6 Hal yang Membuat Saya Kesal saat Naik Bus AC Tarif Biasa
Bus AC Tarif Biasa (ATB) menjadi teman setia saya dalam melakukan perjalanan bekerja ke Surabaya.
Berbeda dengan Bus PATAS, bus ATB memiliki keunggulan harga tiketnya yang jauh lebih murah. Dengan rute yang sama, bus PATAS memiliki tarif sekitar 35-40 tribu rupiah. Sementara, tarif bus ATB hanya sekitar 20 ribu rupiah. Bus ATB juga memiliki AC yang cukup kencang pada tiap armadanya.
Bahkan, kini bus ATB juga melewati jalan tol sama dengan bus PATAS. Tak heran, para pekerja seperti saya pun lebih memilih bus ATB dalam perjalanan menuju ke tempat kerja atau kembali ke rumah. Meski tentunya, ada juga rute yang tidak melewati jalan tol dengan tarif yang sama.
Saya terbantu sekali dengan adanya bus ATB ini. Lantaran, untuk rute Malang-Surabaya, bus tersedia setiap 15 menit sekali dari subuh sampai menjelang tengah malam sekitar pukul 23.00. Artinya, saya bisa naik kapan pun meski harus malam atau pagi buta. Saya tidak perlu risau seperti saat naik kereta api yang hanya 5 kali perjalanan pulang pergi setiap hari. Alhasil, bus ATB pun adalah opsi utama perjalanan saya.
Namun, namanya bus tarif biasa atau setara ekonomi, tentu ada beberapa hal yang membuat saya kurang sreg dengan pelayanannya. Dalam beberapa hal, saya masih menoleransi kekurangan yang ada di dalamnya. Wong namanya murah, masak mau fasilitas mewah? Bisa sampai dengan selamat sampai Surabaya atau Malang saja adalah sesuatu yang patut disyukuri. Lalu, apa saja yang membuat saya kesal saat naik bus ATB ini?
Pertama, bus ngetem lama
Masalah ngetem ini sebenarnya menjadi masalah klasik bus-bus ekonomi atau sekarang naik kelas menjadi bus ATB. Saya paham dalam setiap perjalanan, sopir dan kondektur akan mendapatkan target untuk mendapatkan uang sekian rupiah. Mereka juga berangkat tidak selalu pada jam sibuk atau ramai penumpang.
Ada kalanya, mereka berangkat saat siang atau malam hari yang bukan jam berangkat dan pulang kerja. Alhasil, bus pun ngetem lama. Saat ini, bus sudah mulai susah ngetem di dekat terminal karena adanya petugas dari Dishub atau kepolisian. Untuk mengakalinya, bus ngetem di beberapa titik beberapa ratus meter dari terminal.
Saya sih menoleransi ngetemnya bus ini maksimal 30 menit. Lebih dari itu, saya mulai kasak-kusuk melihat jumlah penumpang yang ada di dalam bus serta potensi calon penumpang yang akan naik. Kalau sudah terlalu lama, biasanya saya memasang wajah yang cukup kusut agar ketika kondektur melihat wajah saya, ia paham bahwa waktu ngetem sudah terlalu lama. Beberapa kali trik ini berhasil dengan perkataan dari kondektur bahwa bus akan segera berangkat. Namun, seringkali trik ini gagal. Bus masih saja tak bergerak.
Kedua, penumpang dioper ke bus belakangnya
Setelah menunggu lama akibat ngetem, kadang pengalaman lebih menjengkelkan harus saya alami. Apalagi, kalau tidak dioper ke bus belakangnya dengan alasan jumlah penumpang terlalu sedikit sehingga tidak bisa memenuhi minimal setoran yang harus didapatkan. Alhasil, saya harus menunggu bus ngetem lagi.
Kejadian ini biasanya terjadi saat jam-jam sepi seperti antara pukul 9 pagi hingga pukul 12 siang. Pada waktu tersebut, jarang sekali orang pergi menggunakan bus. Makanya, tidak banyak penumpang yang terangkut dan akhirnya harus dioper ke bus belakangnya. Untung saja, biasanya waktu ngetem bus belakangnya tidak terlalu lama karena sudah mendapat limpahan penumpang dari bus depan yang balik arah ke garasinya.
Saya masih bersyukur masih dioper ke bus dengan PO yang sama atau masih menggunakan armada bus. Ada pengalaman dari seorang teman dan seorang Youtuber yang menaiki rute Malang-Blitar di sebuah PO malah dioper ke armada minibus. Walau rutenya sama, tentu saat naik minibus fasilitas yang didapatkan berbeda. Selain lebih sempit, tentu armada minibus akan lebih sering berhenti karena penumpangnya naik untuk jarak dekat. Waktu tempuh pun akhirnya menjadi lebih lama.
Ketiga, kursi yang rusak
Dalam rute ATB, kadangkala ada beberapa PO yang menjadi pemain alias menjadi operator sebuah rute. Ada PO yang memiliki armada baru dengan kursi yang empuk dan nyaman. Namun, ada juga PO yang kursinya membuat penumpang ingin segera pergi beranjak dari bus.
Mulai dari jok kursi yang sudah rusak, kursi yang tidak bisa disetting sehingga bersadar ke belakang, serta kondisi kursi yang kotor seakan tidak pernah dicuci. Diantara semuanya, saya paling menghindari kursi yang bersandar ke belakang dan tidak bisa disetting kembali. Alasannya, kursi semacam ini juga membuat penumpang belakang saya terganggu.
Biasanya, saya mengira-ngira jadwal berangkat PO yang kursinya nyaman. Jika sudah lewat dan saya tidak sedang terburu, maka lebih baik saya menunggu bus yang kursinya saya yakini banyak yang rusak berangkat dulu. Satu setengah jam perjalanan bagi saya lumayan apalagi kalau sehabis kerja butuh tidur sebentar di dalam bus.
Keempat, menyalip kendaraan di bahu tol
Diantara sekian hal yang membuat kesal, kebiasaan sopir menyalip kendaraan di jalan tol adalah kebiasaan yang paling tidak saya suka saat naik bus ATB. Kebiasaan ini sangat membahayakan dan mengancam jiwa. Larangan menyalip kendaraan dari bahu tol tertuang dalam Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 287 ayat 1. Pelanggaran terhadap larangan ini bisa dikenakan kurungan penjara 2 bulan atau denda 500.000 rupiah.
Walau ada aturannya, tetap saja bus-bus ATB masih gemar melakukan tindakan ini. Kebanyakan sih saat bus sudah ngetem terlalu lama sehingga harus mengejar waktu sampai di terminal tujuan. Kalau sudah begini, saya selalu berdoa cukup kencang agar tidak terjadi kecelakaan karena bisa saja ada kendaraan yang tiba-tiba berhenti di bahu tol dan bus tidak bisa mengerem secara baik.
Kelima, menaikturunkan penumpang di pintu tol
Sama dengan menyalip kendaraan di bahu tol, kebiasaan menaikturunkan penumpang di pintu tol juga membahayakan dan dilarang. Namun, kebiasaan ini masih saja dilakukan terutama penumpang yang naik bus dengan rute parsial. Semisal, untuk bus rute Malang-Surabaya full tol, maka ada beberapa penumpang yang turun di exit toll Kejapanan, Pasuruan.
Beberapa penumpang melakukannya karena mereka sebenarnya ingin ke kawasan pabrik di area tersebut. Jika naik bus ATB yang tidak lewat tol, maka mereka harus menempuh waktu yang lebih lama. Alhasil, mereka pun memilih naik bus Malang-Surabaya full tol secara parsial. Saya mengerti sekali smbiosis mutualisme antara awak bus dengan penumpang, tetapi tetap saja kegiatan ini sebenarnya dilarang.
Terakhir, menarik tarif tidak sewajarnya
Kebiasaan oknum kondektur bus ATB yang menarik tarif tidak sewajarnya juga menjadi hal yang mengesalkan. Kalau saya sering apesnya tidak mendapat uang kembalian sebagaimana mestinya. Misal, saat membayar dengan uang 50 ribu, saya hanya diberi kembalian 25 ribu padahal tarif semestinya adalah 20 ribu rupiah. Makanya, saya kini selalu menyiapkan uang pas agar tidak terjadi hal merugikan semacam ini.
Walau ada hal-hal yang kurang mengenakkan, bus ATB masih menjadi opsi utama perjalanan karena harganya yang murah. Bus-bus ATB juga mulai menggeser bus PATAS terutama yang sama-sama lewat tol. Perbedaan keduanya kini hanya sebatas jumlah kursi dalam bus. Jika bus PATAS menggunakan kursi dengan konfigurasi 2-2 yang lebih lega, maka bus ATB memiliki kuris dengan konfifurasi 3-2. Walau lebih sempit dan berpotensi terjepit saat jam sibuk, saya tak terlalu mempermasalahkan karena bagi saya yang penting masih bisa tidur dan selamat sampai tujuan.