Ketika Tulisan lebih dari Sekadar Bicara
Setiap orang memiliki keterampilannya masing-masing. Karakter dan sifat manusia juga tidak serupa satu dengan lainnya. Apalagi soal hobi dan tujuan hidup, masing orang memilikinya. Kita juga tahu bahwa semua orang tidak dapat disamakan.
Not everyone fits in the same shoes
Pepatah di atas mewakili kenyataan hidup. Setiap orang tidaklah sama. Tidak bisa juga kita menginginkan orang lain mengikuti apa yang kita inginkan. Setiap orang memiliki pilihannya dan tidak ditentukan oleh orang lain apalagi oleh orang tuanya.
Jaman dahulu, kehidupan patriarki memaksa banyak orang mengikuti kehendak orang tua. Hidup mereka diatur dari kecil hingga dewasa. Orang tua memilihkan sekolah, universitas, jodoh, hingga mengatur pernikahan. Orang dulu memang hidup di bawah kendali orang tuanya.
Seiring berkembangnya jaman, sistem patriarki dalam keluarga perlahan pupus. Anak diberikan kekebasan untuk menentukan jalan kehidupannya. Anak tidak lagi merasa dikendalikan orang tuanya. Walau demikian, masih ada juga orang yang hidup dikendalikan orang tuanya.
Selain orang tua menjadi kendali bagi kehidupan anaknya, orang tua juga dapat menjadi racun bagi perkembangan psikologis anaknya. Hal utama yang menjadi kegelisahan yaitu banyak orang tua masih menginginkan anaknya menjadi super class di mata masyarakat dan sanak saudara.
Membandingkan kehidupan anak sendiri dengan orang lain. Membandingkan pekerjaan anak dengan orang lain. Membandingkan pencapaian anak dengan orang lain.
Kecenderungan membandingkan anak sendiri dengan orang lain sudah membudaya dalam masyarakat kita. Anak seolah aset komiditas yang harus selalu unggul dalam segala aspek. Tekanan sosial dan orang tua yang buruk mengikis rasa percaya diri anak.
Saat anak itu dewasa dan terjun di masyarakat ia akan merasa sulit mengembangkan diri karena takut gagal, tidak maksimal, dan tentunya tidak percaya diri. Padahal setiap anak memiliki potensi dan kelebihannya. Misalnya dia unggul dalam menggambar, suatu hari dia akan menjadi komikis hebat bila orang tuanya mendukung bakatnya secara penuh tanpa intimidasi atau memandang rendah.
Ilusi sosial yang diciptakan masyarakat saat ini telah membutakan banyak mata orang tua. Paling parahnya orang tua dari generasi boomer yang melahirkan anak generasi milenial. Anak-anak dari generasi milenial terutama generasi Z dan Aplha banyak yang mendapatkan tekanan dan kekangan orang tuanya.
Mereka hidup dengan aturan dan kursus bermacam ragam. Mereka harus selalu sibuk dan produktif. Jika ini merupakan kemauan si anaknya langsung itu tidak masalah. Namun, banyak orang tua memaksakan kehendaknya kepada anak. Anak pun merasa takut akan membuat orang tuanya kecewa. Pada akhirnya, mereka harus menjalani hidup sesuai dengan kemauan orang tuanya.
Itulah sepenggal problematika umum pada masyarakat kita. Sebagai orang tua dan anak layaknya ikatan yang mengutamakan pandangan sosial semata. Apa yang menjadi hal baik dan bernilai di mata masyarakat, itulah yang berusaha dikejar banyak orang tua.
Hal ini pun berlanjut dengan pengalaman hidupku. Orang tuaku sangat open minded dan membebaskan anaknya memilih apa yang diinginkannya. Namun, pandangan saudara orang tuaku terhadap kami anak-anak dari ibuku selalu penuh pandangan merendahkan. Bagi mereka, kelas sosial yang dibangun jauh lebih baik jika menjadi seorang dokter dan polisi. Maka mereka berupaya memproduksi anak-anak yang menjadi dokter dan polisi.
Kami tentu tidak pernah ambil pusing atas pandangan tersebut. Masing-masing orang memiliki pilihannya. Kemudian mereka juga bebas menetapkan status sosial seperti apa yang harus diberikan kepada anak-anaknya.
Aku selalu percaya bahwa kehidupan ini memiliki arti. Apakah menjadi besar, terkenal, hebat dan kaya akan membuat seseorang bahagia dengan hidupnya? Tentu saja mereka akan semakin sibuk dan sulit berkumpul bersama keluarganya.
Selain itu, kehidupan orang lain yang tampak di permukaan menciptakan ilusi sosial semata. Kita tidak pernah tahu apakah seseorang yang menonjolkan kehidupannya tersebut benar-benar nyata. Maka dari itu, status sosial tidak dapat menjadi patokan kita untuk mencapai sesuatu.
Orang dengan kepercayaan tinggi menonjolkan bakatnya lewat kemampuan bicara. Mereka mampu menyampaikan apa yang dipikirkan lewat ucapan. Kemampuan ini dapat dipelajari. Setiap orang bisa memiliki kemampuan berbicara di depan umum. Keterampilan ini disebut public speaking.
Public speaking menuntut kepercayaan diri yang tinggi, grow mindset, dan self image yang kuat. Keterampilan ini mengasah kemampuan seseorang untuk mengungkapkan apa yang dipikirkannya melalui bicara dengan teknik yang sistematis. Keterampilan ini menjadi seni bicara yang popular pada masa kini. Maka lahirlah para konten creator yang percaya diri menyuarakan opini melalui video rekaman dan podcast.
Informasi apapun jadi cepat tersampaikan melalui media sosial berbasis video. Masyarakat kita lebih senang dengan narasi dalam bentuk video. Selain itu, mereka yang lugas berbicara di berbagai even, seminar, dan workshop lebih dilirik materinya oleh masyarakat. Apalagi kegiatan mereka banyak terekam kamera dan disebarkan di media sosial. Mereka pun akhirnya nenjadi public figure yang disegani. Maka dari itu, peluang ini karir conten creator dan public speaker sangat menonjol pada era digital.
Memilih karir sebagai content creator dan public speaker membutuhkan latihan berbicara yang rutin. Mereka yang baru memulai pasti akan kaku dan sulit dalam berbicara. Seiring waktu mereka akan menjadi ahli di bidang tersebut. Namun, tidak semua orang tertarik menampilkan diri di depan publik. Setiap orang memiliki minatnya.
Opini dapat disampaikan melalui tulisan. Bagi orang yang tidak suka tampil secara fisik, media tulisan menjadi lahan terbuka. Mengemukakan hal yang ingin dipikirkan melalui tulisan memiliki kesukarannya sendiri. Pada awalnya setiap orang yang memulai akan mengalami kebuntuan.
Untuk mengeluarkan apa yang dipikirkan, kita dapat seolah berbicara kepada seseorang yang ingin kita nasihati, sekadar menyampaikan pikiran, dan atau bercerita. Bila kita mampu melakukan teknik ini dengan cermat, maka lahirlah tulisan-tulisan hebat yang akan menjadi jejak di masa depan.
Saya termasuk orang yang lebih memilih menyampaikan hal apapun melalui tulisan. Walau saya pikir lewat berbicara jauh lebih cepat tersampaikan dan dapat diupload ke media sosial. Tetapi, saya kurang nyaman dengan teknik tersebut. Tulisan menjadi media komunikasi yang sesuai dengan kepribadian saya. Saya pikir itulah yang membuat saya dapat beropini hingga hari ini.
Media kompasiana lebih dari sekadar kanvas bagi penulis. Kompasiana menjadi wadah bagi siapa saja yang ingin bercerita dan beropini. Lebih dari itu, kompasiana adalah media besar yang menyatukan banyak penulis dari berbagai profesi dalam berbagai komunitas. Sekiranya, tulisan kita dapat menembus cakrawala hingga ke beribu-ribu tahun mendatang yang dapat dibaca kembali oleh orang di masa depan.
Maka saya berpikir bahwa menulis lebih dari berbicara. Lewat tulisan, kita mampu menjadi tuan atas kehendak kita. Selain itu, pembaca dapat mengalami pengalaman menyenangkan dan membuka wawasan saat membaca tulisan kita.
Apalagi membukukan tulisan yang kita buat. Hal ini akan menjadi artefak yang tidak pernah lekang oleh perubahan jaman. Dalam hal ini keberadaan kita pun menjadi lebih berarti bagi orang lain dan masa depan.
Tulisan yang baik itu gambaran diri kita untuk menjadi sahabat bagi sesama. Selain itu, menulis bukanlah bakat semata, menulis dapat dipelajari dan diasah melalui pembelajaran. Maka kita dapat menjadi kendali atas kehidupan kita sendiri. Siapa tahu saja melalui tulisan, Anda dapat menjadi pribadi yang luar biasa.