Konsumsi gula berlebihan, pasien cuci darah menyesal ‘setiap hari minum kopi dan teh kemasan’
Keputusan pemerintah mengendalikan konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL) yang berlebihan pada pangan olahan diharapkan sejumlah kalangan tidak sebatas ‘seremonial‘ semata tapi juga harus disandingkan dengan pelaksanaan optimal, sosialisasi masif, dan penegakan hukum bagi produsen yang melanggar.
Pengendalian GGL tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 melalui penentuan batas maksimal kandungan, penerapan cukai, pelabelan hingga pembatasan iklan.
“Semoga peraturan ini bukan bentuk seremonial saja, tetapi kebijakan ini dapat diterapkan dan berjalan baik di masyarakat,“ kata Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Samosir.
Selain pelaksanaan, Muhamad Riski Fahrezi selaku mantan pasien gagal ginjal berharap agar sosialisasi tentang bahaya buruk konsumsi pangan kemasan tinggi GGL juga harus masif dilakukan.
“Sosialisasinya seperti di sekolah, di lingkungan rumah, hingga televisi dan sosial media, karena saat saya sebelum kena gagal ginjal, tidak tahu dampaknya separah ini, “ kata Riski yang mendapatkan transplantasi ginjal pada 2023 lalu.
Pakar kesehatan, Hasbullah Thabrany, menambahkan, penentuan cukai yang optimal juga menjadi kunci penting untuk menurunkan tingkat konsumsi GGL.
“Saya tahu pasti resistensi [dari pengusaha] akan banyak, tapi kalau kenaikan harganya tidak optimal maka tidak akan ada efeknya,“ kata Hasbullah.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan penerapan kebijakan GGL itu bertujuan untuk memperbaiki perilaku konsumsi masyarakat, kesehatan masyarakat, dan mendorong reformulasi produk industri yang lebih sehat.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, dokter Brian Sri Prahastuti, menjelaskan beragam penyakit tidak menular seperti kanker, stroke, dan gagal ginjal berkaitan erat dengan hipertensi dan diabetes melitus, yang salah satunya diakibatkan konsumsi GGL berlebih.
“Dengan demikian, ada urgensi untuk mengendalikan konsumsi gula, garam dan lemak melalui aturan makanan olahan berkemasan, selain edukasi kepada masyarakat tentang pola makan dan olahraga,“ kata Brian.
Terkait dengan penerapan cukai, Brian mengatakan PP itu memang belum secara spesifik mengatur ambang batas yang diperbolehkan dan besarannya.
Pasien gagal ginjal menyesal ‘setiap hari minum kopi dan teh kemasan’
Muhamad Riski Fahrezi divonis gagal ginjal saat usianya masih 18 tahun. Pada saat teman-temannya menikmati masa kelulusan dari SMA, dia terkapar di rumah sakit.
“Seminggu sebelum lulus-lulusan, tepatnya 7 Agustus 2020, saya pusing, mual, muntah, pandangan kabur dan dibawa ke IGD. Dicek kreatin saya tujuh, ureumnya 100 lebih, tensi [darah] sekitar 250 per 150,“ kenang Riski saat dihubungi wartawan BBC News Indonesia, Rabu (31/07).
Riski pun didiagnosis menderita gagal ginjal dan ia mendapatkan tindakan cuci darah (hemodialisis), sepekan kemudian.
Setelah tiga tahun menjalani cuci darah sebanyak dua kali sepekan, Riski mendapatkan transplantasi ginjal dari keluarga pada Januari 2023.
Riski menuturkan penyesalannya atas pola hidup yang buruk.
Pada saat SMP, dia mengalami obesitas (berat 90 kilogram dan tinggi sekitar 155 sentimeter).
“Lalu, di SMP saya juga sering minum kopi dan teh kemasan beli di minimarket. Hampir setiap hari beli itu,” kenangnya.
Sebagai gambaran, satu botol teh kemasan yang populer di Indonesia dengan takaran saji 350ml memiliki kandungan gula sebanyak 26 gram.
Ada pula minuman teh kemasan dengan takaran saji 350ml mengandung 42 gram gula.
Padahal, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyarankan batas konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL) per orang per hari sebagai berikut:
- gula 50 gram atau empat sendok makan
- 2.000 miligram natrium/ atau lima gram atau satu sendok teh garam (natrium/sodium)
- lemak 67 gram atau lima sendok makan.
Baca juga:
- Kandungan gula dalam minuman berpemanis jadi polemik, apakah penerapan cukai bisa jadi solusi?
- Jalan panjang korban gagal ginjal akut tuntut keadilan: ‘Kami benar-benar berjuang sendirian’ – Bagaimana perkembangan proses hukumnya?
- Empat petinggi perusahaan produsen obat batuk sirup beracun divonis dua tahun penjara
Dilansir dari situs Kemenkes, beberapa penelitian mengungkapkan Indonesia menempati posisi ketiga di Asia Tenggara dengan konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK), sebesar 20,23 liter per orang.
Bahkan disebutkan bahwa konsumsi MDBK itu mengalami peningkatan 15 kali lipat dalam 20 tahun terakhir, dari 51 juta liter pada 1996 menjadi 780 juta liter pada 2014.
Dampaknya, kelebihan konsumsi minuman berpemanis satu porsi per hari akan meningkatkan risiko terkena diabetes melitus tipe 2 sebesar 18%, stroke 13%, dan serangan jantung (infark miokard) 22%.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 dan 2018 menunjukkan peningkatan obesitas penduduk usia 18 tahun ke atas, yakni dari 15,4% menjadi 21,8%. Kemudian untuk usia 5-19 tahun meningkat dari 2.8% pada 2006 menjadi 6.1% pada 2016, sedangkan kategori remaja usia 13-17 tahun sebanyak 14.8% mengalami berat badan berlebih dan 4.6% mengalami obesitas.
Obesitas merupakan salah satu faktor risiko terjadinya penyakit tidak menular (PTM), di mana PTM merupakan penyebab dari 80% kasus kematian di Indonesia.
Memasuki SMA, Riski mengaku gaya hidupnya semakin tidak sehat. Dari Senin hingga Jumat, dia kerap begadang untuk bermain gim online.
“Kalau akhir pekan, bisa pagi ketemu pagi lagi. Dan tiap begadang aku minum minuman berenergi saset itu, tambah kopi saset,“ tambah Riski.
Dia mengatakan saat itu tidak mengetahui dampak buruk yang akan dihadapi saat mengkonsumsi minuman yang tinggi gula dan juga zat lain yang berbahaya bagi ginjal.
“Baru-baru ini saja ramai berita dan di sosial media tentang dampak buruk minuman kemasan. Waktu 2015-2016 tidak ada itu, mau dapat info dari mana saya tentang bahayanya? Tidak ada,“ ujar Riski.
Riski pun menyambut baik upaya pemerintah dalam mengendalikan konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL) berlebihan dalam produk kemasan.
Berkaca dari pengalaman hidupnya, Riski berharap agar pelaksanan aturan itu harus diikuti dengan sosialisasi yang masif tentang dampak buruk dari konsumsi berlebih produk kemasan yang tinggi GGL.
“Sosialisasinya seperti di sekolah, di lingkungan rumah, hingga televisi dan sosial media, karena saat saya sebelum kena gagal ginjal, tidak tahu dampaknya separah ini, “ katanya.
“Kalau tidak segera dilakukan, kasihan nanti banyak yang seperti saya. Sekarang saja setiap hari, bulan, dan tahun ada orang-orang yang tidak tahu dampaknya [GGL] kena gagal ginjal,“ ujarnya.
Selain Riski, Dewi Ningrum harus membawa anaknya, Faris, yang masih berusia delapan tahun, dua kali ke RS untuk cuci darah.
Dewi bercerita, anaknya pada usia empat tahun, 2019, divonis sindrom nefrotik (biasanya terjadi ketika glomerulus rusak, menyebabkan terlalu banyak protein bocor dari darah ke dalam urin)
“Kami berobat jalan dan dikasih obat-obatan rutin. Lalu [tahun 2024] beberapa bulan lalu dilakukan biopsi, hasilnya didiagnosis gagal ginjal,” kata Dewi yang menyebut anaknya telah melakukan cuci darah sejak tiga bulan lalu.
Dewi tidak mengetahui apakah kerusakan ginjal anaknya disebabkan oleh faktor keturunan, makanan dan minuman, konsumsi obat, atau faktor lainnya. Namun, Dewi memiliki pengalaman ketika anaknya mengkonsumsi produk kemasan tinggi GGL.
”Di sekolah dia pernah minum es-es kemasan manis, dan juga makan mi instan. Habis itu langsung drop, muka bengkak. Itu sebelum cuci darah ya,“ katanya yang kini Faris sudah tiga bulan tidak bersekolah lagi.
Pengalaman itu, kata Dewi, menunjukkan bahwa produk siap saji tinggi GGL sangat buruk bagi kesehatan, ditambah lagi dia juga menemui beberapa pasien anak lain yang menderita gagal ginjal akibat konsumsi yang sama.
“Menurut saya mending enggak ada produk-produk kayak minuman-minuman kemasan begitu. Jadi anak-anak biar enggak jajan sembarangan. Lebih banyak dampak buruknya,” katanya.
‘Jangan hanya seremonial‘
Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir menyambut baik langkah pemerintah mengendalikan konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL) berlebihan pada pangan olahan.
Tony berharap agar aturan itu dilaksanakan secara optimal.
“Semoga peraturan ini bukan bentuk seremonial saja. Ya, tetapi bagaimana implementasi kebijakan ini dapat diterapkan di tengah-tengah masyarakat. Kan pemerintah perlu mengawasi dan menerapkan dengan konsisten agar kebijakan berjalan di lapangan,“ katanya.
Bahkan, tambah Tony, pemerintah harus mengambil tindakan tegas kepada produsen produk kemasan yang melanggar aturan dengan memberikan komposisi GGL melebih batas.
Menurut data yang dihimpun KPCDI, kata Tony, sekitar 70% pasien cuci darah di Indonesia dipicu oleh penyakit diabetes, hipertensi dan obesitas.
Ragam penyakit itu, ujar Tony, salah satunya dipengaruhi oleh konsumsi produk kemasan GGL secara berlebihan.
Pakar kesehatan masyarakat, Hasbullah Thabrany, menambahkan salah satu upaya penting lainnya menekan konsumsi GGL di masyarakat adalah dengan menerapkan cukai yang optimal pada produk kemasan.
Tujuannya, katanya, untuk menekan kemampuan masyarakat membeli pangan kemasan yang tinggi GGL. “Kalau terlalu rendah [cukai], enggak ada efeknya untuk menurunkan konsumsi,” katanya.
Hasbullah mencontohkan, masyarakat masih bisa membeli produk kemasan tinggi GGL jika kenaikannya hanya 20%.
“Dari Rp1.000 jadi Rp1.200, itu tidak akan berefek karena harganya masih murah dan terjangkau. Jadi harus di titik optimum. Instrumen harga sangat menentukan dalam pengendalian konsumsi, selain eksekusinya yang harus konsisten,“ ujarnya.
Senada, Wakil Ketua dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra, meminta dilakukannya pengawasan sebelum dan sesudah pemasaran produk makanan, termasuk juga pemberian cukai.
Tujuannya, tambah Jasra, untuk melindungi hak kesehatan dan tumbuh kembang anak, yang rawan terpapar produk tinggi GGL.
“Jika terjadi di luar itu, ada sanksi administrasi dan bisa juga ke pidana, karena tidak bersesuaian antara kandungan setelah dilakukan cek lab,“ kata Jasra.
Apa isi aturan GGL di PP Kesehatan?
Pengendalian konsumsi GGL terkandung dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan, yang berisi:
Pasal 194
(1) Dalam rangka pengendalian konsumsi gula, garam, dan lemak, Pemerintah Pusat menentukan batas maksimal kandungan gula, garam, dan lemak dalam pangan olahan, termasuk pangan olahan siap saji.
(4) Selain penetapan batas maksimum kandungan gula, garam, dan lemak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dapat menetapkan pengenaan cukai terhadap pangan olahan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 195
(1) Setiap Orang yang memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan pangan olahan termasuk pangan olahan siap saji wajib:
a. memenuhi ketentuan batas maksimum kandungan gula, garam dan lemak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 194; dan
b. mencantumkan label gizi termasuk kandungan gula, garam, dan lemak pada kemasan untuk pangan olahan atau pada media informasi untuk pangan olahan siap saji.
(2) Setiap Orang yang memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan pangan olahan termasuk pangan olahan siap saji yang melebihi ketentuan batas maksimum kandungan gula, garam, dan lemak dilarang melakukan iklan, promosi, dan sponsor kegiatan pada waktu, lokasi, dan kelompok sasaran tertentu.
Berapa ambang batas konsumsi GGL per hari?
Kemenkes menyarankan batas konsumsi gula sebanyak 50 gram atau empat sendok makan gula per hari.
Sementara itu, untuk garam sebesar 2.000 miligram natrium/ atau 5 gram atau 1 sendok teh garam (natrium/sodium) per hari.
Lalu untuk lemak yaitu hanya sebesar 67 gram atau lima sendok makan minyak goreng per hari.
Apa penyebab gagal ginjal dan bagaimana mencegahnya?
Dikutip dari situs Kemenkes, konsumsi GGL berlebihan dapat mendekatkan pada risiko penyakit tidak menular (PTM) seperti tekanan darah tinggi, diabetes, dan jantung.
Menurut data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) setidaknya satu dari lima anak Indonesia berusia 12-18 tahun berpotensi mengalami kerusakan ginjal, yang disebabkan oleh gaya hidup kurang sehat.
Ketua Umum IDAI dr Piprim Basarah Yanuarso menjelaskan beberapa penyebab seorang anak mengalami gagal ginjal.
Di antaranya yaitu kelainan bawaan pada ginjal dan saluran kemihnya, sindrom nefrotik yang tidak tertangani dengan baik, dan lupus sistemik.
Sebab lainnya, katanya adalah gaya hidup tidak sehat yang menyebabkan obesitas.
“Anak -anak yang obesitas itu mengalami low grade inflammation atau inflamasi derajat rendah yang berlangsung secara kronik dan juga mengalami tingginya ROS atau reactive oxygen species.”
“Yang ini kalau secara gabungan, ditambah dengan hipertensi bisa merusak ginjal dan lama-kelamaan… perlu dilakukan cuci darah,“ kata Piprim dalam keterangannya.
Untuk itu, kata Piprim, terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meminimalisir potensi terkena gagal ginjal.
Pertama adalah dengan minum air yang cukup, “Anak 20 kg [berat], minimal 1,5 liter per hari, makin banyak minum lebih baik,“ katanya.
Kedua, ujarnya, hindari konsumsi minuman manis, baik karena gula maupun pemanis sirup jagung yang banyak pada minuman kemasan.
Selanjutnya, batasi asupan garam dan tidak sembarangan meminum obat. Terakhir adalah dengan berolahraga secara teratur yang baik untuk organ-organ tubuh.
Apa pertimbangan pemerintah kendalikan konsumsi GGL?
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, dokter Brian Sri Prahastuti menjelaskan beragam penyakit tidak menular seperti kanker, stroke, dan gagal ginjal erat kaitan dengan hipertensi dan diabetes melitus, yang salah satunya akibat konsumsi GGL berlebih.
Brian menjabarkan beberapa data. Pertama dia mengutip data WHO (tahun 2018) yang menyebut bahwa diabetes melitus (DM) menjadi penyebab kematian tertinggi (71%), di mana 8,5% populasi dunia atau sekitar 422 juta jiwa mengidap diabetes melitus (DM).
“Indonesia menempati urutan keempat, dengan kasus DM terbanyak di dunia,” kata Brian.
Brian lalu mengutip data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang menyebut 47,5% masyarakat Indonesia masih mengonsumsi minuman berpemanis lebih dari satu kali sehari.
“Kemudian, 91,3% masyarakat juga mengaku mudah mengakses minuman tinggi gula dan pangan olahan ultra [ultra-processed food] dengan kandungan garam dan lemak yang tinggi.”
“Meskipun dalam Hasil Survei Kesehatan Indonesia 2023 prevalensi hipertensi turun dari 34,1% [2018] menjadi 30,8% [2023], penurunan tersebut belum signifikan mengingat hampir satu dari tiga penduduk masih mengalami hipertensi,” kata Brian.
Brian menambahkan, sepanjang 2023, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) mencatat peningkatan klaim terhadap delapan penyakit katastropik, yang mencapai Rp34,7 triliun dengan 29,7 juta kasus.
Angka itu meningkat dari tahun sebelumnya sebesar Rp24,05 triliun dengan 23,27 juta kasus.
“Penyakit jantung menempati urutan pertama, diikuti oleh kanker, stroke, dan gagal ginjal. Penyakit tersebut sangat erat kaitannya dengan hipertensi dan diabetes melitus sebagai faktor risiko, yang salah satunya akibat konsumsi gula, garam dan lemak yang berlebihan.”
“Dengan demikian, ada urgensi untuk mengendalikan konsumsi gula, garam dan lemak melalui aturan makanan olahan berkemasan, selain edukasi kepada masyarakat tentang pola makan dan olahraga,” katanya.
Terkait dengan cukai, Brian mengatakan, PP itu memang belum secara spesifik mengatur ambang batas yang diperbolehkan dan besaran cukainya.
“PP ini mengamanatkan Kemenko PMK untuk berkoordinasi dengan kementerian terkait. Kemungkinan aturan ini akan masuk dalam Peraturan Menteri Keuangan tentang Barang Kena Cukai [BKC] ,“ kata Brian.
Senada, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmisi mengatakan, aturan pengendalian GGL bertujuan untuk mencegah penyakit tidak menular.
“Konsumsi gula, garam dan lemak yang berlebihan merupakan faktor resiko yang memicu munculnya penyakit tidak menular,” katanya.
Saat dikonfirmasi mengenai pernyataan dari pengamat kesehatan dan komunitas cuci darah itu, Nadia mengatakan, “Ini kan PP mengamanatkan bukan hanya Kemenkes tapi lembaga dan kementerian lainnya sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. Nanti bila perlu ada aturan teknisnya,“ katanya.
Dilansir dari situs Kemenkes, pengenaan cukai pada produk kemasan disebut sebagai salah satu intervensi yang cukup efektif untuk mengatasi penyakit tidak menular, dan ada sebanyak 108 negara yang menerapkan kebijakan itu.
“Diharapkan, penerapan kebijakan ini dapat memperbaiki perilaku konsumsi masyarakat, memperbaiki kesehatan masyarakat, dan mendorong reformulasi produk industri yang lebih sehat,” dikutip dari Kemenkes.
- Kasus diabetes anak meningkat ‘sangat mengkhawatirkan’, imbas makanan-minuman manis ‘mudah dijangkau’ – ‘regulasi belum cukup melindungi,’ kata peneliti
- Kandungan gula dalam minuman berpemanis jadi polemik, apakah penerapan cukai bisa jadi solusi?
- Minuman berpemanis diusulkan kena cukai: Ditolak pengusaha tapi didukung dokter
- Mie Sedaap ditarik dari peredaran di sejumlah negara, BPOM didorong perbarui standar keamanan pangan
- Derita pasien gagal ginjal di tengah wabah virus corona, ‘cek virus dulu, cuci darah kemudian’
- Kisah manisnya tebu yang membawa pilu di Indonesia