Permainan Bisu: “Quiet Quitting” dan “Quiet Firing”, Siapa yang Benar dan Siapa yang Salah?
Dunia kerja modern diwarnai dengan berbagai fenomena baru, salah satunya adalah “Quiet Quitting” dan “Quiet Firing”. Fenomena ini sering terjadi di kalangan Gen-Z yang menggambarkan tren saling ‘membisu’ antara karyawan dan perusahaan, hingga menimbulkan pertanyaan tentang siapa yang benar dan siapa yang salah.
Mengapa Gen-Z Rentan terhadap Quiet Quitting dan Quiet Firing?
“Quiet Quitting” adalah isilah untuk menggambarkan seorang karyawan memutuskan keluar dari pekerjaannya tanpa memberikan pemberitahuan yang jelas kepada atasan atau rekan kerja. Mereka cenderung menghilang secara tiba-tiba tanpa kesempatan untuk proses penyelesaian konflik dengan baik.
Gen-Z yang menerapkan “Quiet Quitting” masih tetap bekerja, namun mereka tidak lagi terikat dengan budaya kerja tradisional yang menuntut dedikasi berlebihan. Tindakan ini bukan berarti ingin mengundurkan diri, melainkan upaya untuk memperjuangkan keseimbangan hidup dan kerja (work-life balance). Alasan utamanya adalah rasa frustasi terhadap budaya kerja yang tidak sehat, memiliki ambisi dan mimpi di luar pekerjaan, serta ingin menjalani hidup yang lebih fleksibel.
Di sisi lain, “Quiet Firing” merupakan strategi diam-diam perusahaan untuk mendorong karyawan mengundurkan diri. Taktik ini dapat berupa pengurangan tanggung jawab atau menciptakan lingkungan kerja yang tidak nyaman. Karyawan yang mengalami “Quiet Firing” seringkali merasa kebingungan dan tidak mendapatkan closure yang layak.
Generasi Z dikenal sebagai generasi yang berani menyuarakan pendapat dan memperjuangkan keseimbangan hidup. Namun, dalam dunia kerja, mereka kerap menghadapi tantangan berupa “Quiet Firing” yang secara halus ‘memecat’ karyawan tanpa proses formal. Mereka belum memiliki pengalaman untuk mengenali taktik perusahaan, sehingga strategi perusahaan untuk mendorong karyawan mengundurkan diri secara sukarela tanpa proses PHK formal akan lebih mudah dilakukan.
Lalu, Siapa yang Benar dan Siapa yang Salah?
Dalam konteks ini, sulit untuk menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah. Kedua fenomena ini sebenarnya mengindikasikan adanya masalah komunikasi dan pengelolaan SDM di lingkungan kerja yang kurang.
Di satu sisi, “Quiet Quitting” dapat dilihat sebagai bentuk perlawanan terhadap budaya kerja yang tidak sehat dan tuntutan pekerjaan yang berlebihan. Di sisi lain, “Quiet Firing” dapat dijustifikasi sebagai upaya perusahaan untuk meningkatkan kinerja dan efisiensi dengan mengurangi beban kerja bagi karyawan lain.
Alih-alih mencari siapa yang benar dan siapa yang salah, solusi yang lebih konstruktif adalah dengan membuka dialog yang terbuka dan jujur antara karyawan dan perusahaan.
Penting untuk tercapainya komunikasi di mana kedua pihak dapat menyuarakan kekhawatiran dan mencari solusi bersama untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan produktif.
Dengan membangun budaya kerja yang inklusif dan saling mendukung, diharapkan fenomena “Quiet Quitting” dan “Quiet Firing” dapat diminimalisir atau bahkan dihindari oleh kedua pihak yang bersangkutan.