Hakim MK Puji Dua Mahasiswa yang Gugat UU Pilkada: Saya Beri Nilai B+
Sandy Yudha Pratama Hulu dan Stefanie Gloria, dua mahasiswa Universitas Indonesia (UI), menggugat UU Pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK). Keduanya dipuji oleh 3 Hakim MK yang menyidangkan permohonan tersebut.
Kok, bisa?
Jadi, Sandy dan Stefanie menggugat Pasal 69 huruf i Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali kota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) terhadap Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945),
Pasal 69 huruf i UU Pilkada menyatakan, “Dalam Kampanye dilarang: i. menggunakan tempat ibadah dan tempat Pendidikan.”
Sandy merasa dirugikan Pasal 69 huruf i UU Pilkada yang membatasinya untuk mendengar dan menguji secara kritis gagasan calon pemimpin daerah di tempat Pemohon menempuh Pendidikan tinggi saat ini.
Sementara Stefanie merasa dirugikan dengan adanya pasal tersebut berpotensi tertutupnya informasi mengenai gagasan antara calon pemimpin dalam ruang dialog akademis yang berpengaruh terhadap pilihan Pemohon II sebagai pemilih pemula dalam Pilkada 2024.
Menurut Sandy, apabila ketentuan dalam Pasal 69 huruf i UU Pilkada tetap dijalankan dalam Pilkada Serentak Tahun 2024, maka para Pemohon dirugikan hak konstitusionalnya karena tidak dapat lagi turut serta dalam menguji ketajaman para calon kepala daerah mengenai visi dan misi serta gagasannya secara mendalam, kritis, dan akademis di dalam perguruan tinggi.
Dia menilai, ketentuan Pasal 69 huruf i UU Pilkada sejatinya bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945. Sebab, dengan keberlakuan Pasal 69 huruf i UU Pilkada, para civitas akademika termasuk para mahasiswa tidak dapat mengembangkan ilmu pengetahuannya dengan menguji para calon kepala daerah yang akan memimpin daerah asal dan tempat berkuliah para Pemohon saat ini.
Kemudian, ketentuan dalam Pasal 69 huruf i UU Pilkada sejatinya bertentangan dengan asas kepastian hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
“Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ketentuan Pasal 69 huruf i UU Pilkada membawa ketidakpastian hukum dalam upaya koherensi pengaturan Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah,” jelasnya dalam persidangan 12 Juli 2024 lalu.
Atas dasar itu, mereka meminta MK untuk menyatakan Pasal 69 huruf i UU Pilkada sepanjang frasa “tempat pendidikan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “mengecualikan perguruan tinggi atau penyebutan serupa sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu.”
Dipuji 3 Hakim MK
Permohonan ini didaftarkan ke MK sejak 31 Mei 2024. Sidang perdana pemeriksaan pendahuluan sudah digelar MK pada 12 Juli 2024.
Permohonan ini disidangkan oleh Majelis Panel yang dipimpin oleh Saldi Isra dengan anggota Guntur Hamzah dan Asrul Sani.
“Ini Anda sudah pernah mengajukan permohonan enggak di MK sebelumnya?” tanya Saldi Isra.
“Baru pertama kali Yang Mulia,” jawab Sandy.
“Saudara semester berapa kuliahnya sekarang?” lanjut Saldi Isra.
“Mohon izin Yang Mulia, kalau saya semester 6 dan Stefanie di semester 4,” ujar Sandi.
“Untuk yang baru pertama mengajukan permohonan ini patut diapresiasi permohonan ini, terlepas dari substansinya, tapi dari cara mengemukakan menyusun dan segala macamnya sudah kaya orang berpengalaman lama, makanya saya tanya tadi siapa yang mengadvis Anda bikin permohonan ini,” puji Saldi Isra.
Pujian juga disampaikan oleh Guntur Hamzah dan Arsul Sani saat sesi pemberian nasihat atas permohonan tersebut.
“Tentu saya mengapresiasi terkait dengan ikhtiar Saudara dan langsung mengajukan permohonan meskipun sekarang masih posisi masih mahasiswa ya, mahasiswa UI Fakultas Hukum, ya. Ini lagi Anda tampil dengan tanpa Kuasa Hukum, apa pertimbangannya?” kata Guntur Hamzah.
“Izin Yang Mulia, kami tidak menggunakan kuasa hukum karena memang kami ingin langsung berperkara di MK untuk memperjuangkan hak konstitusional kami,” jawab Sandy.
“Ini yang namanya learning by doing ya, bagus sekali, dan mungkin sejalan dengan konsep merdeka belajar ya,” ucap Guntur Hamzah.
Arsul Sani pun demikian. Ia menilai permohonan yang diajukan sudah cukup baik.
“Ini kalau ibarat paper, kalau saya dosennya karena saya belum profesor, paling tidak ini saya kasih nilai B+ atau A-. Karena itu kalau tadi penasihatan yang disampaikan oleh Yang Mulia Ketua Panel Prof Saldi dan Anggota Panel Prof Guntur, penasihatannya ini agar supaya nilainya bisa jadi A atau A+,” ujar Asrul.
“Saya melihat secara keseluruhan overall sudah bagus,” pungkasnya.
Permohonan ini sudah akan dibawa untuk dibahas dalam rapat pleno 9 Hakim MK. Belum ada jadwal kapan putusan akan disampaikan MK.
Cerita Dosen
Titi Anggraini selaku Staf Pengajar Tidak Tetap pada Bidang Studi Hukum Tata Negara FHUI membenarkan bahwa Sandy dan Stefanie adalah mahasiswanya. Menurut Titi, kedua mahasiswa itu menyusun sendiri permohonan.
“Kalau minta bantuan, tidak ya. Mereka betul-betul menyusun sendiri, tapi mereka bertanya. Misalnya, ini ketika drafnya sudah selesai apakah sudah sesuai dengan prosedur yang berlaku, atau kemudian misalnya ‘Ibu ada masukan tidak dari apa yang sudah kami buat?’. Tetapi setelah saya baca, ya memang bisa dikatakan bagi saya ya, apa yang mereka buat itu 90 persen sudah sangat baik,” kata Titi dihubungi terpisah.
Titi pun menyebut bahwa Sandy dan Stefanie memang mumpuni untuk mengajukan gugatan. Ia meyakini bahwa keduanya mengajukan gugatan karena keresahan hati, bukan lantaran ingin sorotan media atau pesanan.
“Jadi memang mereka itu saya kira harus jadi contoh ya soal aktivisme hukum warga ya. Karena mereka kan juga warga negara ya, walaupun masih muda, masih mahasiswa, dan mereka punya hak konstitusional yang sama dengan warga negara lain,” kata Titi.
“Dan yang paling penting mereka berdiri di atas kepentingan mereka sendiri, dan publik, dan bukan agen atau orang yang diatur-atur,” pungkas Anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini.