IMF Minta G20 Cari Cara Turunkan Biaya Utang Negara Miskin dan Menghindari Gagal Bayar
Bisnis.com, JAKARTA — Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) sedang berusaha mendorong para anggota G20 dalam sebuah upaya baru untuk membantu negara-negara miskin mengurangi beban utang, menghindari gagal bayar, dan menstabilkan perekonomian mereka.
Kepala Departemen Strategi, Kebijakan, dan Tinjauan IMF Ceyla Pazarbasioglu mengatkan meskipun masih dalam tahap awal, rencana ini dapat mencakup pembuatan ulang profil pinjaman yang ada, pertukaran utang, dan jaminan kredit yang akan membantu menurunkan biaya.
“Ide utamanya adalah menyediakan ‘menu pilihan’ bagi negara-negara dan kami dapat memutuskan bersama dengan mereka apa yang cocok untuk mereka. Karena satu ukuran tidak cocok untuk semua,” ujarnya dikutip dari Bloomberg, Minggu (21/7/2024).
Baca Juga : IMF Wanti-Wanti Dua Tantangan Besar Ini terhadap Ekonomi Global
Dorongan IMF muncul ketika beberapa negara berkembang, terutama di Afrika dan Asia Selatan, terus berjuang dengan tumpukan utang yang menumpuk sebelum pandemi dan diperburuk dalam beberapa tahun terakhir oleh biaya pinjaman yang lebih tinggi.
Mekanisme G20 yang dikenal sebagai Kerangka Kerja Bersama (Common Framework) bertujuan untuk menangani akibat dari gagal bayar, bukan untuk mencegahnya.
Baca Juga : : Daftar 20 Negara G20 dan Emisi CO2e Terbesar, Indonesia Urutan Berapa?
Pasalnya, mekanisme ini terhambat oleh ketidaksepakatan di antara para kreditur termasuk China serta para pemegang obligasi swasta.
Utang yang dimiliki oleh 30 negara berkembang yang dipantau oleh International Institute of Finance tercatat mencapai US$28,4 triliun atau sekitar Rp454.400 triliun (asumsi kurs Rp16.000 per dolar AS) pada kuartal pertama tahun ini, naik dari sekitar US$11 triliun pada periode yang sama di tahun 2014.
Beberapa perkiraan menyebutkan bahwa biaya layanan tahunan untuk negara-negara miskin mencapai lebih dari US$400 miliar. Beban utang tersebut menyedot dana yang sangat dibutuhkan untuk investasi dan layanan publik, menurut IMF dan Bank Dunia.
Selain negara-negara yang telah gagal bayar dalam beberapa tahun terakhir, seperti Zambia, Ghana, atau Sri Lanka, masih banyak negara lain yang berjuang dengan biaya pembayaran utang yang tinggi dan pertumbuhan yang lamban, sebagai efek jangka panjang Covid-19.
“Ini adalah masalah utama saat ini,” kata Pazarbasioglu.
Pertemuan G20 2024 di Brasil
Para menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20 yang berkumpul minggu depan di Brasil akan banyak membahas masalah ini.
Mengikutsertakan G20 berarti mencapai kesepakatan yang jarang terjadi antara AS dan China, pemain paling penting dalam pembicaraan utang global namun merupakan saingan dalam hal keamanan dan perdagangan.
Kedua negara telah mendiskusikan ide-ide baru ini dengan tujuan untuk menyiapkan sebuah proposal yang dapat disetujui oleh para pemimpin G20 saat mereka bertemu di puncak G20 pada 18—19 November 2024.
Inisiatif baru ini akan menjadi “pilar ketiga” untuk membantu negara-negara berada di jalur yang benar, kata Pazarbasioglu, di samping meningkatkan pendapatan domestik dan meningkatkan dukungan dari pemberi pinjaman multilateral seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Afrika.
Dia menambahkan bahwa pendekatan “holistik” ini akan berhasil untuk negara-negara seperti Kenya, yang telah diguncang oleh protes-protes mematikan terhadap kenaikan pajak.
Hasil utama dari upaya baru ini adalah untuk membantu negara-negara menghindari gagal bayar yang dapat menyebabkan restrukturisasi yang panjang dan rumit – salah satu alasan mengapa Kerangka Kerja Bersama dikritik. Pazarbasioglu mengakui adanya masalah tersebut, namun dia membela program ini.
“Common Framework berjalan lambat, tetapi ada kemajuan,” ujarnya.