Informasi Terpercaya Masa Kini

Membunuh Ismail Haniyeh, Mengubur Impian Damai

0 17

SIANG hari waktu Jakarta, tanggal 31 Juli 2024, berita duka itu datang menggelegar, menembus sudut-sudut dunia.

Ismail Haniyeh, pemimpin utama kelompok perlawanan Hamas, yang kini sedang berperang melawan Israel di Gaza, Timur Tengah, meninggal lantaran pembunuhan.

Ia sedang istirahat di rumahnya, di kota Teheran, Iran ketika serangan mendadak tersebut datang menerjangnya. Sehari sebelumnya, ia masih sempat menghadiri pelantikan presiden baru Iran, Mosoud Pezeshkian.

Penembakan/pemboman tersebut, tidak sekadar menghilangkan nyawa Ismail Haniyeh, tetapi juga mengubur impian damai di Timur Tengah.

Badannya terkoyak, sekaligus mengoyak ikhtiar anak-anak manusia untuk memuliakan nyawa ciptaan Ilahi.

Kekerasan yang amat keji itu sekaligus merajam rasa kemanusiaan kita. Dan ini berlaku universal, menembus tembok-tembok geografis, agama, ras, etnik, afiliasi politik, status sosial ekonomi. Ini yang sekalian dikebumikan oleh siapa pun pelaku pembunuhan Ismail Haniyeh.

Tak puas membantai dua orang putra Ismail Haniyeh dan adik kandungnya beberapa waktu lalu, kini Ismail Haniyeh yang mereka habisi.

Musnah sudah niat baik untuk mencari titik temu segala yang berbeda untuk merajut damai. Punah sudah ikhtiar anak-anak manusia untuk menciptakan kehidupan yang bebas dari kekerasan.

Kepergian Ismail Haniyeh adalah awal dari kekerasan baru yang bakal datang silih berganti. Kepergian Ismail Haniyeh bakal membuka peluang munculnya gelombang kekerasan demi kekerasan ke depan.

Timur Tengah bakal menjadi kubangan harkat dan martabat umat manusia. Nyawa manusia bakal tak berharga lantaran kekerasan tak terkendali. Siapa pun yang melakukan ini, adalah pelaku kebiadaban yang tak termaafkan.

Tanggal 13 Juli lalu, Jusuf Kalla dan saya datang memenuhi undangan Ismail Haniyeh di kota Doha, Qatar. Kami bertemu dan bercakap selama dua jam.

Ia menaruh harap pada Jusuf Kalla agar ikut membantu merekonsiliasi kelompok Hamas yang dipimpinnya dan Al Fatah.

Ia juga mengharapkan Jusuf Kalla aktif membantu melakukan ikhtiar agar kekerasan segera dihentikan di Gaza sekarang.

Demi nyawa manusia dan rasa kemanusiaan, tolong kami dibantu menghentikan kekerasan dan blokade Israel di Gaza. Mari kita bergerak dalam tataran rasa kemanusiaan, katanya sore itu.

Saat itu, Haniyeh sedang mempersiapkan diri hendak ke Beijing China untuk melakukan perundingan damai dan rekonsiliasi dengan kelompok Al Fatah, sesama pejuang Palestina.

Ia masih sempat berseloroh: “Hadis nabi mengatakan, tuntutlah ilmu walau harus ke negeri China. Sekarang ini, kita harus berkata, carilah damai, walau harus ke negeri China.”

Tiga hari lalu, saya mendapatkan telepon dari salah seorang pemuka Hamas. Ia menyampaikan bahwa Ismail Haniyeh ingin bertemu lagi Jusuf Kalla dan saya pada dua atau tiga minggu ke depan. Ia ingin membicarakan implementasi kesepakatan yang dibuat di China sepekan sebelumnya.

Saya langsung menyetujuinya. Pertemuan tersebut tentu saja secara otomatis batal karena Ismail Haniyeh berangkat menghadap Sang Pencipta.

Semula, sebelum bertemu langsung, pandangan saya tentang Ismail Haniyeh adalah figur yang meledak-ledak, senang mengacungkan jari, suara keras dan lantang serta mengumbar diksi patriotik yang bisa menyalakan sumbu perlawanan.

Saya keliru ternyata. Terkaan saya meleset total. Ia amat lembut dalam bertutur. Volume suara tak meninggi, kendati substansi pembicaraan menyangkut masalah motif mengapa Hamas angkat senjata.

Sesengit apa pun yang dibicarakan, ia tidak meledak-ledak. Emosinya tetap stabil. Wajahnya tidak mengerut. Selalu menyunggingkan senyum. Ia humoris.

Haniyeh sebenarnya sedang memandu organisasinya agar berkompromi mencari titik temu supaya kekerasan berhenti.

Ia tidak tega lagi melihat anak-anak Palestina jadi korban kekerasan. Ia bukan Yahya Sinwar, pemimpin tempur di lapangan, yang tidak mau menempuh jalur perundingan dengan Israel.

Siapa pembunuhnya?

Kecambah dugaan tentang siapa pelaku dan pengatur pembunuhan Ismail Haniyeh hingga kini masih marak di sana sini.

Namun, melihat metode pembunuhan yang memiliki unsur kesenyapan dan presisi tinggi mengenai sasaran, maka amat mudah disimpulkan bahwa pembunuhan tersebut menggunakan teknologi super canggih.

Ismail Haniyeh diserang dari atas atap rumahnya tanpa kegaduhan. Tak mengusik dan menimbulkan kegaduhan ke tetangga.

Lalu, persangkaan pun mulai mengalamatkan serangan dan pembunuhan Ismail Haniyeh dilakukan oleh Israel.

Masalahnya, negara ini memiliki jejak panjang tentang penggunaan senjata canggih dan metode serangan senyap. Operasi intelijen Israel dengan para agen Mossad-nya yang piawai, membuat Israel terasa pelik lolos dari persangkaan tersebut.

Lagi pula, kini Israel memang sedang sengit-sengitnya bertempur melawan pasukan Hamas di Gaza.

Sebagai pemimpin politik, Ismail Haniyeh menjelajah ke pelbagai sudut dunia, yang membuat para agen Mossad gampang menguntitnya.

Seketat apa pun pengawasan dan pengamanan atas dirinya, ia tak pernah aman dari bidikan Israel. Ia tidak berkubang dalam satu titik, yang pelik terlacak, sebagaimana yang dilakukan oleh Yahya Sinwar. Tinggal di Gaza, dalam terowongan-terowongan misterius.

Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah akan menyurutkah perlawanan Hamas dengan kepergian Ismail Haniyeh?

Sama sekali tidak. Kita semua dapat pelajaran berharga dari masa silam. Sheikh Yassin, tokoh utama dan pendiri gerakan perlawanan Hamas terbunuh oleh serangan Israel beberapa tahun silam. Kepergiannya ternyata tidak menyurutkan semangat perlawanan Hamas terhadap Israel.

Generasi satu pergi, generasi baru datang. Siklus ini datang secara bergantian dan sistematis. Tak ada sudut henti sebelum tanah-tanah Palestina yang dijarah Israel dikembalikan.

Tak ada kata jeda dalam melawan sebelum Palestina menjadi negara berdaulat penuh. Ini prinsip Hamas. Maka, jasad boleh pergi, tetapi roh perlawanan tentang keadilan, terawat rapi.

Bila kelak memang terbukti bahwa serangan tersebut dilakukan oleh Israel, maka dunia harus bersiap. Iran akan melibatkan diri dalam perang antara Hamas dengan Israel.

Iran akan merasa, bukan hanya terusik, tetapi kehilangan harga diri sebab operasi senyap itu dilakukan dalam wilayahnya, terhadap tamu yang dilindunginya.

Apalagi sekarang ini, perang antara Hezbollah dengan Israel, nampak-nampaknya tak bisa lagi dielakkan.

Selama ini, Iran selalu menopang gerakan perlawanan Hezbollah. Maka kian lengkaplah alasan Iran terlibat dalam perang antara Israel dengan Hamas.

Dalam perang antara Israel dan Hamas sekarang ini, terjadi tatkala negara super power Rusia, pengimbang Amerika Serikat, mengalami gangguan ekonomi dan terkuras akibat perangnya dengan Ukraina.

Hamas berperang tanpa dukungan negara super power, sebagaimana perang enam hari pada 1967 dan perang Yon Kippur pada 1973.

Uni Soviet mendukung negara-negara Arab: Siria, Mesir, Yordania, sementara Amerika Serikat mendukung Israel.

Namun, dengan kondisi kekinian itulah yang membuat semangat perlawanan anak-anak Palestina kian berkobar.

Sekarang, apakah Amerika Serikat tetap kokoh menyokong gerakan membabi-buta Israel? Rasa kemanusiaan itu di mana?

Leave a comment