuan team ahli dari Dinas Geologi Bandung kemudian dilakukan pengeboran-pengeboran tanah di daerah sekitar Borobudur yang diduga dahulu adalah danau.

Hasil penelitian antara lain menunjukkan adanya sisa-sisa lapisan tanah yang memberi kesan bahwa sebagian daerah itu dahulu pernah digenangi air, tetapi tidak seluruh daerah sekitar Borobudur menunjukkan tanda-tanda demikian. Sayang, proyek pembangunan museum sejarah itu terpaksa dihentikan pada 1966 disebabkan beberapa persoalan yang terjadi ketika itu.

Leave a comment